BABI PENDAHULUAN
A. Kedudukan dan Makna Pendidikan
B. Hakikat Pendidikan Jasmani
C. Tujuan Pendidikan Jasmani
D. Gerak Sebagai Kebutuhan Anak
E. Pentingnya Pendidikan Jasmani
A. Kedudukan dan Makna Pendidikan
B. Hakikat Pendidikan Jasmani
C. Tujuan Pendidikan Jasmani
D. Gerak Sebagai Kebutuhan Anak
E. Pentingnya Pendidikan Jasmani
BAB II KONSEP DAN
FALSAFAH PENJAS
A. Pengertian Pendidikan Jasmani
B. Perbedaan Makna Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Olahraga
C. Dasar Falsafah Pendidikan Jasmani
D. Landasan Ilmiah Pelaksanaan Pendidikan Jasmani
A. Pengertian Pendidikan Jasmani
B. Perbedaan Makna Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Olahraga
C. Dasar Falsafah Pendidikan Jasmani
D. Landasan Ilmiah Pelaksanaan Pendidikan Jasmani
BAB III ASAS
PENGEMBANGAN PENJAS DI SDLB/SLB TINGKAT DASAR
A. Asas Pengembangan dan Penetapan Sasaran Pendidikan Jasmani
B. Model Orientasi Kurikulum dalam Pendidikan Jasmani
C. Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani
D. Arah Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Jasmani
E. Arah Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Jasmani bagi Anak Luar Biasa .
A. Asas Pengembangan dan Penetapan Sasaran Pendidikan Jasmani
B. Model Orientasi Kurikulum dalam Pendidikan Jasmani
C. Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani
D. Arah Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Jasmani
E. Arah Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Jasmani bagi Anak Luar Biasa .
Bangsa
kita sedang dihadapkan pada kondisi centang perenang. Krisis multimuka yang
datang menyusul terjadinya krisis ekonomi dan krisis moneter yang memukul
bangsa kita di titik akhir milenium kedua, hingga kini masih membekaskan luka
dalam bagi sebagian besar masyarakat kita. Luka itu terasa lebih pedih dan lama
bagi bangsa kita, di tengah kondisi dunia yang sedang dihadapkan pada krisis
perebutan kekuasaan politik dunia, dengan nuansa kental perebutan kekuatan
ekonomi dan teknologi di sebagian besar dunia maju.
Kemampuan
ekonomi bangsa Indonesia telah terlempar pada keadaan tak terkendali,
menghasilkan persoalan-persoalan seperti pemangkasan anggaran, harga barang
yang membubung, kesulitan dan konflik penduduk kota, rangkaian pengangguran,
hingga defisit pemerintah yang semakin menggunung.
Jika
negara maju lainnya sudah mengambil langkah-langkah pasti terhadap persoalan
global yang menantang tersebut, Indonesia tetap berada dalam kondisi lesu. Bagi
negara lain, misalnya, keterbatasan sumber energi yang berbasis pada penggunaan
minyak bumi telah diantisipasi dengan jalan memproduksi alat transportasi dan
pengoperasian pabrik-pabrik yang akrab lingkungan dan hemat energi. Perhatian terhadap
lingkungan telah mengarah pada upaya pengimplementasian alat-alat dan aturan
yang membatasi toleransi kebisingan suara, radiasi, dan polusi serta perusakan
tanah, hutan dan sungai. Penekanan asas akuntabilitas telah mendorong para
pembayar pajak untuk mengetahui kemana saja uang mereka dihabiskan. Ancaman
perpecahan antar etnis dan konflik bangsa-bangsa mengarah pada diberdayakannya
pendidikan dalam semua jenjang dan mata pelajaran sebagai alat untuk
menumbuhkan saling pengertian dan cinta damai pada para siswa dan
masyarakatnya. Ini semua berbeda tajam dengan apa yang tengah terjadi di negara
kita.
Tidak
cukup dengan itu, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sudah
mencapai tahap yang sangat maju, telah pula menghadapkan bangsa kita, terutama
para remaja dan anak-anak, pada gaya hidup yang semakin menjauh dari semangat
perkembangan total, karena lebih mengutamakan keunggulan kecerdasan
intelektual, sambil mengorbankan kepentingan keunggulan fisik dan moral
individu. Budaya hidup sedenter (kurang gerak) karenanya semakin kuat
menggejala di kalangan anak-anak dan remaja, berkombinasi dengan semakin
hilangnya ruang-ruang publik dan tugas kehidupan yang memerlukan upaya fisik
yang keras. Segalanya menjadi mudah, demikian pernyataan para ahli, sehingga
lambat laun kemampuan fisik manusia sudah tidak diperlukan lagi. Dikhawatirkan,
secara evolutif manusia akan berubah bentuk fisiknya, mengarah pada bentuk yang
tidak bisa kita bayangkan, karena banyak anggota tubuh kita, dari mulai kaki
dan lengan sudah dipandang tidak berfungsi lagi.
Dalam
kondisi demikian, patutlah kita mempertanyakan kembali peranan dan fungsi
pendidikan, khususnya pendidikan jasmani: apakah peranan yang bisa dimainkan
oleh program pendidikan jasmani dalam kondisi dunia dan bangsa yang semakin
dihadapkan pada kuatnya potensi konflik tersebut? Apa peranan pendidikan
jasmani dalam mempersiapkan para pewaris bangsa ini untuk mampu bersaing secara
sehat dalam persaingan global sekarang dan kelak? Apa pula peranan pendidikan
jasmani dan olahraga dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya evolusi
kehidupan manusia yang cenderung tidak lagi memerlukan perangkat fisik yang
utuh untuk menjalankan tugasnya sehari-hari?
Buku
ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas, serta menawarkan
satu alternatif dalam memandang peranan dan fungsi Pendidikan Jasmani yang
seharusnya dilaksanakan di sekolah-sekolah, termasuk di sekolah luar Biasa
(SLB).
B. Hakikat Pendidikan Jasmani
Pendidikan
jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas
fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam
hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan jasmani memperlakukan anak
sebagai sebuah kesatuan utuh, mahluk total, daripada hanya menganggapnya
sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya.
Pada
kenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu bidang kajian yang sungguh luas.
Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia. Lebih khusus lagi, penjas
berkaitan dengan hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lainnya:
hubungan dari perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya. Fokusnya
pada pengaruh perkembangan fisik terhadap wilayah pertumbuhan dan perkembangan
aspek lain dari manusia itulah yang menjadikannya unik. Tidak ada bidang
tunggal lainnya seperti pendidikan jasmani yang berkepentingan dengan
perkembangan total manusia.
Per
definisi, pendidikan jasmani diartikan dengan berbagai ungkapan dan kalimat.
Namun esensinya sama, yang jika disimpulkan bermakna jelas, bahwa pendidikan
jasmani memanfaatkan alat fisik untuk mengembangan keutuhan manusia. Dalam
kaitan ini diartikan bahwa melalui fisik, aspek mental dan emosional pun turut
terkembangkan, bahkan dengan penekanan yang cukup dalam. Berbeda dengan bidang lain,
misalnya pendidikan moral, yang penekanannya benar-benar pada perkembangan
moral, tetapi aspek fisik tidak turut terkembangkan, baik langsung maupun
secara tidak langsung.
Karena
hasil-hasil kependidikan dari pendidikan jasmani tidak hanya terbatas pada
manfaat penyempurnaan fisik atau tubuh semata, definisi penjas tidak hanya
menunjuk pada pengertian tradisional dari aktivitas fisik. Kita harus melihat
istilah pendidikan jasmani pada bidang yang lebih luas dan lebih abstrak,
sebagai satu proses pembentukan kualitas pikiran dan juga tubuh.
Sungguh,
pendidikan jasmani ini karenanya harus menyebabkan perbaikan dalam ‘pikiran dan
tubuh’ yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan harian seseorang. Pendekatan
holistik tubuh-jiwa ini termasuk pula penekanan pada ketiga domain
kependidikan: psikomotor, kognitif, dan afektif. Dengan meminjam ungkapan
Robert Gensemer, penjas diistilahkan sebagai proses menciptakan “tubuh yang
baik bagi tempat pikiran atau jiwa.” Artinya, dalam tubuh yang baik
‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno:
Men sana in corporesano.
Kesatuan Jiwa dan Raga
Salah
satu pertanyaan sulit di sepanjang jaman adalah pemisahan antara jiwa dan raga
atau tubuh. Kepercayaan umum menyatakan bahwa jiwa dan raga terpisah, dengan
penekanan berlebihan pada satu sisi tertentu, disebut dualisme, yang mengarah
pada penghormatan lebih pada jiwa, dan menempatkan kegiatan fisik secara lebih
inferior.
Pandangan
yang berbeda lahir dari filsafat monisme, yaitu suatu kepercayaan yang
memenangkan kesatuan tubuh dan jiwa. Kita bisa melacak pandangan ini dari
pandangan Athena Kuno, dengan konsepnya “jiwa yang baik di dalam raga yang
baik.” Moto tersebut sering dipertimbangkan sebagai pernyataan ideal dari
tujuan pendidikan jasmani tradisional: aktivitas fisik mengembangkan seluruh
aspek dari tubuh; yaitu jiwa, tubuh, dan spirit. Tepatlah ungkapan Zeigler
bahwa fokus dari bidang pendidikan jasmani adalah aktivitas fisik yang
mengembangkan, bukan semata-mata aktivitas fisik itu sendiri. Selalu terdapat
tujuan pengembangan manusia dalam program pendidikan jasmani.
Akan
tetapi, pertanyaan nyata yang harus dikedepankan di sini bukanlah ‘apakah kita
percaya terhadap konsep holistik tentang pendidikan jasmani, tetapi, apakah
konsep tersebut saat ini bersifat dominan dalam masyarakat kita atau di antara
pengemban tugas penjas sendiri?
Dalam
masyarakat sendiri, konsep dan kepercayaan terhadap pandangan dualisme di atas
masih kuat berlaku. Bahkan termasuk juga pada sebagian besar guru penjas
sendiri, barangkali pandangan demikian masih kuat mengakar, entah akibat dari
kurangnya pemahaman terhadap falsafah penjas sendiri, maupun karena kuatnya
kepercayaan itu. Yang pasti, masih banyak guru penjas yang sangat jauh dari
menyadari terhadap peranan dan fungsi pendidikan jasmani di sekolah-sekolah,
sehingga proses pembelajaran penjas di sekolahnya masih lebih banyak ditekankan
pada program yang berat sebelah pada aspek fisik semata-mata. Bahkan, dalam
kasus Indonesia, penekanan yang berat itu masih dipandang labih baik, karena
ironisnya, justru program pendidikan jasmani di kita malahan tidak ditekankan
ke mana-mana. Itu karena pandangan yang sudah lebih parah, yang memandang bahwa
program penjas dipandang tidak penting sama sekali.
Nilai-nilai
yang dikandung penjas untuk mengembangkan manusia utuh menyeluruh, sungguh
masih jauh dari kesadaran dan pengakuan masyarakat kita. Ini bersumber dan
disebabkan oleh kenyataan pelaksanaan praktik penjas di lapangan. Teramat
banyak kasus atau contoh di mana orang menolak manfaat atau nilai positif dari
penjas dengan menunjuk pada kurang bernilai dan tidak seimbangnya program
pendidikan jasmani di lapangan seperti yang dapat mereka lihat. Perbedaan atau
kesenjangan antara apa yang kita percayai dan apa yang kita praktikkan (gap
antara teori dan praktek) adalah sebuah duri dalam bidang pendidikan jasmani
kita.
Hubungan Pendidikan Jasmani dengan Bermain dan
Olahraga
Dalam
memahami arti pendidikan jasmani, kita harus juga mempertimbangkan hubungan
antara bermain (play) dan olahraga (sport), sebagai istilah yang lebih dahulu
populer dan lebih sering digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari.
Pemahaman tersebut akan membantu para guru atau masyarakat dalam memahami
peranan dan fungsi pendidikan jasmani secara lebih konseptual.
Bermain pada intinya adalah aktivitas yang digunakan sebagai
hiburan. Kita mengartikan bermain sebagai hiburan yang bersifat fisikal yang
tidak kompetitif, meskipun bermain tidak harus selalu bersifat fisik. Bermain
bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari bermain
dapat ditemukan di dalam keduanya.
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang
terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga
semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisasi, yang menempatkannya
lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang
lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan
aktivitas kompetitif.
Ketika
kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir,
kita mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan
hingga kadar tertentu, sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang
terlibat. Peraturan, misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis, digunakan
atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau prosedur tersebut tidak
dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan semua pihak
yang terlibat.
Di
atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak
dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi
itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain,
karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak
pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek kompetitif teramat penting dalam
hakikatnya.
Di
pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen baik dari bermain maupun dari
olahraga, tetapi tidak berarti hanya salah satu saja, atau tidak juga harus
selalu seimbang di antara keduanya. Sebagaimana dimengerti dari kata-katanya,
pendidikan jasmani adalah aktivitas jasmani yang memiliki tujuan kependidikan
tertentu. Pendidikan Jasmani bersifat fisik dalam aktivitasnya dan penjas
dilaksanakan untuk mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku bagi bermain dan
olahraga, meskipun keduanya selalu digunakan dalam proses kependidikan.
Bermain,
olahraga dan pendidikan jasmani melibatkan bentuk-bentuk gerakan, dan ketiganya
dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk
tujuan-tujuan kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan menghibur tanpa
adanya tujuan pendidikan, seperti juga olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan
kependidikan. Misalnya, olahraga profesional (di Amerika umumnya disebut
athletics) dianggap tidak punya misi kependidikan apa-apa, tetapi tetap disebut
sebagai olahraga. Olahraga dan bermain dapat eksis meskipun secara murni untuk
kepentingan kesenangan, untuk kepentingan pendidikan, atau untuk kombinasi
keduanya. Kesenangan dan pendidikan tidak harus dipisahkan secara eksklusif;
keduanya dapat dan harus beriringan bersama.
Lalu bagaimana dengan rekreasi dan dansa (dance)?
Para
ahli memandang bahwa rekreasi adalah aktivitas untuk mengisi waktu senggang.
Akan tetapi, rekreasi dapat pula memenuhi salah satu definisi “penggunaan
berharga dari waktu luang.” Dalam pandangan itu, aktivitas diseleksi oleh
individu sebagai fungsi memperbaharui ulang kondisi fisik dan jiwa, sehingga
tidak berarti hanya membuang-buang waktu atau membunuh waktu. Rekreasi adalah
aktivitas yang menyehatkan pada aspek fisik, mental dan sosial. Jay B. Nash
menggambarkan bahwa rekreasi adalah pelengkap dari kerja, dan karenanya
merupakan kebutuhan semua orang.
