Langsung ke konten utama

Filsafat ILMU

Pengantar
Filsafat dan ilmu pada dasarnya adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Filsafat telah merubah pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris () menjadi logosentris (). Perubahan pola pikir tersebut membawa perubahan yang cukup besar dengan ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi. Dari sinilah lahir ilmu-ilmu pengetahuan yang selanjutnya berkembang menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaatnya.
Filsafat sebagai induk dari segala ilmu membangun kerangka berfikir dengan meletakkan tiga dasar utama, yaitu ontologi, epistimologi dan axiologi. Maka Filsafat Ilmu  menurut Jujun Suriasumantri merupakan bagian dari epistimologi (filsafat ilmu pengetahuan yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah) Dalam  pokok bahasan ini akan diuraikan pengertian filsafat ilmu, obyek kajian serta latar belakang lahirnya yang menjadi cakupannya.
Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan, dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk diri sendiri, ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.
Dalam setiap aspek kehidupan, kita tidak akan terlepas dari apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan serta teknologi. Proses pendidikan menuntut seseorang untuk memahami setiap bidang kajian ilmu dengan lebih luas dan mendalam. Proses pembelajaran atau pendidikan ini akan menuntun seseorang untuk latihan berfikir ilmiah, logis dan kritis. Sehingga dibutuhkan ilmu filsafat untuk mendukung seseorang untuk memahami ilmu pengetahuan secara lebih mendalam. Tanpa saudara kandungnya Pengetahuan, Akal (Instrumen berfikir Manusia) bagaikan si miskin yang tak berumah, sedangkan Pengetahuan tanpa akal seperti rumah yang tak terjaga. Bahkan, Cinta, Keadilan, dan Kebaikan akan terbatas kegunaannya jika akal tak hadir (Kahlil Gibran). Pengetahuan merupakan suatu kekayaan dan kesempurnaan. ..Seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik kalau dibanding dengan yang tidak tahu apa-apa (Louis Leahy). Mengetahui merupakan kegiatan yang menjadikan subjek berkomunikasi Secara dinamik dengan eksistensi dan kodrat dari “ada” benda-benda (Sartre)
Pikiran manusia pada hakikatnya selalu mencari dan berusaha untuk memperoleh kebenaran. Karena itu pikiran merupakan suatu proses. Dalam proses tersebut haruslah diperhatikan kebenaran bentuk dapat berpikir logis. Kebenaran ini hanya menyatakan serta mengandaikan adanya jalan, cara, teknik, serta hukum-hukum yang perlu diikuti. Semua hal ini diselidiki serta dirumuskan dalam logika. Secara singkat logika dapat dikataka sebagai ilmu pengetahuan dan kemampuian untuk berpikir lurus. Ilmu pengetahuan sendiri adalah kumpulan pengetahuan tentang pokok tertentu. Kumpulan ini merupakan suatu kesatuan yang sistematis serta memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Penjelasan ini terjadi dengan menunjukkan sebab musababnya. Logika juga termasuk dalam ilmu pengetahuan yang dijelaskan diatas. Kajian ilmu logika adalah azas-azas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Agar dapat berpikir seperti itu, logika menyelidiki, merumuskan, serta menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati. Hal ini menunjukkan bahwa logika bukanlah sebatas teori, tapi juga merupakan suatu keterampilan untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam praktek. Ini sebabnya logika disebut filsafat yang praktis. Objek material logika adalah berfikir.Yang dimaksud berfikir disini adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berfkir, manusia mengolah dan mengerjakan pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan mengolah dan mengerjakannya ia dapat memperoleh kebenaran. Pengolahan dan pegearjaan ini terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan, serta menghubungkan pengertian satu dengan pengertian lainnya. Tetapi bukan sembarangan berfikir yang diselidiki dalam logika. Dalam logika berfikir dipandang dari sudut kelurusan dan ketepatannya. Karena berfikir lurus dan tepat merupakan objek formal logika. Suatu pemikiran disebut lurus dan tepat, apabila pemikirn itu sesuai dengan hukum-hukum serta aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam logika. Dengan demikian kebenaran juga dapat diperoleh dengan lebih mudah dan aman. Semua ini menunjukkan bahwa logika merupakan suatu pegangan atau pedoman untuk pemikiran. Maka dari ini penulis Dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal yang dianggap penting  dalam mempelajri filsafat Ilmu.