Dengan
demikian, penekanan dari rekreasi adalah dalam nuansa “mencipta kembali”
(re-creation) orang tersebut, upaya revitalisasi tubuh dan jiwa yang terwujud
karena ‘menjauh’ dari aktivitas rutin dan kondisi yang menekan dalam kehidupan
sehari-hari. Landasan kependidikan dari rekreasi karenanya kini diangkat
kembali, sehingga sering diistilahkan dengan pendidikan rekreasi, yang tujuan
utamanya adalah mendidik orang dalam bagaimana memanfaatkan waktu senggang
mereka.
Sedangkan
dansa adalah aktivitas gerak ritmis yang biasanya dilakukan dengan iringan
musik, kadang dipandang sebagai sebuah alat ungkap atau ekspresi dari suatu
lingkup budaya tertentu, yang pada perkembangannya digunakan untuk hiburan dan
memperoleh kesenangan, di samping sebagai alat untuk menjalin komunikasi dan
pergaulan, di samping sebagai kegiatan yang menyehatkan.
Di
Amerika, dansa menjadi bagian dari program pendidikan jasmani, karena dipandang
sebagai alat untuk membina perbendaharaan dan pengalaman gerak anak, di samping
untuk meningkatkan kebugaran jasmani serta pewarisan nilai-nilai. Meskipun
menjadi bagian penjas, dansa sendiri masih dianggap sebagai cabang dari seni.
Kemungkinan bahwa dansa digunakan dalam penjas terutama karena hasilnya yang
mampu mengembangkan orientasi gerak tubuh. Bahkan ditengarai bahwa aspek seni
dari dansa dipandang mampu mengurangi kecenderungan penjas agar tidak terlalu
berorientasi kompetitif dengan memasukkan unsur estetikanya. Jadi sifatnya
untuk melengkapi fungsi dan peranan penjas dalam membentuk manusia yang utuh
seperti diungkap di bagian-bagian awal naskah ini.
C. Tujuan Pendidikan Jasmani
Apakah
sebenarnya tujuan pendidikan jasmani? Menjawab pertanyaan demikian, banyak guru
yang masih berbeda pendapat. Ada yang menjawab bahwa tujuannya adalah untuk
meningkatkan keterampilan siswa dalam berolahraga. Ada pula yang berpendapat,
tujuannya adalah meningkatkan taraf kesehatan anak yang baik, dan tidak bisa
disangkal pula pasti ada yang mengatakan, bahwa tujuan pendidikan jasmani
adalah untuk meningkatkan kebugaran jasmani. Kesemua jawaban di atas benar
belaka. Hanya saja barangkali bisa dikatakan kurang lengkap, sebab yang paling
penting dari kesemuanya itu tujuannya bersifat menyeluruh.
Secara
sederhana, pendidikan jasmani memberikan kesempatan kepada siswa untuk:
- Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan aktivitas jasmani, perkembangan estetika, dan perkembangan sosial.
- Mengembangkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk menguasai keterampilan gerak dasar yang akan mendorong partisipasinya dalam aneka aktivitas jasmani.
- Memperoleh dan mempertahankan derajat kebugaran jasmani yang optimal untuk melaksanakan tugas sehari-hari secara efisien dan terkendali.
- Mengembangkan nilai-nilai pribadi melalui partisipasi dalam aktivitas jasmani baik secara kelompok maupun perorangan.
- Berpartisipasi dalam aktivitas jasmani yang dapat mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan siswa berfungsi secara efektif dalam hubungan antar orang.
- Menikmati kesenangan dan keriangan melalui aktivitas jasmani, termasuk permainan olahraga.
Diringkaskan
dalam terminologi yang populer, maka tujuan pembelajaran pendidikan jasmani itu
harus mencakup tujuan dalam domain psikomotorik, domain kognitif, dan tak kalah
pentingnya dalam domain afektif.
Pengembangan domain
psikomotorik secara umum dapat diarahkan pada dua tujuan utama,
pertama mencapai perkembangan aspek kebugaran jasmani, dan kedua, mencapai
perkembangan aspek perseptual motorik. Ini menegaskan bahwa pembelajaran
pendidikan jasmani harus melibatkan aktivitas fisik yang mampu merangsang
kemampuan kebugaran jasmani serta sekaligus bersifat pembentukan penguasaan
gerak keterampilan itu sendiri.
Kebugaran
jasmani merupakan aspek penting dari domain psikomotorik, yang bertumpu pada
perkembangan kemampuan biologis organ tubuh. Konsentrasinya lebih banyak pada
persoalan peningkatan efisiensi fungsi faal tubuh dengan segala aspeknya
sebagai sebuah sistem (misalnya sistem peredaran darah, sistem pernapasan,
sistem metabolisme, dll.)
Dalam
pengertian yang lebih resmi, sering dibedakan konsep kebugaran jasmani ini
dengan konsep kebugaran motorik. Keduanya dibedakan dalam hal: kebugaran
jasmani menunjuk pada aspek kualitas tubuh dan organ-organnya, seperti kekuatan
(otot), daya tahan (jantung-paru), kelentukan (otot dan persendian); sedangkan
kebugaran motorik menekankan aspek penampilan yang melibatkan kualitas gerak
sendiri seperti kecepatan, kelincahan, koordinasi, power, keseimbangan, dll. Namun
dalam naskah ini, penulis akan menggunakan konsep kebugaran jasmani tersebut
untuk menunjuk pada keseluruhan aspek di atas.
Pengembangan
keterampilan gerak merujuk pada proses penguasaan suatu keterampilan atau tugas
gerak yang melibatkan proses mempersepsi rangsangan dari luar, kemudian
rangsangan itu diolah dan diprogramkan sampai terjadinya respons berupa
tindakan yang sesuai dengan rangsangan itu.
Penekanan
proses pembelajarannya lebih banyak ditujukan pada proses perangsangan yang
bervariasi, sehingga setiap kali anak selalu mengerahkan kemampuannya dalam
mengolah informasi, ketika akan menghasilkan gerak. Dengan cara itu, kepekaan
sistem saraf anak semakin dikembangkan.
Domain
kognitif mencakup pengetahuan tentang fakta, konsep, dan lebih penting lagi
adalah penalaran dan kemampuan memecahkan masalah. Aspek kognitif dalam
pendidikan jasmani, tidak saja menyangkut penguasaan pengetahuan faktual
semata-mata, tetapi meliputi pula pemahaman terhadap gejala gerak dan
prinsipnya, termasuk yang berkaitan dengan landasan ilmiah pendidikan jasmani
dan olahraga serta manfaat pengisian waktu luang.
Domain
afektif mencakup sifat-sifat psikologis yang menjadi unsur kepribadian yang
kukuh. Tidak hanya tentang sikap sebagai kesiapan berbuat yang perlu
dikembangkan, tetapi yang lebih penting adalah konsep diri dan komponen
kepribadian lainnya, seperti intelegensia emosional dan watak. Konsep diri
menyangkut persepsi diri atau penilaian seseorang tentang kelebihannya. Konsep
diri merupakan fondasi kepribadian anak dan sangat diyakini ada kaitannya
dengan pertumbuhan dan perkembangan mereka setelah dewasa kelak.
Intelegensia
emosional mencakup beberapa sifat penting, yakni pengendalian diri, kemampuan
memotivasi diri, ketekunan, dan kemampuan untuk berempati. Pengendalian diri
merupakan kualitas pribadi yang mampu menyelaraskan pertimbangan akal dan emosi
yang menjadi sifat penting dalam kehidupan sosial dan pencapaiannya untuk
sukses hidup di masyarakat. Demikian juga dengan ketekunan; tidak ada pekerjaan
yang dapat dicapai dengan baik tanpa ada ketekunan. Ini juga berlaku sama
dengan kemampuan memotivasi diri, kemandirian untuk tidak selalu diawasi dalam
menyelesaikan tugas apapun.
Di
lain pihak, kemampuan berempati merupakan kualitas pribadi yang mampu
menempatkan diri di pihak orang lain, dengan mencoba mengetahui perasaan oran
lain. Karena itu pula empati disebut juga sebagai kecerdasan hubungan sosial.
“Cubitlah diri kamu sendiri, sebelum mencubit orang lain. Niscaya kamu akan
mengetahui, apa yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan pada orang lain,”
merupakan kearifan leluhur, yang jika diperas maknanya, tidak lain adalah
penekanan kemampuan berempati.
D. Gerak Sebagai Kebutuhan Anak
Dunia
anak-anak adalah dunia yang segar, baru, dan senantiasa indah, dipenuhi keajaiban
dan keriangan. Demikian Rachel Carson dalam sebuah ungkapannya. Namun demikian,
menurut Carson, adalah kemalangan bagi kebanyakan kita bahwa dunia yang
cemerlang itu terenggut muram dan bahkan hilang sebelum kita dewasa.
Dunia
anak-anak memang menakjubkan, mengandung aneka ragam pengalaman yang
mencengangkan, dilengkapi berbagai kesempatan untuk memperoleh pembinaan . Bila
guru masuk ke dalam dunia itu, ia dapat membantu anak-anak untuk mengembangkan
pengetahuannya, mengasah kepekaan rasa hatinya serta memperkaya
keterampilannya.
Bermain
adalah dunia anak. Sambil bermain mereka belajar. Dalam hal belajar, anak-anak
adalah ahlinya. Segala macam dipelajarinya, dari menggerakkan anggota tubuhnya
hingga mengenali berbagai benda di lingkungan sekitarnya. Bayangkan keceriaan
yang didapatnya ketika ia menyadari baru saja menambah pengetahuan dan
keterampilan. “Lihat, saya sudah bisa “ teriaknya kepada semua orang.
Belajar
dan keceriaan merupakan dua hal penting dalam masa kanak-kanak. Hal ini
termasuk upaya mempelajari tubuhnya sendiri dan berbagai kemungkinan geraknya.
Gerak adalah rangsangan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kian
banyak ia bergerak, kian banyak hal yang ditemui dan dijelajahi. Kian baik pula
kualitas pertumbuhannya.
Perhatikan
tiga kata kunci di atas: gerak,
gembira, dan belajar.
Anak-anak suka bergerak dan suka belajar. Perhatikan bagaimana anak-anak
bermain di lapangan. Di sana akan tampak, mereka bergerak dengan keterlibatan
yang total dan dipenuhi kegembiraan. Bagi anak, gerak semata-mata untuk
kesenangan, bukan di dorong oleh maksud dan tujuan tertentu. Gerak adalah
kebutuhan mutlak anak-anak.
Sayangnya, ketika usianya semakin meningkat, aktivitas anak-anak semakin berkurang. Ketika memasuki usia sekolah, ia belajar dengan cara yang berbeda. Mereka lebih banyak diminta duduk tenang untuk mendengarkan penjelasan guru tentang berbagai hal. Lingkungan belajar pun semakin sempit, dibatasi oleh empat sisi dinding kelas yang membelenggu. Karena dipaksa untuk diam, dan mendengarkan orang lain berbicara, belajar tidak lagi menarik bagi anak. Keceriaan mereka terampas dan hilanglah sebagian “keajaiban” dunia anak-anak mereka. Tidak heran bila anak merasa bahwa belajar ternyata kegiatan yang tidak menyenangkan.
Sayangnya, ketika usianya semakin meningkat, aktivitas anak-anak semakin berkurang. Ketika memasuki usia sekolah, ia belajar dengan cara yang berbeda. Mereka lebih banyak diminta duduk tenang untuk mendengarkan penjelasan guru tentang berbagai hal. Lingkungan belajar pun semakin sempit, dibatasi oleh empat sisi dinding kelas yang membelenggu. Karena dipaksa untuk diam, dan mendengarkan orang lain berbicara, belajar tidak lagi menarik bagi anak. Keceriaan mereka terampas dan hilanglah sebagian “keajaiban” dunia anak-anak mereka. Tidak heran bila anak merasa bahwa belajar ternyata kegiatan yang tidak menyenangkan.
E. Pentingnya Pendidikan Jasmani
Beban
belajar di sekolah begitu berat dan menekan kebebasan anak untuk bergerak.
Kebutuhan mereka akan gerak tidak bisa terpenuhi karena keterbatasan waktu dan
kesempatan. Lingkungan sekolah tidak menyediakan wilayah yang menarik untuk
dijelajahi. Penyelenggara pendidikan di sekolah yang lebih mengutamakan
prestasi akademis, memberikan anak tugas-tugas belajar yang menumpuk.
Kehidupan
sekolah yang demikian berkombinasi pula dengan kehidupan di rumah dan
lingkungan luar sekolah. Jika di sekolah anak kurang bergerak, di rumah
keadaannya juga demikian. Kemajuan teknologi yang dicapai pada saat ini, malah
mengungkung anak-anak dalam lingkungan kurang gerak. Anak semakin asyik dengan
kesenangannya seperti menonton TV atau bermain video game. Tidak mengherankan
bila ada kerisauan bahwa kebugaran anak-anak semakin menurun.
Dengan
semakin rendahnya kebugaran jasmani, kian meningkat pula gejala penyakit
hipokinetik (kurang gerak). Kegemukan, tekanan darah tinggi, kencing manis,
nyeri pinggang bagian bawah, adalah contoh dari penyakit kurang gerak .
Akibatnya penyakit jantung tidak lagi menjadi monopoli orang dewasa, tetapi
juga sudah menyerang anak-anak.
Sejalan
dengan itu, pengetahuan dan kebiasaan makan yang buruk pun semakin memperparah
masalah kesehatan yang mengancam kesejahteraan masyarakat. Dengan pola gizi
yang berlebihan, para ‘pemalas gerak’ itu akan menimbun lemak dalam tubuhnya
secara berlebihan. Mereka menghadapkan diri mereka sendiri pada resiko penyakit
degenaratif (menurunnya fungsi organ) yang semakin besar.
Pendidikan
Jasmani tampil untuk mengatasi masalah tersebut sehingga kedudukannya dianggap
penting. Melalui program yang direncanakan secara baik, anak-anak dilibatkan
dalam kegiatan fisik yang tinggi intensitasnya. Pendidikan Jasmani juga tetap
menyediakan ruang untuk belajar menjelajahi lingkungan yang ada di sekitarnya
dengan banyak mencoba, sehingga kegiatannya tetap sesuai dengan minat anak.
Lewat pendidikan jasmanilah anak-anak menemukan saluran yang tepat untuk
bergerak bebas dan meraih kembali keceriaannya, sambil terangsang perkembangan
yang bersifat menyeluruh.
Secara
umum, manfaat pendidikan jasmani di sekolah mencakup sebagai berikut:
1.
Memenuhi kebutuhan anak akan gerak
Pendidikan
jasmani memang merupakan dunia anak-anak dan sesuai dengan kebutuhan anak-anak.
Di dalamnya anak-anak dapat belajar sambil bergembira melalui penyaluran
hasratnya untuk bergerak. Semakin terpenuhi kebutuhan akan gerak dalam
masa-masa pertumbuhannya, kian besar kemaslahatannya bagi kualitas pertumbuhan
itu sendiri.
2. Mengenalkan
anak pada lingkungan dan potensi dirinya
Pendidikan
jasmani adalah waktu untuk ‘berbuat’. Anak-anak akan lebih memilih untuk
‘berbuat’ sesuatu dari pada hanya harus melihat atau mendengarkan orang lain
ketika mereka sedang belajar. Suasana kebebasan yang ditawarkan di lapangan
atau gedung olahraga sirna karena sekian lama terkurung di antara batas-batas
ruang kelas. Keadaan ini benar-benar tidak sesuai dengan dorongan nalurinya.
Dengan
bermain dan bergerak anak benar-benar belajar tentang potensinya dan dalam
kegiatan ini anak-anak mencoba mengenali lingkungan sekitarnya. Para ahli
sepaham bahwa pengalaman ini penting untuk merangsang pertumbuhan intelektual
dan hubungan sosialnya dan bahkan perkembangan harga diri yang menjadi dasar
kepribadiannya kelak.
3.
Menanamkan dasar-dasar keterampilan yang berguna
Peranan
pendidikan jasmani di Sekolah Dasar cukup unik, karena turut mengembangkan
dasar-dasar keterampilan yang diperlukan anak untuk menguasai berbagai
keterampilan dalam kehidupan di kemudian hari. Menurut para ahli, pola
pertumbuhan anak usia sekolah hingga menjelang akil balig atau remaja disebut
pola pertumbuhan lambat. Pola ini merupakan kebalikan dari pola pertumbuhan
cepat yang dialami anak ketika mereka baru lahir hingga usia 5 tahunan. Dalam
hal ini berlaku dalil:
“… ketika
memasuki masa pertumbuhan cepat, kemampuan untuk mempelajari
keterampilan-keterampilan baru berjalan lambat. Sebaliknya, dalam masa
pertumbuhan yang lambat, kemampuan untuk mempelajari keterampilan meningkat.”
|
Karena
pada usia SD tingkat pertumbuhan sedang lambat-lambatnya, maka pada usia-usia
inilah kesempatan anak untuk mempelajari keterampilan gerak sedang tiba pada
masa kritisnya. Konsekuensinya, keterlantaran pembinaan pada masa ini sangat
berpengruh terhadap perkembangan anak pada masa berikutnya.
4.
Menyalurkan energi yang berlebihan
Anak
adalah mahluk yang sedang berada dalam masa kelebihan energi. Kelebihan energi
ini perlu disalurkan agar tidak menganggu keseimbangan perilaku dan mental
anak. Segera setelah kelebihan energi tersalurkan, anak akan memperoleh kembali
keseimbangan dirinya, karena setelah istirahat, anak akan kembali memperbaharui
dan memulihkan energinya secara optimum.
5.
Merupakan proses pendidikan secara serempak baik fisik, mental maupun emosional
Pendidikan
jasmani yang benar akan memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap
pendidikan anak secara keseluruhan. Hasil nyata yang diperoleh dari pendidikan
jasmani adalah perkembangan yang lengkap, meliputi aspek fisik, mental, emosi, sosial
dan moral. Tidak salah jika para ahli percaya bahwa pendidikan jasmani
merupakan wahana yang paling tepat untuk “membentuk manusia seutuhnya”.
A. Pengertian Pendidikan Jasmani
Pendidikan
jasmani merupakan bagian penting dari proses pendidikan. Artinya, penjas bukan
hanya dekorasi atau ornamen yang ditempel pada program sekolah sebagai alat
untuk membuat anak sibuk. Tetapi penjas adalah bagian penting dari pendidikan.
Melalui penjas yang diarahkan dengan baik, anak-anak akan mengembangkan
keterampilan yang berguna bagi pengisian waktu senggang, terlibat dalam
aktivitas yang kondusif untuk mengembangkan hidup sehat, berkembang secara
sosial, dan menyumbang pada kesehatan fisik dan mentalnya.
Meskipun
penjas menawarkan kepada anak untuk bergembira, tidaklah tepat untuk mengatakan
pendidikan jasmani diselenggarakan semata-mata agar anak-anak bergembira dan
bersenang-senang. Bila demikian seolah-olah pendidikan jasmani hanyalah sebagai
mata pelajaran ”selingan”, tidak berbobot, dan tidak memiliki tujuan yang
bersifat mendidik.
Pendidikan
jasmani merupakan wahana pendidikan, yang memberikan kesempatan bagi anak untuk
mempelajari hal-hal yang penting. Oleh karena itu, pelajaran penjas tidak kalah
penting dibandingkan dengan pelajaran lain seperti; Matematika, Bahasa, IPS dan
IPA, dan lain-lain.
Namun
demikian tidak semua guru penjas menyadari hal tersebut, sehingga banyak
anggapan bahwa penjas boleh dilaksanakan secara serampangan. Hal ini tercermin
dari berbagai gambaran negatif tentang pembelajaran penjas, mulai dari
kelemahan proses yang menetap misalnya membiarkan anak bermain sendiri hingga
rendahnya mutu hasil pembelajaran, seperti kebugaran jasmani yang rendah.
Di
kalangan guru penjas sering ada anggapan bahwa pelajaran pendidikan jasmani
dapat dilaksanakan seadanya, sehingga pelaksanaannya cukup dengan cara menyuruh
anak pergi ke lapangan, menyediakan bola sepak untuk laki-laki dan bola voli
untuk perempuan. Guru tinggal mengawasi di pinggir lapangan.
Mengapa
bisa terjadi demikian? Kelemahan ini berpangkal pada ketidakpahaman guru
tentang arti dan tujuan pendidikan jasmani di sekolah, di samping ia mungkin
kurang mencintai tugas itu dengan sepenuh hati.
Apakah
sebenarnya pendidikan jasmani dan apa tujuannya? Secara umum pendidikan jasmani
dapat didefinisikan sebagai berikut:
Pendidikan Jasmani adalah proses pendidikan
melalui aktivitas jasmani, permainan atau olahraga yang terpilih untuk
mencapai tujuan pendidikan.
|
Definisi
di atas mengukuhkan bahwa pendidikan jasmani merupakan bagian tak terpisahkan
dari pendidikan umum. Tujuannya adalah untuk membantu anak agar tumbuh dan
berkembang secara wajar sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu menjadi
manusia Indonesia seutuhnya. Pencapaian tujuan tersebut berpangkal pada
perencanaan pengalaman gerak yang sesuai dengan karakteristik anak.
Jadi,
pendidikan jasmani diartikan sebagai proses pendidikan melalui aktivitas
jasmani atau olahraga. Inti pengertiannya adalah mendidik anak. Yang
membedakannya dengan mata pelajaran lain adalah alat yang digunakan adalah
gerak insani, manusia yang bergerak secara sadar. Gerak itu dirancang secara
sadar oleh gurunya dan diberikan dalam situasi yang tepat, agar dapat
merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak didik.
Tujuan
pendidikan jasmani sudah tercakup dalam pemaparan di atas yaitu memberikan
kesempatan kepada anak untuk mempelajari berbagai kegiatan yang membina
sekaligus mengembangkan potensi anak, baik dalam aspek fisik, mental, sosial,
emosional dan moral. Singkatnya, pendidikan jasmani bertujuan untuk
mengembangkan potensi setiap anak setinggi-tingginya.
Tujuan
di atas merupakan pedoman bagi guru penjas dalam melaksanakan tugasnya. Tujuan
tersebut harus bisa dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang direncanakan
secara matang, dengan berpedoman pada ilmu mendidik. Dengan demikian, hal
terpenting untuk disadari oleh guru penjas adalah bahwa ia harus menganggap
dirinya sendiri sebagai pendidik, bukan hanya sebagai pelatih atau pengatur
kegiatan.
Misi
pendidikan jasmani tercakup dalam tujuan pembelajaran yang meliputi domain
kognitif, afektif dan psikomotor. Perkembangan pengetahuan atau sifat-sifat
sosial bukan sekedar dampak pengiring yang menyertai keterampilan gerak. Tujuan
itu harus masuk dalam perencanaan dan skenario pembelajaran. Kedudukannya sama
dengan tujuan pembelajaran pengembangan domain psikomotor.
Dalam
hal ini, untuk mencapai tujuan tersebut , guru perlu membiasakan diri untuk
mengajar anak tentang apa yang akan dipelajari berlandaskan pemahaman tentang
prinsip-prinsip yang mendasarinya. Pergaulan yang terjadi di dalam adegan yang
bersifat mendidik itu dimanfaatkan secara sengaja untuk menumbuhkan berbagai
kesadaran emosional dan sosial anak. Dengan demikian anak akan berkembang
secara menyeluruh, yang akan mendukung tercapainya aneka kemampuan.
B. Perbedaan Makna Pendidikan Jasmani dan Pendidikan
Olahraga
Salah
satu pertanyaan yang sering diajukan oleh guru-guru penjas belakangan ini
adalah : “Apakah pendidikan jasmani?” Pertanyaan yang cukup aneh ini justru
dikemukakan oleh yang paling berhak menjawab pertanyaan tersebut.
Hal
tersebut mungkin terjadi karena pada waktu sebelumnya guru itu merasa dirinya
bukan sebagai guru penjas, melainkan guru pendidikan olahraga. Perubahan
pandangan itu terjadi menyusul perubahan nama mata pelajaran wajib dalam
kurikulum pendidikan di Indonesia, dari mata pelajaran pendidikan olahraga dan
kesehatan (orkes) dalam kurikulum 1984, menjadi pelajaran “pendidikan jasmani
dan kesehatan” (penjaskes) dalam kurikulum1994.
Perubahan
nama tersebut tidak dilengkapi dengan sumber belajar yang menjelaskan makna dan
tujuan kedua istilah tersebut. Akibatnya sebagian besar guru menganggap bahwa
perubahan nama itu tidak memiliki perbedaan, dan pelaksanaannya dianggap sama.
Padahal muatan filosofis dari kedua istilah di atas sungguh berbeda, sehingga
tujuannya pun berbeda pula. Pertanyaannya, apa bedanya pendidikan olahraga
dengan pendidikan jasmani ?
Pendidikan
jasmani berarti program pendidikan lewat gerak atau permainan dan olahraga. Di
dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabang olahraga
tertentu yang dipilih hanyalah alat untuk mendidik. Mendidik apa ? Paling tidak
fokusnya pada keterampilan anak. Hal ini dapat berupa keterampilan fisik dan
motorik, keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah, dan bisa
juga keterampilan emosional dan sosial.
Karena
itu, seluruh adegan pembelajaran dalam mempelajari gerak dan olahraga tadi
lebih penting dari pada hasilnya. Dengan demikian, bagaimana guru memilih
metode, melibatkan anak, berinteraksi dengan murid serta merangsang interaksi
murid dengan murid lainnya, harus menjadi pertimbangan utama.
Adapun pendidikan
olahraga adalah pendidikan yang membina anak agar menguasai
cabang-cabang olahraga tertentu. Kepada murid diperkenalkan berbagai cabang
olahraga agar mereka menguasai keterampilan berolahraga. Yang ditekankan di
sini adalah ‘ hasil ‘ dari pembelajaran itu, sehingga metode pengajaran serta
bagaimana anak menjalani pembelajarannya didikte oleh tujuan yang ingin dicapai.
Ciri-ciri pelatihan olahraga menyusup ke dalam proses pembelajaran.
Yang
sering terjadi pada pembelajaran ‘pendidikan olahraga‘ adalah bahwa guru kurang
memperhatikan kemampuan dan kebutuhan murid. Jika siswa harus belajar bermain
bola voli, mereka belajar keterampilan teknik bola voli secara langsung.
Teknik-teknik dasar dalam pelajaran demikian lebih ditekankan, sementara
tahapan penyajian tugas gerak yang disesuaikan dengan kemampuan anak kurang
diperhatikan.
Guru
demikian akan berkata: “kalau perlu tidak usah ada pentahapan, karena anak akan
dapat mempelajarinya secara langsung. Beri mereka bola, dan instruksikan anak
supaya bermain langsung”. Anak yang sudah terampil biasanya dapat menjadi
contoh, dan anak yang belum terampil belajar dari mengamati demonstrasi
temannya yang sudah mahir tadi. Untuk pengajaran model seperti ini, ada
ungkapan: “Kalau anda ingin anak-anak belajar renang, lemparkan mereka ke kolam
yang paling dalam, dan mereka akan bisa sendiri“
Tabel
di bawah menekankan perbedaan antara pendidikan jasmani dengan pendidikan
olahraga.
Perbedaan antara Pendidikan Jasmani dan Pendidikan
Olahraga
|
|
Pendidikan
Jasmani
|
Pendidikan
Olahraga
|
|
|
Pendidikan
jasmani tentu tidak bisa dilakukan dengan cara demikian. Pendidikan jasmani
adalah suatu proses yang terencana dan bertahap yang perlu dibina secara
hati-hati dalam waktu yang diperhitungkan.
Bila orientasi pelajaran pendidikan jasmani adalah agar anak menguasai keterampilan berolahraga, misalnya sepak bola, guru akan lebih menekankan pada pembelajaran teknik dasar dengan kriteria keberhasilan yang sudah ditentukan. Dalam hal ini, guru tidak akan memperhatikan bagaimana agar setiap anak mampu melakukannya, sebab cara melatih teknik dasar yang bersangkutan hanya dilakukan dengan cara tunggal. Beberapa anak mungkin bisa mengikuti dan menikmati cara belajar yang dipilih guru tadi. Tetapi sebagian lain merasa selalu gagal, karena bagi mereka cara latihan tersebut terlalu sulit, atau terlalu mudah.
Bila orientasi pelajaran pendidikan jasmani adalah agar anak menguasai keterampilan berolahraga, misalnya sepak bola, guru akan lebih menekankan pada pembelajaran teknik dasar dengan kriteria keberhasilan yang sudah ditentukan. Dalam hal ini, guru tidak akan memperhatikan bagaimana agar setiap anak mampu melakukannya, sebab cara melatih teknik dasar yang bersangkutan hanya dilakukan dengan cara tunggal. Beberapa anak mungkin bisa mengikuti dan menikmati cara belajar yang dipilih guru tadi. Tetapi sebagian lain merasa selalu gagal, karena bagi mereka cara latihan tersebut terlalu sulit, atau terlalu mudah.
Anak-anak
yang berhasil akan merasa puas dari cara latihan tadi, dan segera menyenangi
permainan sepak bola. Tetapi bagaimana dengan anak-anak lain yang kurang
berhasil? Mereka akan serta merta merasa bahwa permainan sepak bola terlalu
sulit dan tidak menyenangkan, sehingga mereka tidak menyukai pelajaran dan permainan
sepak bola tadi. Apalagi bila ketika mereka melakukan latihan yang gagal tadi,
mereka selalu diejek oleh teman-teman yang lain atau bahkan oleh gurunya
sendiri.