Pembahasanan
Bab I
Berpikir dan Pengetahuan
A.    Makna Berpikir
Semua karakteristik manusia yang menggambargakan ketinggian dan keagungan pada dasarnya merupakan akibat dari  anugrah akal yang dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun memberikan tugas kekhalifahan (yang terbingkai dalam perintah dan larangan) di muka bumi pada manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir, berpengetahuan, serta membuat keputusan untuk melakukan dan atau tidak melakukan yang tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu dimintai pertanggungjawaban. Sutan Takdir Alisjahbana. Menyatakan bahwa pikiran memberi manusia pengetahuan yang dapat dipakainya sebagai pedoman dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang menjadi pendorong perbuatan mereka. Oleh karena itu berfikir merupakan atribut penting yang menjadikan manusia sebagai manusia, berfikir adalah fondasi dan kemauan adalah pendorongnya.
Kalau berfikir (penggunaan kekuatan akal) merupakan salah satu ciri penting yang membedakan manusia dengan hewan, sekarang apa yang dimaksud berfikir, apakah setiap penggunaan akal dapat dikategorikan berfikir, ataukah penggunaan akal dengan cara tertentu saja yang disebut berfikir. Para akhli telah mencoba mendefinisikan makna berfikir dengan rumusannya sendiri-sendiri, namun yang jelas tanpa akal nampaknya kegiatan berfikir tidak mungkin dapat dilakukan, demikian juga pemilikan akal secara fisikal tidak serta merta mengindikasikan kegiata berfikir. Menurut J.M. Bochenski berfikir adalah perkembangan ide dan konsep, definisi ini nampak sangat sederhana namun substansinya cukup mendalam, berfikir bukanlah kegiatan fisik namun merupakan kegiatan mental, bila seseorang secara mental  sedang mengikatkan diri dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang tersebut bisa dikatakan sedang berfikir. Jika demikian berarti bahwa berfikir merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Upaya mengikatkan diri dengan sesuatu merupakan upaya untuk menjadikan sesuatu itu ada dalam diri (gambaran mental) seseorang, dan jika itu terjadi tahulah dia, ini berarti bahwa dengan berfikir manusia akan mampu memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu manusia menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka bumi serta mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya.                                                                                             Sementara itu Partap Sing Mehra memberikan definisi berfikir (pemikiran) yaitu mencari sesuatu yang belum diketahui berdasarkan sesuatu yang sudah diketahui. Definisi ini mengindikasikan bahwa suatu kegiatan berfikir baru mungkin terjadi jika akal/pikiran seseorang telah mengetahui sesuatu, kemudian sesuatu itu dipergunakan untuk mengetahui sesuatu yang lain, sesuatu yang diketahui itu bisa merupakan data, konsep atau sebuah idea, dan hal ini kemudian berkembang atau dikembangkan sehingga diperoleh suatu yang kemudian diketahui atau bisa juga disebut kesimpulan. Dengan demikian kedua definisi yang dikemukakan akhli tersebut pada dasarnya bersifat saling melengkapi. Berfikir merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan tersebut proses berfikir dapat terus berlanjut guna memperoleh pengetahuan yang baru, dan proses itu tidak berhenti selama upaya pencarian pengetahuan terus dilakukan.             Menurut Jujus S Suriasumantri Berfikir merupakan suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dengan demikian berfikir mempunyai gradasi yang berbeda dari berfikir sederhana sampai berfikir yang sulit, dari berfikir hanya untuk mengikatkan subjek dan objek sampai dengan berfikir yang menuntut kesimpulan berdasarkan ikatan tersebut. Sementara itu Partap Sing Mehra menyatakan bahwa proses berfikir mencakup hal-hal sebagai berikut yaitu  :
o    Conception (pembentukan gagasan)
o    Judgement (menentukan sesuatu)
o    Reasoning (Pertimbangan pemikiran/penalaran)
bila seseorang mengatakan bahwa dia sedang berfikir tentang sesuatu, ini mungkin berarti bahwa dia sedang membentuk gagasan umum tentang sesuatu, atau sedang menentukan sesuatu, atau sedang mempertimbangkan (mencari argumentasi) berkaitan dengan sesuatu tersebut.                                                                             Cakupan proses berfikir sebagaimana disebutkan di atas menggambarkan bentuk substansi pencapaian kesimpulan, dalam setiap cakupan terbentang suatu proses (urutan) berfikir tertentu sesuai dengan substansinya. MenurutJohn Dewey proses berfikir mempuyai urutan-urutan (proses) sebagai berikut :
o    Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit mengenai sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba.
o    Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan.
o    Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori.
o    Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data).
o    Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.
Sementara itu Kelly mengemukakan bahwa proses berfikir mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
o    Timbul rasa sulit
o    Rasa sulit tersebut didefinisikan
o    Mencari suatu pemecahan sementara
o    Menambah keterangan terhadap pemecahan tadi yang menuju kepada kepercayaan bahwa pemecahan tersebut adalah benar.
o    Melakukan pemecahan lebih lanjut dengan verifikasi eksperimental
o    Mengadakan penelitian terhadap penemuan-penemuan eksperimental menuju pemecahan secara mental untuk diterima atau ditolak sehingga kembali menimbulkan rasa sulit.
o    Memberikan suatu pandangan ke depan atau gambaran mental  tentang situasi yang akan datang untuk dapat menggunakan pemecahan tersebut secara tepat.
Urutan langkah (proses) berfikir seperti tersebut di atas lebih menggambarkan suatu cara berfikir ilmiah, yang pada dasarnya merupakan gradasi tertentu disamping berfikir biasa yang sederhana serta berfikir radikal filosofis, namun urutan tersebut dapat membantu bagaimana seseorang berfikir dengan cara yang benar, baik untuk hal-hal yang sederhana dan konkrit maupun hal-hal yang rumit dan abstrak, dan semua ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang berfikir tersebut.