Anak-anak
dalam ‘kelompok gagal’ ini biasanya mengalami perasaan negatif. Akibatnya, citra
diri anak tidak berkembang dan anak cenderung menjadi anak yang rendah diri.
Melalui
pembelajaran pendidikan jasmani yang efektif, semua kecenderungan tadi bisa
dihapuskan, karena guru memilih cara agar anak yang kurang terampil pun tetap
menyukai latihan memperoleh pengalaman sukses. Di samping guru membedakan
bentuk latihan yang harus dilakukan setiap anak, kriteria keberhasilannya pun
dibedakan pula. Untuk ‘kelompok mampu’ kriteria keberhasilan lebih berat dari
anak yang kurang mampu, misalnya dalam pelajaran renang di tentukan: mampu
meluncur 10 meter untuk anak mampu, dan hanya 5 meter untuk anak kurang mampu.
Dengan
cara demikian, semua anak merasakan apa yang disebut “perasaan berhasil” tadi,
dan anak makin menyadari bahwa kemampuannya pun meningkat, seiring dengan
seringnya mereka mengulang-ulang latihan. Cara ini disebut gaya mengajar
‘partisipatif’ karena semua anak merasa dilibatkan dalam proses pembelajaran.
Untuk
mencegah terjadinya bahaya lain dari kegagalan, guru pendidikan jasmani harus mengembangkan
cara respons siswa terhadap anak yang gagal dan melarang siswa untuk
melemparkan ejekan pada temannya.
C. Dasar Falsafah Pendidikan Jasmani
Pendidikan
jasmani merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan umum.
Lewat program penjas dapat diupayakan peranan pendidikan untuk mengembangkan
kepribadian individu. Tanpa penjas, proses pendidikan di sekolah akan pincang.
Sumbangan
nyata pendidikan jasmani adalah untuk mengembangkan keterampilan (psikomotor).
Karena itu posisi pendidikan jasmani menjadi unik, sebab berpeluang lebih
banyak dari mata pelajaran lainnya untuk membina keterampilan. Hal ini
sekaligus mengungkapkan kelebihan pendidikan jasmani dari pelajaran-pelajaran
lainnya. Jika pelajaran lain lebih mementingkan pengembangan intelektual, maka
melalui pendidikan jasmani terbina sekaligus aspek penalaran, sikap dan
keterampilan.
Ada
tiga hal penting yang bisa menjadi sumbangan unik dari pendidikan jasmani,
yaitu:
- meningkatkan kebugaran jasmani dan kesehatan siswa,
- meningkatkan terkuasainya keterampilan fisik yang kaya, serta
- meningkatkan pengertian siswa dalam prinsip-prinsip gerak serta bagaimana menerapkannya dalam praktek.
Adakah
pelajaran lain (seperti bahasa, matematika, atau IPS) yang bisa menyumbang
kemampuan-kemampuan seperti di atas?
Untuk
meneliti aspek penting dari penjas, dasar-dasar pemikiran seperti berikut perlu
dipertimbangkan:
1. Kebugaran dan kesehatan
Kebugaran
dan kesehatan akan dicapai melalui program pendidikan jasmani yang terencana,
teratur dan berkesinambungan. Dengan beban kerja yang cukup berat serta
dilakukan dalam jangka waktu yang cukup secara teratur, kegiatan tersebut akan
berpengaruh terhadap perubahan kemampuan fungsi organ-organ tubuh seperti
jantung dan paru-paru. Sistem peredaran darah dan pernapasan akan bertambah
baik dan efisien, didukung oleh sistem kerja penunjang lainnya. Dengan
bertambah baiknya sistem kerja tubuh akibat latihan, kemampuan tubuh akan
meningkat dalam hal daya tahan, kekuatan dan kelentukannya. Demikian juga
dengan beberapa kemampuan motorik seperti kecepatan, kelincahan dan koordinasi.
Pendidikan
jasmani juga dapat membentuk gaya hidup yang sehat. Dengan kesadarannya anak
akan mampu menentukan sikap bahwa kegiatan fisik merupakan kebutuhan pokok
dalam hidupnya, dan akan tetap dilakukan di sepanjang hayat. Sikap itulah yang
kemudian akan membawa anak pada kualitas hidup yang sehat, sejahtera lahir dan
batin, yang disebut dengan istilah wellness.
Konsep
sehat dan sejahtera secara menyeluruh berbeda dengan pengertian sehat secara
fisik. Anak-anak dididik untuk meraih gaya hidup sehat secara total serta
kebiasan hidup yang sehat, baik dalam arti pemahaman maupun prakteknya.
Kebiasaan hidup sehat tersebut bukan hanya kesehatan fisik, tetapi juga
mencakup juga kesejahteraan mental, moral, dan spiritual. Tanda-tandanya adalah
anak lebih tahan dalam menghadapi tekanan dan cobaan hidup, berjiwa optimis,
merasa aman, nyaman, dan tenteram dalam kehidupan sehari-hari.
2. Keterampilan fisik
Keterlibatan
anak dalam asuhan permainan, senam, kegiatan bersama, dan lain-lain, merangsang
perkembangan gerakan yang efisien yang berguna untuk menguasai berbagai
keterampilan. Keterampilan tersebut bisa berbentuk keterampilan dasar misalnya
berlari dan melempar serta keterampilan khusus seperti senam atau renang. Pada
akhirnya keterampilan itu bisa mengarah kepada keterampilan yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari.
3. Terkuasainya prinsip-prinsip gerak
Pendidikan
jasmani yang baik harus mampu meningkatkan pengetahuan anak tentang
prinsip-prinsip gerak. Pengetahuan tersebut akan membuat anak mampu memahami
bagaimana suatu keterampilan dipelajari hingga tingkatannya yang lebih tinggi.
Dengan demikian, seluruh gerakannya bisa lebih bermakna. Sebagai contoh, anak
harus mengerti mengapa kaki harus dibuka dan bahu direndahkan ketika anak
sedang berusaha menjaga keseimbangannya. Mereka juga diharapkan mengerti
mengapa harus dilakukan pemanasan sebelum berolahraga, serta apa akibatnya
terhadap derajat kebugaran jasmani bila seseorang berlatih tidak teratur?
Namun
demikian, sumbangan pendidikan jasmani pun bukan hanya bersifat fisik semata,
melainkan merambah pada peningkatan kemampuan oleh pikir seperti kemampuan
membuat keputusan dan olah rasa seperti kemampuan memahami perasaan orang lain
(empati).
4. Kemampuan berpikir
Memang
sulit diamati secara langsung bahwa kegiatan yang diikuti oleh anak dalam
pendidikan jasmani dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak. Namun demikian
dapat ditegaskan di sini bahwa pendidikan jasmani yang efektif mampu merangsang
kemampuan berpikir dan daya analisis anak ketika terlibat dalam
kegiatan-kegiatan fisiknya. Pola-pola permainan yang memerlukan tugas-tugas
tertentu akan menekankan pentingnya kemampuan nalar anak dalam hal membuat
keputusan.
Taktik
dan strategi yang melekat dalam berbagai permainan pun perlu dianalisis dengan
baik untuk membuat keputusan yang tepat dan cepat. Secara tidak langsung,
keterlibatan anak dalam kegiatan pendidikan jasmani merupakan latihan untuk
menjadi pemikir dan pengambil keputusan yang mandiri.
Dalam
kegiatan pendidikan jasmani banyak sekali adegan pembelajaran yang memerlukan
diskusi terbuka yang menantang penalaran anak. Teknik gerak dan prinsip-prinsip
yang mendasarinya merupakan topik-topik yang menarik untuk didiskusikan.
Peraturan permainan dan variasi-variasi gerak juga bisa dijadikan rangsangan
bagi anak untuk memikirkan pemecahannya.
5. Kepekaan rasa
Dalam
hal olah rasa, pendidikan jasmani menempati posisi yang sungguh unik.
Kegiatannya yang selalu melibatkan anak dalam kelompok kecil maupun besar
merupakan wahana yang tepat untuk berkomunikasi dan bergaul dalam lingkup
sosial. Dalam kehidupan sosial, setiap individu akan belajar untuk bertanggung
jawab melaksanakan peranannya sebagai anggota masyarakat. Di dalam masyarakat
banyak norma yang harus ditaati dan aturan main yang melandasinya. Melalui
penjas, norma dan aturan juga dipelajari, dihayati dan diamalkan.
Untuk
dapat berperan aktif, anak pun akan menyadari bahwa ia dan kelompoknya harus
menguasai beberapa keterampilan yang diperlukan. Sesungguhnyalah bahwa kegiatan
pendidikan jasmani disebut sebagai ajang nyata untuk melatih
keterampilan-keterampilan hidup (life skill), agar seseorang dapat hidup
berguna dan tidak menyusahkan masyarakat. Keterampilan yang dipelajari bukan
hanya keterampilan gerak dan fisik semata, melainkan terkait pula dengan
keterampilan sosial, seperti berempati pada orang lain, menahan sabar,
memberikan respek dan penghargaan pada orang lain, mempunyai motivasi yang
tinggi, serta banyak lagi. Seorang ahli menyebut bahwa kesemua keterampilan di
atas adalah keterampilan hidup. Sedangkan ahli yang lain memilih istilah
kecerdasan emosional (emotional intelligence).
6. Keterampilan sosial
Kecerdasan
emosional atau keterampilan hidup bermasyarakat sangat mementingkan kemampuan
pengendalian diri. Dengan kemampuan ini seseorang bisa berhasil mengatasi
masalah dengan kerugian sekecil mungkin. Anak-anak yang rendah kemampuan
pengendalian dirinya biasanya ingin memecahkan masalah dengan kekerasan dan
tidak merasa ragu untuk melanggar berbagai ketentuan.
Pendidikan
jasmani menyediakan pengalaman nyata untuk melatih keterampilan mengendalikan
diri, membina ketekunan dan motivasi diri. Hal ini diperkuat lagi jika proses
pembelajaran direncanakan sebaik-baiknya. Setiap adegan pembelajaran dalam
permainan dapat dijadikan arena dialog dan perenungan tentang apa sisi
baik-buruknya suatu keputusan. Tak pelak, ini merupakan cara pembinaan moral
yang efektif.
Sebagai
contoh, jika dalam sebuah proses penjas terjadi pertengkaran antara dua orang
anak, guru bisa segera menghentikan kegiatan seluruh kelas dan mengundang
mereka untuk membicarakannya. Sebab-sebab pertengkaran diteliti dan guru
memancing pendapat anak-anak tentang apa perlunya mereka bertengkar, selain itu
mereka dirangsang untuk mencari pemecahan yang paling baik untuk kedua belah
pihak.
Demikian
juga dalam setiap adegan proses permainan yang memerlukan kesiapan mentaati
peraturan permainan. Di samping guru mempertanyakan pentingnya peraturan untuk
ditaati, guru dapat juga mengundang siswa untuk melihat berbagai konsekuensinya
jika peraturan itu dilanggar. Lalu guru dapat menanyakan pendapat siswa tentang
tujuan permainan. Misalnya guru bertanya: :”Apakah memenangkan pertandingan
dengan segala cara bisa dibenarkan?”, “Apakah kalah dalam suatu permainan
benar-benar merugikan?” bahkan lebih jauh lagi mungkin guru bisa memilih topik
di luar kejadian yang mereka alami sendiri, misalnya topik tentang tawuran
antar pelajar dari sekolah yang berbeda. Topik ini menarik untuk dibicarakan
dari sisi moral serta akibatnya terhadap kehidupan bermasyarakat.
7. Kepercayaan diri dan citra diri (self esteem)
Melalui
pendidikan jasmani kepercayaan diri dan citra diri (self esteem) anak akan
berkembang. Secara umum citra diri diartikan sebagai cara kita menilai diri
kita sendiri. Citra diri ini merupakan dasar untuk perkembangan kepribadian
anak. Dengan citra diri yang baik seseorang merasa aman dan berkeinginan untuk
mengeksplorasi dunia. Dia mau dan mampu mengambil resiko, berani berkomunikasi
dengan teman dan orang lain, serta mampu menanggulangi stress.
Cara
membina citra diri ini tidak cukup hanya dengan selalu berucap “saya pasti
bisa” atau “ saya paling bagus”. Tetapi perlu dinyatakan dalam usaha dan
pembiasan perilaku. Di situlah penjas menyediakan kesempatan pada anak untuk
membuktikannya. Ketika anak-anak berhasil mempelajari berbagai keterampilan
gerak dan kemampuan tubuhnya, perasaan positif akan berkembang dan ia merasa
optimis atau mampu untuk berbuat sesuatu. Dengan perasaan itu anak-anak akan
merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan yang baik dan pada gilirannya akan
mempengaruhi pula kualitas usahanya di lain waktu, agar sama seperti yang
dicitrakannya. Bila siswa merasa gagal sebelum berusaha, keadaan ini disebut
perasaan negatif, lawan dari perasaan positif.
Kejadian
demikian yang berulang-ulang akan memperkuat kepercayaan bahwa dirinya memang
memiliki kemampuan, sehingga terbentuk menjadi kepercayaan diri yang kuat.
Karena itu penting bagi guru penjas untuk menyajikan tugas-tugas belajar yang
bisa menyediakan pengalaman sukses dan menimbulkan perasaan berhasil (feeling
of success) pada setiap anak. Salah satu siasat yang dapat dikerjakan adalah
ukuran keberhasilan belajar tidak bersifat mutlak. Tiap anak memakai ukurannya
masing-masing.
D. Landasan Ilmiah Pelaksanaan Pendidikan Jasmani
Secara
ilmiah pelaksanaan pendidikan jasmani mendapat dukungan dari berbagai disiplin
ilmu, di mana pandangan-pandangan dari setiap disiplin tersebut dapat dijadikan
sebagai landasan bagi berlangsungnya program penjas di sekolah-sekolah. Di
bagian ini, penulis akan menguraikan landasan ilmiah dari minimal tiga disiplin
ilmu, yaitu dari sudut pandang biologis, sudut pandang psikologis, dan yang
terakhir sudut pandang sosiologis.
1. Landasan Biologis bagi Pendidikan Jasmani
Pendidikan
jasmani adalah disiplin yang berorientasi tubuh, di samping berorientasi pada
disiplin mental dan sosial. Guru pendidikan jasmani karenanya harus memiliki
penguasaan yang kokoh terhadap fungsi fisikal dari tubuh untuk memahami secara
lebih baik pemanfaatannya dalam kegiatan pendidikan jasmani. Khususnya dalam
masa modern dewasa ini, ketika pendidikan gerak dipandang teramat penting,
pengetahuan tentang bagaimana tubuh manusia berfungsi dipandang amat krusial
agar bisa melaksanakan tugas pengajaran dengan baik.
Joseph
W. Still telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti perilaku
fisikal dan intelektual manusia. Meskipun penelitiannya sudah berlangsung di
masa lalu, namun masih menemukan faktanya di masa kini, bahkan maknanya seolah
mendapatkan angin baru dalam era teknologi dewasa ini. Dalam penelitiannya,
Still menemukan bahwa keberhasilan manusia dalam pencapaian prestasi, baik
dalam hal prestasi fisikal maupun dalam prestasi intelektual, berhubungan
dengan usia serta dapat digambarkan dalam bentuk sebuah kurva, di mana kurva
itu bisa menaik dan bisa menurun, sesuai dengan perjalanan usia manusia.
Dalam
kurva hasil penelitian Still ditunjukkan bahwa tidak lebih dari 5% populasi
manusia berhasil mendaki kurva keberhasilan, sedang selebihnya lebih banyak
mengikuti kurva kegagalan, terutama setelah melewati usia antara 25 hingga 35
tahun. Yang menarik, menurut dugaan Still, kurva kegagalan dalam pertumbuhan
fisik menunjukkan bahwa perkembangan fisik manusia dewasa ini semakin
berkurang. Sebabnya, manusia modern sekarang dihadapkan pada rendahnya
melakukan latihan fisik, di samping karena terlalu banyak makan, minum, dan
merokok; sehingga mereka merosot kondisinya setelah usia 30 tahunan.
Demikian
juga dalam hal pertumbuhan dan perkembangan psikologis, yang menunjukkan kurva
kegagalan dalam hal prestasinya. Ciri-ciri perkembangan mental menunjukkan
puncak prestasi pada tahap perkembangan yang berbeda. Kemampuan mengingat
dicapai pada usia muda, imajinasi kreatif mencapai puncaknya pada usia dua
puluhan hingga tiga puluhan, keterampilan menganalisis dan sintesis suatu
persoalan berakhir di usia pertengahan, sedangkan pada usia-usia berikutnya
berkembang kemampuan berfilsafat.
Secara
biologis, manusia dirancang untuk menjadi mahluk yang aktif. Meskipun perubahan
dalam jaman dan peradaban telah menyebabkan penurunan dalam jumlah aktivitas
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas dasar yang berkaitan dengan
kehidupan, sebenarnya tubuh manusia tidaklah berubah. Karenanya, manusia harus
tetap menyadari bahwa dalam hal kesehatan tubuhnya, dasar biologisnya menuntut
dan mengakui pentingnya aktivitas fisik yang keras dalam hidupnya. Jika tidak,
kesehatan, produktivitas, serta efektivitas hidupnya akan menurun drastis.
Dalam hal itulah pendidikan jasmani yang baik di sekolah dan di masa-masa
berikut dalam hidupnya dipandang amat penting dalam menjaga kemampuan bilogis
manusia. Dipandang dari sudut ini, pendidikan jasmani terikat dekat pada
kekuatan mental, emosional, sosial, dan spiritual manusia.
2. Landasan Psikologis Pendidikan Jasmani
Pendidikan
jasmani melibatkan interaksi antara guru dengan anak serta anak dengan anak. Di
dalam adegan pembelajaran yang melibatkan interaksi tersebut, terletak suatu
keharusan untuk saling mengakui dan menghargai keunikan masing-masing, termasuk
kelebihan dan kelemahannya. Dan ini bukan hanya berkaitan dengan kelainan fisik
semata-mata, tetapi juga dalam kaitannya dengan perbedaan psikologis seperti
kepribadian, karakter, pola pikir, serta tak kalah pentingnya dalam hal
pengetahuan dan kepercayaan.
Program
pendidikan jasmani yang baik tentu harus dilandasi oleh pemahaman guru terhadap
karakteristik psikologis anak, dan yang paling penting dalam hal sumbangan apa
yang dapat diberikan oleh program pendidikan jasmani terhadap perkembangan
mental dan psikologis anak.
Studi
dalam ilmu-ilmu psikologi mempunyai implikasi untuk para guru pendidikan
jasmani, terutama dalam wilayah atau sub-disiplin ilmu teori belajar, teori
pembelajaran gerak, perkembangan kepribadian, serta sikap. Kesemua sub-disiplin
itu, memberikan pemahaman yang lebih luas dalam hal bagaimana anak belajar, dan
yang terpenting upaya apa yang harus dipertimbangkan guru dikaitkan dengan
menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan anak belajar.
Kata
psikologi berasal dari kata-kata Yunani psyche, yang berarti jiwa atau roh, dan
logos, yang berarti ilmu. Diartikan secara populer, psikologi adalah ilmu jiwa
atau ilmu pikiran. Para ahli psikologi mempelajari hakikat manusia secara
ilmiah, dan untuk memahami alam pikiran manusia, termasuk anak, termasuk
ciri-ciri manusia ketika belajar.
Pendidikan
jasmani lebih menekankan proses pembelajarannya pada penguasaan gerak manusia.
Pemahaman yang lebih mendalam terhadap kecenderungan dan hakikat gerak ini,
misalanya melalui teori gerak dan teori belajar gerak, maka memungkinkan guru
lebih memahami tentang kondisi apa yang perlu disediakan untuk memungkinkan
anak belajar secara efektif.
Jika
dahulu para guru penjas lebih bersandar pada teori belajar behaviorisme, yang
lebih melihat proses pembelajaran dari perubahan perilaku anak, maka dewasa ini
sudah diakui adanya keharusan untuk memahami tentang apa yang terjadi di dalam
diri anak ketika mempelajari keterampilan gerak, yang ditunjang oleh berkembangan
teori belajar kognitivisme.
Bersandar
secara berlebihan pada teori belajar behaviorisme tentu mengandung kelemahan
tertentu, karena mendorong dan membenarkan guru dengan proses pembelajaran yang
sangat mekanistis; sekedar terjadi persambungan antara stimulus (aba-aba guru)
dengan respons siswa (gerakan siswa), yang diperkuat oleh adanya reinforcement
(ucapan pujian dari guru). Akibatnya, guru pun umumnya abai dengan bagaimana
sebenarnya proses yang terjadi di dalam otak dan perangkat gerak anak, sehingga
guru tidak pernah terlalu mempertimbangkan kualitas dari proses pembelajaran,
termasuk keharusan untuk melibatkan proses berpikir dari anak. Akhirnya, anak
relatif tidak pernah punya gagasan apapun dalam pelajaran, dan klaim bahwa
penjas memiliki peranan dalam pengembangan kemampuan intelektual anak tidak
terbuktikan secara nyata.
Perkembangan
teori belajar kognitivisme menguak fakta kekakuan proses pembelajaran penjas
tersebut. Dalam salah satu teori belajar pengolahan informasi (information
processing theory) diungkap bahwa idealnya pembelajaran gerak adalah sebuah
proses pengambilan keputusan, yang secara hirarkis akan selalu melalui tiga
tahapan yang tetap, yaitu tahap mengidentifikasi stimulus, tahap memilih
respons, dan tahap memprogram respons. Jika pada proses pembelajaran siswa
diberi kesempatan dan didorong untuk terus-menerus meningkatkan kemampuan
pengambilan keputusannya, maka secara pasti kemampuannya tersebut terlatih,
karena masing-masing perangkat yang berhubungan dengan ketiga tahapan pengambilan
keputusan itupun kemampuannya semakin meningkat pula.
Dari
pemahaman terhadap landasan psikologis itulah, maka pembelajaran penjas yang
baik tidak cukup hanya dengan memberikan perintah dan tugas-tugas gerak semata
(misalnya dengan instruksi yang klasik seperti, “… ketika kamu menerima bola,
kamu lari ke arah sana, lalu kamu lempar bola itu ke si A, dan kamu kembali ke
sini”), melainkan harus pula dibarengi dengan upaya memberikan kesempatan pada
mereka untuk menganalisis situasi dan berikan kebebasan untuk mengambil
keputusan sendiri (misalnya: “… baik, ketika posisi lapangan ketat dan kamu
dijaga terus oleh lawan, kira-kira kemanakah kamu harus melempar bola? Coba
kita praktekkan, apakah keputusanmu sudah tepat atau tidak?”).
3. Landasan Sosiologis dalam Pendidikan Jasmani
Pendidikan
jasmani adalah sebuah wahana yang sangat baik untuk proses sosialisasi.
Perkembangan sosial jelas penting, dan aktivitas pendidikan jasmani mempunyai
potensi untuk menuntaskan tujuan-tujuan tersebut. Seperangkat kualitas dari
perkembangan sosial yang dapat dikembangkan dan dipengaruhi dalam proses penjas
di antaranya adalah kepemimpinan, karakter moral, dan daya juang.
Sosiologi
berkepentingan dengan upaya mempelajari manusia dan aktivitasnya dalam
kaitannya dengan hubungan atau interaksi antar satu manusia dengan manusia
lainnya, termasuk sekelompok orang dengan kelompok lainnya. Di sisi lain,
sosiologi berhubungan juga dengan ilmu yang menaruh perhatian pada
lembaga-lembaga sosial seperti agama, keluarga, pemerintah, pendidikan, dan
rekreasi. Singkatnya, sosiologi adalah ilmu yang berkepentingan dalam
mengembangkan struktur dan aturan sosial yang lebih baik yang dicirikan oleh
adanya kebahagiaan, kebaikan, toleransi, dan kesejajaran sosial.
Dikaitkan
dengan landasan tersebut, seorang guru penjas sesungguhnya adalah seorang
sosiologis yang perlu mengetahui prinsip-prinsip umum sosiologi, agar mampu
memanfaatkan proses pembelajarannya untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat
dikembangkan melalui penjas. Sebagaimana dikemukakan Bucher, guru yang mengerti
sosiologi dalam konteks kependidikan akan mampu mengembangkan minimal tiga
fungsi: (1) pengaruh pendidikan pada institusi sosial dan pengaruh kehidupan
kelompok pada individu, seperti bagaimana sekolah berpengaruh kepribadian atau
perilaku individu; (2) hubungan manusia yang beroperasi di sekolah yang
melibatkan siswa, orang tua, dan guru dan bagaimana mereka mempengaruhi
kepribadian dan perilaku individu; dan (3) hubungan sekolah kepada institusi
lain dan elemen lain masyarakat, misalnya pengaruh dari pendidikan pada
kehidupan masyarakat kota.
BAB III
ASAS PENGEMBANGAN PENJAS DI SDLB/SLB TINGKAT DASAR
ASAS PENGEMBANGAN PENJAS DI SDLB/SLB TINGKAT DASAR
A. Asas Pengembangan dan Penetapan Sasaran
Pendidikan Jasmani
Pendidikan
jasmani di Sekolah Dasar mencakup ruang lingkup yang luas karena terkait
langsung dengan karakteristik anak-anak dari berbagai usia. Dilihat dari
tahapan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak pada tingkat usia sekolah
dasar, sedikitnya terlibat 3 tahapan, yaitu:
a. tahapan akhir dari masa kanak-kanak awal (antara usisa 5 – 7 tahun)
b. tahapan masa kanak-kanak akhir (middle childhood) dan
c. tahapan awal dari pra-adolesen ( yang bisa dimulai pada usia 8 tahun atau rata-rata usia 10 tahun)
a. tahapan akhir dari masa kanak-kanak awal (antara usisa 5 – 7 tahun)
b. tahapan masa kanak-kanak akhir (middle childhood) dan
c. tahapan awal dari pra-adolesen ( yang bisa dimulai pada usia 8 tahun atau rata-rata usia 10 tahun)
Demikian
juga dalam perkembangan motorik dan keterampilan. Anak-anak usia SD mengalami
masa-masa perkembangan motorik dan keterampilan yang berbeda-beda. Pada
usia-usia 5 – 8 tahun, anak mulai berurusan dengan kemampuan pengelolaan
tubuhnya dan keterampilan dasar seperti keterampilan berpindah tempat
(locomotor), gerak statis di tempat (non-locomotor) dan gerak memakai anggota
badan (manipulative).
Pada
usia di atasnya, anak-anak mulai matang menguasai keterampilan khusus, dari
mulai keterampilan manipulatif lanjutan, hingga kegiatan-kegiatan berirama dan
permainan, senam, kegiatan di air, dan kegiatan untuk pembinaan kebugaran
jasmani. Dalam beberapa cabang olahraga, pentahapan pencapaian keterampilan
tingkat tinggi pun sudah dapat mulai dilaksanakan di kelas-kelas akhir SD,
misalnya senam, loncat indah, dan renang.
Karena
begitu eratnya hubungan antara tingkat pertumbuhan dan perkembangan fisik dan
keterampilan anak, ruang lingkup pendidikan jasmani yang ditawarkan di sekolah
dasar semestinya dikembangkan berdasarkan kebutuhan anak-anak. Hal ini tidak
bisa dibuat begitu saja, sebab perlu diolah sebaik-baiknya dengan pertimbangan
yang matang. Pertimbangan tersebut meliputi (1) dasar-dasar pengembangan
program, (2) pola pertumbuhan dan perkembangan anak, (3) dorongan dasar
anak-anak, dan (4) karakteristik serta minat anak.
Mari
kita simak satu persatu keempat pertimbangan tersebut.
Dasar-Dasar Pengembangan Program
Ada
beberapa prinsip yang menjadi landasan bagi pengembangan program pendidikan
jasmani, yaitu:
1.
Kurikulum Pendidikan Jasmani haruslah berorientasi kepada anak dan tingkat
perkembangannya. Pemilihan kegiatan dalam penjas harus di dasarkan pada
tuntutan dan karakteristik anak dan dilengkapi dengan pertimbangan tentang
tingkat-tingkat perkembangan mereka. Anaklah yang menjadi pusat kurikulum, dan
karenanya pengalaman-pengalaman yang dipilihkan juga harus sesuai dengan
kebutuhan mereka.
2.
Setiap anak berbeda-beda dalam hal kebutuhan dan kemampuan belajarnya.
Setiap anak mempunyai hak untuk mencapai potensinya masing-masing sehingga
kurikulum harus memberikan kesempatan agar anak memperoleh pengalaman semacam
itu. Anak-anak harus berkembang dalam kecepatan yang sesuai dengan iramanya,
dan kurikulum harus mampu meningkatkan perkembangan mereka. Perbedaan-perbedaan
individual harus menjadi pedoman dalam menerapkan kurikulum, sehingga tujuan,
kegiatan, dan pengalaman belajar lebih memenuhi kebutuhan individual daripada
kebutuhan pokok.
3.
Anak harus dilihat sebagai manusia yang utuh. Kurikulum hendaknya
bertanggung jawab dalam mengembangkan aspek-aspek yang lengkap dari anak-anak,
bukan saja keterampilan fisik dan kebugaran jasmani, tetapi mencakup
keterampilan kognitif dan keterampilan sosial. Dalam wilayah kognitif misalnya,
pembelajaran yang terpadu harus sejalan dengan perkembangan dari kebugaran
fisik dan keterampilan. Demikian juga dalam wilayah afektif, pencapaian
keberhasilan yang bersifat fisik memainkan peran yang amat penting dalam
mengembangkan konsep diri yang positif. Anak-anak yang mencapai efisiensi gerak
dan berhasil dalam keterampilannya, akan lebih mudah menyesuaikan dirinya dalam
kehidupan sekolahnya daripada yang kurang mampu secara gerak.
4.
Hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan anak harus diajarkan melalui
pendidikan jasmani. Kegiatan pelajaran harus dilaksanakan dalam sifat yang
meyakinkan bahwa tujuan-tujuan dari pendidikan jasmani dapat dicapai.
Nilai-nilai yang dikandung dalam pendidikan jasmani tidak dicapai secara
otomatis atau kebetulan saja. Sifat-sifat seperti kejujuran, fair-play,
disiplin diri, dan kerjasama kelompok bukanlah hasil ikutan dari kegiatan
fisik. Pendidikan jasmani harus menjadi suatu program pengajaran utama, yang
memanfaatkan strategi mrngajar yang bernuansa pendidikan.
5.
Gerakan merupakan dasar bagi pendidikan jasmani. Mutu program penjas
dapat dinilai berdasarkan mutu pengalaman gerakan yang dialami oleh anak-anak.
Pendidikan jasmani memang terdiri atas kegiatan fisik yang harus dilakukan
secara aktif. Anak-anak tidak akan dapat mengambil manfaat hanya dari berbaris,
menunggu datangnya alat-alat atau mendengarkan penjelasan guru yang panjang.
Pendidikan jasmani harus menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
anak-anak untuk menimba pengalaman gerak.
6.
Pembelajaran harus terjadi melampaui kepentingan sesaat tapi harus
menawarkan keterampilan yang berguna untuk seumur hidup. Dalam masyarakat
modern dewasa ini, pemeliharaan kebugaran jasmani dan kesehatan dipandang
sebagai kebutuhan utama. Dengan demikian pendidikan jasmani harus memberikan
program yang cukup dinamis agar mampu mengembangkan kebugaran jasmani peserta
didik. Kebugaran merupakan dasar untuk pencapaian keterampilan gerak.
Pelaksanaannya harus berdasarkan kemampuan anak dan beban latihannya
disesuaikan dengan kesangupan setiap siswa.
Pola Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Uraian
tentang tahapan dan pola pertumbuhan dan perkembangan anak tidak akan cukup
diliput dalam penggalan singkat ini. Yang akan ditemui dalam bagian ini
merupakan ringkasan dari pola pertumbuhan dan perkembangan anak dalam wilayah
psikomotor.
1. Perkembangan ke arah memanjang (Cephalocaudal)
dan ke arah tepi (Proximodistal)
Kedua
istilah ini menunjukkan rangkaian perkembangan fisik yang teratur.
Cephalocaudal adalah perkembangan fisik yang berlangsung ke arah memanjang
(longitudinal) dari kepala ke kaki. Ini merupakan kemajuan yang bertahap
didukung pengontrolan otot yang meningkat yang bergerak dari otot-otot kepala,
leher, lalu ke tubuh, dan akhirnya ke tungkai dan kaki.
Gejala
ini mengikuti ciri-ciri dalam perkembangan bayi dalam rahim yaitu dimulai dari
pembentukan kepala, kemudian lengan dan tungkai. Pengontrolan otot-otot pun
berlangsung dalam rangkaian yang sama. Perkembangan proximodistal berlangsung
dari pusat tubuh mengarah ke tepi yang tampak ketika anak baru belajar menulis.
Mereka cenderung menggunakan gerakan besar dari bahu sebelum gerakan halus
untuk menulis dikuasai.
2. Gerak kasar dan gerak halus
Sejalan
dengan perkembangan ke arah memanjang dan ke arah tepi, perkembangan gerak
kasar dan halus menunjuk pada
penguasaan otot anak-anak yang bergerak dari otot –otot besar dahulu sebelum anak mampu membedakan bagian-bagian dan menggerakkannya secara terpisah. Penguasaan keterampilan menulis misalnya, ditandai dengan ciri yaitu pada saat-saat awal, anak-anak menggunakan lebih banyak bagian-bagian tubuh daripada yang diperlukannya. Ini menunjukkan bahwa anak belum bisa bergerak secara efisien, dengan hanya menggunakan otot yang diperlukan saja. Sejalan dengan tingkat perkembangannya dan dibantu oleh proses latihan, penguasaan gerak efisien kelak akan dicapai.
penguasaan otot anak-anak yang bergerak dari otot –otot besar dahulu sebelum anak mampu membedakan bagian-bagian dan menggerakkannya secara terpisah. Penguasaan keterampilan menulis misalnya, ditandai dengan ciri yaitu pada saat-saat awal, anak-anak menggunakan lebih banyak bagian-bagian tubuh daripada yang diperlukannya. Ini menunjukkan bahwa anak belum bisa bergerak secara efisien, dengan hanya menggunakan otot yang diperlukan saja. Sejalan dengan tingkat perkembangannya dan dibantu oleh proses latihan, penguasaan gerak efisien kelak akan dicapai.
3. Bilateral ke Unilateral
Pada
masa-masa awal pengontrolan gerak, gerakan cenderung dilakukan secara bilateral
yaitu anak kecil menggunakan satu atau kedua tangan untuk menguasai sebuah
benda. Secara bertahap pilihan untuk mengontrol sesuatu beralih hanya dengan
tangan atau dengan kaki yang disebut perkembangan unilateral.
4. Diferensiasi dan Integrasi
Kedua
proses di atas terkait dengan peningkatan fungsi gerak yang berasal dari
perkembangan saraf. Diferensiasi dikaitkan dengan proses bertahap dari kontrol
gerak yang memerlukan otot besar ke gerakan khusus yang lebih diperhalus oleh
perkembangan individu. Sedangkan integrasi menunjuk pada fungsi jalinan saraf
dari bermacam-macam kelompok otot yang berlawanan agar terkoordinasi satu sama
lain.
5. Filogenetik dan Ontogenetik
Keterampilan
filogenetik adalah perilaku gerak yang cenderung muncul dengan otomatis tanpa
dilatih, dan dalam rangkaian yang dapat diperkirakan. Perilaku tersebut berupa
menggapai, memegang, berjalan, dan berlari, yang nampaknya bertahan dari pengaruh-pengaruh
lingkungan. Keterampilan ontogenetik adalah perilaku yang dipengaruhi oleh
belajar dari lingkungan seperti berenang, bersepeda, bersepatu roda, dan
lain-lain.
Dorongan Dasar Anak-Anak
Dorongan
dasar adalah suatu keinginan untuk melakukan dan menghasilkan sesuatu. Semua
anak memiliki perasaan seperti ini yang kemungkinan besar merupakan sifat
turunan atau pengaruh lingkungan. Dorongan dasar ini dikaitkan dengan pengaruh
masyarakat, guru, orangtua, dan teman-teman sendiri. Biasanya dorongan dasar
ini akan berpola sama pada setiap anak dan tidak dipengaruhi oleh faktor
kematangan. Dorongan tersebut niscaya mengarahkan pengembangan kurikulum
pendidikan jasmani dan untuk menciptakan program yang sesuai dengan sifat-sifat
anak. Berikut ini akan dibahas secara selintas tentang dorongan-dorongan
tersebut.
a. Dorongan untuk Bergerak
Anak-anak
tak pernah puas untuk bergerak, tampil, dan aktif. Mereka berlari semata-mata
karena menyukai dan menikmati lari itu. Keaktifan merupakan bagian dari hidup
anak-anak. Program pendidikan jasmani karenanya harus memuaskan kehausan
anak-anak untuk bergerak.
b. Dorongan untuk Berhasil dan Mendapat Pengakuan
Anak-anak
tidak hanya berambisi untuk berprestasi, tetapi mereka juga menginginkan
prestasi mereka itu diakui. Mereka lesu ketika mendapat kritikan dan celaan.
Sedangkan dorongan dan dukungan yang hangat akan meningkatkan perkembangan dan
pertumbuhan yang maksimum. Kegagalan dapat mengarah pada rasa frustasi dan
hilangnya minat belajar. Karena itu pengalaman berhasil pada anak perlu
diperbanyak agar mereka tidak kehilangan minat untuk belajar.
c. Dorongan untuk Mendapatkan Pengakuan Teman dan
Masyarakat
Penerimaan
kawan sekelas adalah kebutuhan dasar manusia. Anak-anak menginginkan diterima
oleh kawan-kawannya, dihormati, dan disukai. Lingkungan sekolah harus memberi
jalan agar anak memperoleh penerimaan dari kawan-kawannya. Belajar bekerjasama
dengan yang lain, menjadi anggota kelompok yang mampu menyumbang sesuatu, dan
berbagi andil dengan kawan dalam suatu prestasi merupakan nilai penting dari
program penjas.
d. Dorongan untuk Bekerjasama dan Bersaing
Anak-anak
menikmati suasana bermain dan bekerjasama dengan anak lain. Mereka menemukan
kepuasannya ketika menyadari bahwa peranannya dianggap penting dalam suatu
kelompok. Ia merasa sedih ketika mengalami penolakan dari kawan-kawannya.
Bekerjasama harus diajarkan terlebih dahulu sebelum pengalaman bersaing.
Kegembiraan menjadi bagian suatu kelompok akan lebih besar manfaatnya daripada
persaingan dengan kawan.
Namun
demikian, dorongan untuk bersaing juga merupakan bukti nyata dari kehidupan
anak-anak, sebab mereka ingin membandingkan keterampilan fisik dan kekuatannya
di antara sesama temannya. Biasanya anak akan memiliki keinginan untuk bersaing
jika mereka berpikir bahwa mereka memiliki peluang untuk menang. Jika anak-anak
tidak mempunyai peluang untuk menang, suasana kompetitif akan hilang. Karena
itu suasana bersaing yang wajar dan sepadan dengan kemajuan anak harus
diciptakan dan dimonitor.
e. Dorongan untuk Kebugaran Fisik dan Daya Tarik
Guru
harus menyadari betapa besarnya keinginan anak untuk memiliki kebugaran jasmani
dan memiliki tubuh yang lincah dan menarik. Oleh karenanya guru harus memaklumi
perasaan direndahkan yang diderita anak-anak yang lemah, gemuk, pincang, atau
tidak normal dalam beberapa hal. Program penjas harus menyediakan kesempatan
untuk perbaikan-diri sehingga anak-anak dapat mengatasi kekurangannya dalam
kekuatan, keterampilan, atau postur tubuhnya. Guru harus memonitor sistem
penghargaan secara hati-hati sehingga tidak menyinggung anak-anak yang kurang
mampu.
f. Dorongan untuk Bertualang
Dorongan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang bersifat petualangan atau sesuatu yang
tidak biasa, mendorong anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang baru. Guru
harus memberi tempat kepada kegiatan yang bersifat petualangan atau sesuatu
yang tidak biasa, mendorong anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang baru.
Guru harus memberi tempat kepada kegiatan-kegiatan yang menarik dalam
kurikulum. Ini akan memberikan kecenderungan positif kepada anak untuk
meningkatkan kegembiraan anak.
g. Dorongan untuk Kepuasan Kreatif
Anak-anak
suka mencoba sesuatu cara yang berbeda-beda, bereksperimen dengan benda-benda
yang berbeda, dan menggali berbagai hal yang dapat mereka lakukan secara
kreatif. Menemukan cara yang berbeda untuk mengekspresikan dirinya sendiri
secara fisik dapat memuaskan dorongan kreatif.
h. Dorongan untuk Menikmati Irama
Semua
anak laki-laki dan perempuan dapat menikmati irama. Irama mengandung gerak dan
anak memang suka bergerak. Program penjas harus menyediakan berbagai kegiatan
berirama yang dapat dipelajari semua anak dengan cukup baik untuk memenuhi
kebutuhannya. Pengajaran irama melalui penggunaan instrumen sederhana seperti
dengan tepuk tangan atau ketukan pada lantai hingga penggunaan instrumen musik
seperti tambur atau musik langsung dari tape recorder (perekam pita) akan
mempebesar kegembiraan anak dalam meningkatkan penguasaan iramanya. Guru penjas
di Indonesia biasanya kurang menyadari kecenderungan ini. Bahkan lebih sering
diabaikan keharusan mengajar penguasaan irama gerak pada anak-anaknya. Yang
sering dilakukan adalah mengajak anak-anak melakukan SKJ (Senam Kesegaran
Jasmani) secara berulang-ulang sepanjang tahun yang hanya menawarkan irama yang
monoton, sehingga anak kurang mengalami irama yang bervariasi.
i. Dorongan untuk Mengetahui
Anak-anak
bersifat ingin tahu. Mereka berminat untuk mengetahui bukan hanya tentang apa
yang sedang mereka kerjakan, tetapi juga mengapa mereka mengerjakannya.
Mengetahui ‘mengapa’ tentang sesuatu hal merupakan dorongan yang kuat bagi
mereka. Alangkah baiknya jika guru mampu memuaskan keingintahuan mereka dengan
cara menerangkan ‘mengapa’ serta apa manfaat dari program pendidikan jasmani.
B. Model Orientasi Kurikulum dalam Pendidikan
Jasmani
Persoalan
konflik antar makna pendidikan jasmani dan pendidikan olahraga perlu
diselesaikan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Yang berbeda adalah dalam
hal pemahaman. Keduanya sebenarnya mengandung fungsi mendidik. Penyelenggaraan
pendidikan jasmani bisa berbeda karena berbeda dalam rancangan kurikulumnya. Di
negara maju, pendidikan jasmani dilaksanakan dengan berorientasi pada
model-model kurikulum yang berlaku. Model kurikulum inilah yang menentukan
perbedaan tekanan terhadap program yang dilaksanakan, apakah berorientasi pada
peningkatan kesegaran jasmani atau keterampilan gerak, misalnya. Untuk
memperjelas perbedaannya, mari kita simak model kurikulum sebagai berikut:
•
pendidikan gerak (movement education)
• pendidikan olahraga (sport education)
• pendidikan petualangan (adventure education)
• pendidikan perkembangan (developmental education)
• pendidikan kebugaran (fitness education)
• pendidikan disiplin keilmuan olahraga (kinesiological studies)
• pendidikan olahraga (sport education)
• pendidikan petualangan (adventure education)
• pendidikan perkembangan (developmental education)
• pendidikan kebugaran (fitness education)
• pendidikan disiplin keilmuan olahraga (kinesiological studies)
Pendidikan
Gerak
Pendidikan
gerak (movement education) menekankan pendidikan lewat gerak yang mula-mula
dikem- bangkan oleh Rudolph Laban di Inggris. Laban mengembangkan konsep-konsep
gerak yang berkaitan dengan ruang dan waktu sebagai bahan untuk pengembangan
gerak-gerak tari. Aliran Laban akhirnya dibawa ke Amerika Serikat dan diadopsi
sebagai program pendidikan jasmani.
Lewat pendidikan gerak, keterampilan gerak anak dikembangkan melalui pelaksanaan yang bervariasi, dikaitkan dengan ruang, waktu, arah serta tingkat ketinggian di mana gerakan dilakukan. Di sini tidak ada istilah benar atau salah. Anak-anak akan lebih menguasai pergerakan tubuhnya disertai pengertiannya. Dengan demikian diharapkan siswa menguasai tubuhnya dan mampu mengembangkan kapasitas fisik dan mentalnya untuk belajar, baik keterampilan fisik maupun keterampilan akademis. Model ini cocok dikembangkan di SD.
Lewat pendidikan gerak, keterampilan gerak anak dikembangkan melalui pelaksanaan yang bervariasi, dikaitkan dengan ruang, waktu, arah serta tingkat ketinggian di mana gerakan dilakukan. Di sini tidak ada istilah benar atau salah. Anak-anak akan lebih menguasai pergerakan tubuhnya disertai pengertiannya. Dengan demikian diharapkan siswa menguasai tubuhnya dan mampu mengembangkan kapasitas fisik dan mentalnya untuk belajar, baik keterampilan fisik maupun keterampilan akademis. Model ini cocok dikembangkan di SD.
Pendidikan
olahraga
Ada
kesalahpahaman bahwa pendidikan jasmani sama dengan pendidikan olahraga.
Keduanya berbeda, pendidikan jasmani lebih menekankan pada pengembangan
keterampilan motorik dasar dan memperkaya perbendaharaan gerak. Pendidikan
olahraga menekankan pada pembinaan keterampilan berolahraga dan menghayati
nilai-nilai yang diperoleh dari kegiatan berlatih dan bertanding. Semua anak dibekali
pengalaman nyata untuk berperan dalam pembinaan olahraga, seperti wasit, atlet,
atau pelatih. Dalam arti itulah pendidikan olahraga di Amerika Serikat,
misalnya, menyandang misi kependidikan yang lengkap.
Jika
program penjas di Indonesia masih berwarna pendidikan olahraga seperti sekarang
ini, maka kecenderungan ini hanyalah masalah orientasi model kurikulum yang
dianut seperti maksud di atas. Sayangnya kecenderungan di Indonesia, penggunaan
model ini tidak menyebabkan anak dibekali dengan pengalaman berolahraga yang
sebenarnya, karena programnya amat terbatas.
Pendidikan
perkembangan
Model
pendidikan perkembangan memfokuskan tujuan pendidikannya pada aktualisasi diri,
yang menekankan pertumbuhan pribadi dari setiap anak. Kurikulumnya dikembangkan
berdasarkan tingkat perkembangan anak, yang berusaha menyeimbangkan penekanan
pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor.
Pendidikan
jasmani yang berorientasi pada developmental education mengarahkan kegiatan
anak melalui pemenuhan kebutuhan keterampilan pada diri anak. Disesuaikan
dengan tahap perkembangan fisik dan mentalnya, setiap kelompok anak diarahkan
pada keterampilan gerak yang dibutuhkan anak. Misalnya, bagi anak usia di bawah
lima tahun, perlu dikembangkan kemampuan pengaturan tubuhnya dan bagi anak usia
di atasnya perlu dikembangkan keterampilan dasarnya. Sementara bagi anak yang
lebih dewasa diarahkan pada keterampilan – keterampilan khususnya, seperti yang
dikembangkan dalam cabang-cabang olahraga tertentu.
Pendidikan
petualangan
Pendidikan
petualangan (Adventure education) dikembangkan atas dasar kebutuhan untuk
mengatasi tekanan-tekanan hidup yang semakin berat. Programnya berisi kegiatan
yang menantang di alam bebas dan disesuaikan dengan kebutuhan para remaja untuk
bertualang mengatasi resiko dan perjuangan melawan tantangan alam. Mendaki
gunung, menyusuri sungai, berkemah, memanjat tebing, dan variasi lain di alam
terbuka merupakan contoh program pendidikan petualangan.
Pendidikan
kebugaran
Sekolah
memang bisa menekankan orientasinya pada pengembangan kebugaran murid-muridnya.
Program pendidikan jasmani seperti itu mengarahkan anak supaya aktif berlatih
di sekolah dan di luar sekolah untuk hidup sehat dan memiliki kemampuan fisik
yang baik. Pelaksanaan senam kebugaran jasmani (SKJ) merupakan contoh dari
program pendidikan kebugaran. Persoalannya adalah mungkin frekuensi dan isi
latihannya perlu ditingkatkan, karena hanya bersandar pada SKJ yang ada
sekarang ini, unsur kekuatan, kelentukan, serta power anak tidak akan
berkembang maksimal.
Kinesiological
Studies
Model
studi kinesiologi pada hakikatnya hampir sama dengan model pendidikan gerak
dalam orientasi nilainya, tetapi menggunakan kegiatan gerak untuk mempelajari
dasar-dasar disiplin gerak manusia (misalnya fisiologi latihan, biomekanika,
dan kinesiologi). Karena itu, model inipun disebut juga sebagai pendidikan
disiplin keilmuan olahraga.
Penekanan
pembelajaran model ini adalah pada pengembangan keterampilan memecahkan
masalah, khususnya dengan menggunakan kombinasi antara pembelajaran konsep dan
prakteknya di lapangan. Tujuan utamanya adalah menumbuhkan dan mengembangkan
pemahaman kognitif tentang bagaimana dan mengapa suatu keterampilan gerak
berlangsung demikian. Model ini didasari dua pendekatan yang khas dalam studi
kinesiologi, yaitu pendekatan pertama, isi atau materi diatur dalam sebuah
unit-unit kegiatan, dan konsep-konsep disiplin utama diintegrasikan dengan
pengajaran keterampilan; pendekatan kedua, unit-unit kegiatan diatur di sekitar
konsep-konsep khusus yang menjadi prioritas di atas pengajaran keterampilan.
Pemakaian
model ini umumnya dipilih oleh guru-guru penjas di tingkat sekolah menengah.
Meskipun banyak sekolah menengah telah memasukkan satu atau dua unit konsep
dalam kurikulumnya, khusus dipadukan dengan sehat-bugar-jasmani, sedikit sekali
sekolah yang hanya memakai model kinesiologi secara tunggal. Tetapi tidak ada
salahnya model inipun sudah mulai diperkenalkan di SD dengan persoalan prinsip
gerak yang disederhanakan.
C. Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani
Setelah
dibahas tentang dasar-dasar pertimbangan sebagai pedoman untuk menyusun program
pendidikan jasmani di SD, ruang lingkup pendidikan jasmani dapat ditentukan.
Namun demikian uraian tentang ruang lingkup ini dibatasi dan sifatnya masih
umum
Berdasarkan pola pertumbuhan dan perkembangan anak serta berbagai karakteristiknya, maka dapat ditentukan program di tingkat SD sebagai berikut:
Berdasarkan pola pertumbuhan dan perkembangan anak serta berbagai karakteristiknya, maka dapat ditentukan program di tingkat SD sebagai berikut:
1. Kemampuan pengelolaan tubuh.
Kemampuan
pengelolaan tubuh merupakan kemampuan paling dasar yang dikuasai anak bersamaan
dengan berkembangnya pengetahuan tentang tubuhnya. Termasuk di dalamnya adalah
kesadaran tubuh dan geraknya. Ke dalam bagian ini dapat dirinci hal-hal khusus
seperti:
a.
Kesadaran tubuh
Kesadaran
tubuh menunjuk pada kemampuan untuk mengenal nama-nama bagian tubuh yang bermacam-macam
serta kemampuan untuk mengontrol setiap bagian tersebut secara terpisah.
Bagian-bagian tubuh tersebut melibatkan tiga wilayah meliputi:
(1)
wilayah kepala: dahi, muka, pipi, alis, hidung, mulut, telinga, rahang, dagu,
mata, dan rambut;
(2) wilayah badan bagian atas: leher, bahu, dada, perut, lengan, tangan, siku, pergelangan, telapak, dan jari-jari; dan
(3) wilayah badan bagian bawah: pinggang, pinggul, pantat, paha, lutut, betis, pergelangan kaki, punggung kaki, tumit, bola-bola kaki dan jari-jari.
(2) wilayah badan bagian atas: leher, bahu, dada, perut, lengan, tangan, siku, pergelangan, telapak, dan jari-jari; dan
(3) wilayah badan bagian bawah: pinggang, pinggul, pantat, paha, lutut, betis, pergelangan kaki, punggung kaki, tumit, bola-bola kaki dan jari-jari.
b.
Kesadaran ruang
Kemampuan
kesadaran ruang menunjuk pada posisi tubuh dikaitkan dengan ruang
sekelilingnya. Ini merupakan dasar dalam perkembangan kemampuan
gerak-perseptual anak. Yang dimaksud gerak perseptual adalah gerak yang
dihasilkan oleh kemampuan siswa untuk mengindera rangsangan dan menentukan
gerak yang sesuai untuk menjawab rangsang itu. Dalam hal ini anak akan mengenal
ruangnya sendiri, ruang secara umum, arah gerak, jalur gerak, tingkatan, serta
jarak.
c.
Kualitas gerak
Anak
mengembangkan kemampuan geraknya dikaitkan dengan kualitas kesadarannya tentang
geraknya sendiri. Ini sebenarnya menunjuk pada tingkat penguasaan anak terhadap
dirinya sendiri dikaitkan dengan ruang di luar dirinya. Dalam wilayah ini anak
akan berhubungan dengan kemampuan untuk menciptakan daya (force), menyerap
tenaga, mengatur keseimbangan, mengatur jarak, kecepatan, serta aliran gerak.
2. Keterampilan-keterampilan Dasar
Keterampilan
dasar adalah bentuk keterampilan yang bermanfaat dan dibutuhkan anak dalam
kehidupannya sehari-hari. Keterampilan ini merupakan ciri pelengkap yang
penting untuk anak-anak untuk berfungsi dalam lingkungannya, sehingga disebut
sebagai keterampilan fungsional. Untuk kemudahan pembahasannya, dalam modul
ini, keterampilan dasar di bagi ke dalam tiga bagian:
a.
Keterampilan lokomotor, yaitu keterampilan yang digunakan untuk menggerakkan
atau memindahkan posisi tubuh dari satu tempat ke tempat lainnya. Termasuk ke
dalam keterampilan ini adalah berjalan, berlari, melompat, hop (jingkat), berderap,
skip, slide, dan lain-lain.
b.
Keterampilan non-lokomotor, yaitu keterampilan di tempat yang dilakukan tanpa
memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini meliputi membengkok,
merentang, memilin, memutar, mengayun, menggoyang, mengangkat, mendorong,
menarik, memantulkan, merendahkan tubuh, dan lain-lain.
c.
Keterampilan manipulatif, yaitu keterampilan yang melibatkan kemampuan anak
untuk menggunakan bagian-bagian tubuhnya seperti tangan dan kaki untuk
memanipulasi benda di luar dirinya. Dalam pelaksanaannya keterampilan ini
melibatkan koordinasi mata-tangan serta mata-kaki. Ke dalamnya termasuk
keterampilan seperti melempar, menangkap, memukul bola, memukul dengan raket
atau pemukul, menggiring bola (baik tangan atau kaki), dsb.
3. Keterampilan-keterampilan khusus yang
terspesialisasi
Keterampilan
yang terspesialisasi adalah keterampilan yang digunakan dalam berbagai cabang
olahraga dan wilayah pendidikan jasmani lainnya. Keterampilan ini meliputi
kegiatan dengan peralatan (misalnya senam alat), gerakan-gerakan akrobatik,
tari-tarian, serta permainan khusus atau formal seperti sepak bola, bola voli,
bola basket, dan lain-lain.
D. Arah Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Jasmani
Setelah
mengetahui ruang lingkup dari pendidikan jasmani, selanjutnya guru harus mampu
melihat dan menetapkan arah serta sasaran yang akan dikembangkan. Pedoman umum
tentang arah dan sasaran ini diuraikan secara garis besar dalam bentuk lima
tujuan perubahan yang harus terjadi pada anak didik. Kelima tujuan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Murid menjadi sadar akan potensi geraknya.
Pembelajaran
dalam pendidikan jasmani harus mampu membangkitkan minat anak untuk menggali
potensinya dalam hal gerak. Karena itu anak harus diberi dorongan untuk terus
menerus menjelajahi kemampuan-kemampuannya. Tugas ini tidak mudah dan hasilnya
tidak segera. Dari pertemuan ke pertemuan, mungkin guru hanya akan melihat
kemajuan yang lambat, tersendat-sendat, serta seolah berjalan di tempat.
Memang itulah yang harus disadari oleh semua guru penjas. Tidak ada kemajuan dalam hal belajar gerak yang bersifat kejutan. Semua kemajuan mengikuti pola yang teratur. Jangan mengharapkan keajaiban. Harus sabar dan bersikap optimis bahwa murid kita akan mencapai kemajuan. Bila tiba waktunya, jangan kaget jika tiba-tiba guru sadar anak-anak sudah bertambah tinggi dan besar serta semakin terampil gerakannya. Itulah upah dari kesabaran guru dalam mendidik anak. Disitulah guru akan merasakan betapa mulianya tugas guru penjas.
Memang itulah yang harus disadari oleh semua guru penjas. Tidak ada kemajuan dalam hal belajar gerak yang bersifat kejutan. Semua kemajuan mengikuti pola yang teratur. Jangan mengharapkan keajaiban. Harus sabar dan bersikap optimis bahwa murid kita akan mencapai kemajuan. Bila tiba waktunya, jangan kaget jika tiba-tiba guru sadar anak-anak sudah bertambah tinggi dan besar serta semakin terampil gerakannya. Itulah upah dari kesabaran guru dalam mendidik anak. Disitulah guru akan merasakan betapa mulianya tugas guru penjas.
Di
pihak lain, sebagai guru kita harus maklum bahwa setiap murid memiliki
kekhasannya masing-masing. Ada yang masuk ke kelas dengan bekal seperangkat
pengalaman yang memadai dan ada pula yang tidak membawa bekal sama sekali.
Artinya, ada anak yang kelihatan mudah dalam mempelajari gerak-gerak tertentu,
sementara yang lainnya menemui kesulitan. Ada anak yang gigih ingin bisa, ada
juga anak yang mudah menyerah. Perbedaan individual dalam hal kematangan dan
pengalaman masa lalunya, menyebabkan kita sulit untuk menyeragamkan kecepatan kemajuan
anak-anak dalam hal belajar gerak.
Keluhan-keluhan
seperti “saya tidak bisa” atau “ saya tidak berbakat” dan ucapan sejenis
lainnya akan sering terdengar dari mulut anak-anak. Bahkan ada anak yang belum
mencoba sekalipun sudah mengatakan tidak mau melakukan, karena dia yakin tidak
akan berhasil. Bagaimanakah guru seharusnya menghadapi kasus serupa itu? Tentu
jawaban dan cara guru harus benar-benar tepat agar tidak kian ‘membenamkan’
anak dalam citra rendah diri yang dibuatnya sendiri. Tanamkan kesadaran pada
anak-anak bahwa mempelajari keterampilan dan gerak, bukanlah proses yang
tergesa-gesa. Sebab diperlukan waktu dan usaha yang tidak sebentar untuk
menguasai sesuatu. Yang penting jangan cepat menyerah. Ungkapan guru seperti,
“cobalah lakukan lagi. Kamu bukan tidak bisa, tapi belum bisa”, adalah salah
satu ungkapan yang bisa membesarkan hati anak.
Perbedaan anak-anak tersebut harus membuat guru penjas menjadi lebih arif dalam menentukan tugas bagi masing-masing anak. Jangan sampai anak diberi tugas yang seragam dengan kriteria keberhasilan yang sama bagi semua orang. Kenali kemampuan murid, baik per kelompok maupun perorang, agar penentuan tugas mereka bisa disesuaikan. Dengan cara itu anak akan merasa bahwa guru memang mendorong semua siswa untuk mau dan mampu belajar.
Perbedaan anak-anak tersebut harus membuat guru penjas menjadi lebih arif dalam menentukan tugas bagi masing-masing anak. Jangan sampai anak diberi tugas yang seragam dengan kriteria keberhasilan yang sama bagi semua orang. Kenali kemampuan murid, baik per kelompok maupun perorang, agar penentuan tugas mereka bisa disesuaikan. Dengan cara itu anak akan merasa bahwa guru memang mendorong semua siswa untuk mau dan mampu belajar.
2. Murid dapat bergerak dan tampil baik secara
meyakinkan
Ketika
murid terlibat dalam proses pembelajaran, mereka harus merasakan adanya
‘perasaan mampu’, lancar, dan tidak tersendat-sendat. Perasaan demikian hadir
dari adanya rasa aman selama mereka mulai belajar hingga menguasai suatu
ketersampilan. Rasa aman tadi, tentu tidak timbul sendiri, tetapi merupakan
kondisi yang selalu diciptakan oleh guru. Bagaimana rasa aman bisa timbul dalam
pembelajaran penjas?
Rasa aman akan timbul dari situasi belajar yang menyenangkan dan jauh dari keadaan yang menekan dan menegangkan. Keadaan demikian bisa timbul dari tindak tanduk guru yang memang santun, tidak memalukan murid, serta usahanya yang sungguh-sungguh untuk menciptakan lingkungan yang aman. Dalam hal ini, bukan berarti bahwa guru tidak boleh tegas. Guru harus tegas tapi “hangat” dalam pendekatannya, terutama dalam menerapkan peraturan-peraturan yang mendukung terciptanya lingkungan yang aman tadi. Lingkungan pembelajaran yang aman akan mendukung kesungguhan dan kemauan anak untuk mempelajari keterampilan hingga taraf penguasaan tertinggi. Anak akan merasa bersemangat untuk terus berlatih, baik secara mandiri maupun berkelompok, sehingga anak merasa yakin untuk menguasai keterampilan yang bisa diandalkan.
Rasa aman akan timbul dari situasi belajar yang menyenangkan dan jauh dari keadaan yang menekan dan menegangkan. Keadaan demikian bisa timbul dari tindak tanduk guru yang memang santun, tidak memalukan murid, serta usahanya yang sungguh-sungguh untuk menciptakan lingkungan yang aman. Dalam hal ini, bukan berarti bahwa guru tidak boleh tegas. Guru harus tegas tapi “hangat” dalam pendekatannya, terutama dalam menerapkan peraturan-peraturan yang mendukung terciptanya lingkungan yang aman tadi. Lingkungan pembelajaran yang aman akan mendukung kesungguhan dan kemauan anak untuk mempelajari keterampilan hingga taraf penguasaan tertinggi. Anak akan merasa bersemangat untuk terus berlatih, baik secara mandiri maupun berkelompok, sehingga anak merasa yakin untuk menguasai keterampilan yang bisa diandalkan.
Penguasaan
yang baik pada keterampilan tertentu akan menumbuhkan hormat diri dan
kepercayaan diri anak. Ini timbul dari rasa nyaman ketika menyadari dirinya
memiliki kemampuan, serta timbul dari pengakuan guru dan teman-temannya. Karena
itu penekanan pada timbulnya ‘perasaan sukses’ ini harus diupayakan oleh guru
dengan cara menetapkan tingkat kesulitan tugas yang sesuai bagi setiap anak.
Untuk
menciptakan suasana belajar seperti itu guru perlu membedakan tahapan
pembelajaran yang akan dilalui anak. Pada tahap awal, guru harus membantu anak;
agar mampu memusatkan diri pada proses, bukan pada hasil. Sedangkan pada tahap
selanjutnya, guru harus siap untuk meningkatkan taraf kesulitan keterampilan
yang sedang dipelajari, sehingga tingkat kemampuan (kompetensi) dan kepercayaan
diri anak turut meningkat pula. Penyajian bahan pelajaran secara bertahap
sangat dianjurkan.
3. Murid mengerti dan mampu menerapkan konsep-konsep
gerak yang mendasar
Keterampilan
dalam berbagai cabang olahraga memiliki struktur tersendiri, lengkap dengan
konsep dan prinsip yang mendasarinya. Memahami konsep-konsep itu merupakan
syarat untuk menguasai keterampilan yang dipelajari. Semakin terkuasai
konsepnya, semakin mudah suatu keterampilan dikuasai.
Pelajaran
pendidikan jasmani adalah salah satu tempat untuk meningkatkan kemampuan
pemahaman anak terhadap berbagai konsep dasar keterampilan gerak. Kemampuan
pemahaman ini akan menjadi bekal yang sangat berguna bagi siswa untuk menjadi
‘pembelajar’ dalam banyak cabang olahraga ketika mereka menjadi dewasa kelak.
Bahkan kemampuan ini dapat ditransfer untuk memahami bidang lain.
Untuk
mendukung tujuan tersebut pelajaran pendidikan jasmani harus mampu memberikan
kesempatan kepada anak untuk memahami konsep dasar dari berbagai keterampilan
yang dipelajarinya.
Metode
dan pendekatan yang digunakan oleh guru juga amat menentukan. Penelitian dalam
bidang pedagogi olahraga (sport pedagogy) tentang pendekatan induktif, metode
pemecahan masalah dan diskoveri terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan
anak dalam pengembangan pengetahuan dan penalaran. Pengantar dan dialog yang
bersifat terbuka, terbukti dapat memicu keinginan anak untuk turut menyumbang
saran dan pendapat yang berguna dalam melatih keberanian anak angkat bicara.
Karena itu, guru penjas perlu membiasakan murid dengan acara dialog. Guru
hendaknya melatih anak untuk mau bertanya dan bicara mengemukakan pendapatnya,
serta jawaban guru harus mencerminkan bahwa pertanyaan tersebut dianggap
berharga. Coba Anda bayangkan bagaimana perasaan murid ketika ia bertanya guru
malah memperlihatkan muka galak dan menjawab : “Makanya kalau guru ngomong
dengarkan. Telinganya dipasang baik-baik, supaya tidak masuk telinga kanan,
keluar telinga kiri…..!”
Memang
anak tidak selamanya mendengarkan dengan baik. Itu perlu diingatkan. Tetapi
cara mengingatkan anak supaya menjadi pendengar yang baik dan menghargai orang
yang bicara, bukan dengan pendekatan keras seperti di atas. Bukan saja anak
merasa sakit hati dan rendah diri dengan jawaban guru tadi, tapi juga membuat
anak-anak yang lainnya tidak berani mengajukan pertanyaan.
4. Murid menjadi orang yang serba bisa dalam gerak
Guru
tentu harus melihat bahwa murid bisa mempelajari apa saja yang diperlukannya
dalam hal keterampilan gerak. Adalah tindakan tidak bertanggung jawab jika
seorang guru cenderung membatasi keterampilan yang harus dikuasai oleh
murid-muridnya. Jangan mentang-mentang guru hanya menyukai sepakbola lalu hanya
mengajar sepakbola sepanjang tahun. Ini jelas akan merugikan anak. Guru penjas
harus mampu melihat keterampilan dasar serta pola gerak dominan yang mendasari
suatu cabang olahraga atau suatu permainan. Keterampilan dasar serta pola gerak
dominan itulah yang seharusnya ditekankan oleh guru untuk dipelajari oleh anak
secara memadai. Alokasikan waktu yang cukup bagi anak untuk mempelajari
berbagai keterampilan gerak dasar sehingga membangun suatu dasar yang kuat dan
luas bagi peningkatan keterampilan berikutnya.
Memperkaya khasanah gerak anak dalam setiap pembelajaran penjas merupakan tugas prioritas bagi guru penjas, agar kelak anak mempunyai dasar keterampilan yang lengkap untuk memperdalam olahraga apapun. Kalau dasarnya baik, anak akan menjadi orang yang serba bisa dalam bidang olahraga.
Memperkaya khasanah gerak anak dalam setiap pembelajaran penjas merupakan tugas prioritas bagi guru penjas, agar kelak anak mempunyai dasar keterampilan yang lengkap untuk memperdalam olahraga apapun. Kalau dasarnya baik, anak akan menjadi orang yang serba bisa dalam bidang olahraga.
5. Murid menghargai olahraga yang menyehatkan
Dalam
pembelajaran pendidikan jasmanilah murid harus belajar menyadari hubungan
antara kegiatan yang teratur dengan timbulnya perasaan nyaman dan sehat. Dengan
kegiatan tersebut murid harus menyadari bahwa dirinya lebih tahan terhadap
serangan penyakit dan pengaruh stress. Dengan kesadaran tersebut diharapkan
murid selanjutnya akan menghargai kegiatan olahraga sebagai sesuatu yang
bermanfaat dan akan memilih mengisi waktu-waktu luangnya di luar sekolah dengan
kegiatan yang aktif. Karena itu proses yang ditawarkan guru penjas lewat
programnya harus menyebabkan anak mencintai kegiatan pendidikan jasmani dan
olahraga, serta memberikan dasar yang baik bagi kegiatan yang sama di jenjang
pendidikan berikutnya dan di masa dewasanya. Hal ini memang tidak mudah, tapi harus
diupayakan secara sengaja oleh guru penjas.
E. Arah Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Jasmani
Bagi Anak Luar Biasa
Pendidikan
jasmani untuk siswa sekolah luar biasa dan siswa berkelainan telah menjadi
prioritas dalam program pendidikan nasional kita. Ini menunjukkan bahwa
pemerintah telah menaruh perhatian yang lebih besar kepada para penyandang
kelainan, bukan saja yang berada di lingkungan sekolah, tetapi yang berada di
lingkungan pendidikan non-formal lainnya.
Pada
kenyataannya, para siswa penyandang kelainan memiliki kebutuhan yang lebih
besar akan gerak. Seperti diakui oleh para ahli, justru pendidikan jasmani
harus merupakan program utama dari program pendidikan luar biasa secara
keseluruhan, karena menjadi dasar atau fundasi bagi peningkatan fungsi tubuh
yang sangat diperlukan oleh anak-anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan
jasmani dapat memberikan sumbangan yang sangat bermakna kepada para siswa luar
biasa. Agar sumbangan tersebut dapat diwujudkan, itu berarti bahwa kurikulum
harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan individual siswa. Guru pendidikan
jasmani perlu menguasai informasi atau pengetahuan yang berkaitan dengan
persoalan medis yang berlaku pada siswa luar biasa. Programnya harus spesifik
dan keterampilan gerak harus diajarkan dalam pola-pola perkembangan yang baik,
yang bermula dari gerak yang paling sederhana dan bertahap maju ke keterampilan
yang lebih kompleks.
Guru
pendidikan jasmani perlu mengakui bahwa aspek psikologis dari situasi kelas
sama dan bahkan lebih penting daripada tujuan-tujuan substantif pendidikan
jasmani. Di samping itu, untuk mampu menjaga motivasi anak tetap tinggi, guru
perlu memiliki cara-cara yang kreatif dalam pengajaran. Guru pendidikan jasmani
harus menanamkan pada dirinya sendiri tujuan dan keinginan untuk membantu siswa
dalam mengembangkan citra diri positif, mengembangkan hubungan interpersonal
yang efektif, memahami dan menghargai kelebihan dan keterbatasan fisiknya,
mengoreksi kondisi fisik khusus yang masih mungkin diperbaiki, mengembangkan
suatu kesadaran keselamatan, dan menjadikan anak-anaknya bugar secara fisik
sesuai dengan kapasitasnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bucher, Charles A. (1979). Foundations of Physical Education, (8th Ed.), St. Louis, MI., Mosby Company.
Buscher,
Craig A. (1994). Teaching Children Movement Concepts and Skills,
Champaign, III. : Human Kinetics Publisher, Inc.,
Dauer,
V., & Pangrazi, R. (1986). Dynamic Physical Education For
Elementary School Children, (8th Ed.), New York: Macmillan
Freeman,
William H. (2001). Physical Education and Sport in A Changing Society.
(Sixth Ed.). Boston. Allyn and Bacon.
Gabbard, Carl., LeBlanc, Betty., and Lowy, Susan. (1994). Physical Education for Children: Building the Foundation, (2nd Ed.), New Jersey: Prentice Hall.
Gabbard, Carl., LeBlanc, Betty., and Lowy, Susan. (1994). Physical Education for Children: Building the Foundation, (2nd Ed.), New Jersey: Prentice Hall.
Graham,
G. (1992). Teaching Children Physical Education, Becoming Master
Teacher, Champaign, III. : Human Kinetics Publisher, Inc.,
Kogan,
Sheila. (1982). Step By Step: A Complete Movement Education Curriculum
From Preschol to 6th Grade, California: Front Row Experience.
Malina,
R., & Bouchard, C. (1978) Growth, Maturation and Physical Activity,
Champaign, III: Human Kinetic Publisher, Inc.
Siendtop,
D. (1991). Developing Teaching Skill in Physical Education, 3rd
Ed., Palo Alto, CA: Mayfield.
Tinning,
R., Mcdonald, D., Wright, J., and Hickey, C. (2001). Becoming Physical
Education Teacher: Contemporary and Enduring Issues. Frenchs Forest, NSW.
Prentice Hall
Komentar
Posting Komentar