B.     Makna Pengetahuan
Berfikir mensyaratkan adanya pengetahuan (Knowledge) atau sesuatu yang diketahui agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar, sekarang apa yang dimaksud dengan pengetahuan ?, menurutLangeveld pengetahuan ialah kesatuan subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui, di tempat lain dia mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui, suatu kesatuan dalam mana objek itu dipandang oleh subjek sebagai dikenalinya. Dengan demikian pengetahuan selalu berkaitan dengan objek yang diketahui, sedangkanFeibleman menyebutnya hubungan subjek dan objek (Knowledge : relation between object and subject). Subjek adalah individu yang punya kemampuan mengetahui (berakal) dan objek adalah benda-benda atau hal-hal yang ingin diketahui. Individu (manusia) merupakan suatu realitas dan benda-benda merupakan realitas yang lain, hubungan keduanya merupakan proses untuk mengetahui dan bila bersatu jadilah pengetahuan bagi manusia. Di sini terlihat bahwa subjek mesti berpartisipasi aktif dalam proses penyatuan sedang objek pun harus berpartisipasi dalam keadaannya, subjek merupakan suatu realitas demikian juga objek, ke dua realitas ini berproses dalam suatu interaksi partisipatif, tanpa semua ini mustahil pengetahuan terjadi, hal ini sejalan dengan pendapat Max Scheler yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita yang lain, tetapi tanpa modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu. Sebaliknya subjek yang mengetahui itu dipengaruhi oleh objek yang diketahuinya.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang objek tertentu, termasuk ke dalamnya ilmu (Jujun S Suriasumantri,), Pengetahuan tentang objek selalu melibatkan dua unsur yakni unsur representasi tetap dan tak terlukiskan serta unsur penapsiran konsep yang menunjukan respon pemikiran. Unsur konsep disebut unsur formal sedang unsur tetap adalah unsur material atau isi (Maurice Mandelbaum). Interaksi antara objek dengan subjek yang menafsirkan, menjadikan pemahaman subjek (manusia) atas objek menjadi jelas, terarah dan sistimatis sehingga dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Pengetahuan tumbuh sejalan  dengan bertambahnya pengalaman, untuk itu diperlukan informasi yang bermakna guna menggali pemikiran untuk menghadapi realitas dunia dimana seorang itu hidup (Harold H Titus).

C.    Berpikir Dan Pengetahuan
            Berfikir dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal.             Gerak sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatit, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir, demikian juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit, namun semakin memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya dalam suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu), disamping itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal dan mendalam, maka lahirlah pengetahuan filsafat, oleh karena itu berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam :
o    Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial)
o    Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu)
o    Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat)
Semua jenis berfikir dan pengetahuan tersebut di atas mempunyai poisisi dan manfaatnya masing-masing, perbedaan hanyalah bersifat gradual, sebab semuanya tetap merupakan sifat yang inheren dengan manusia. Sifat inheren berfikir dan berpengetahuan pada manusia telah menjadi pendorong bagi upaya-upaya untuk lebih memahami kaidah-kaidah berfikir benar (logika), dan semua ini makin memerlukan keakhlian, sehingga makin rumit tingkatan berfikir dan pengetahuan makin sedikit yang mempunyai kemampuan tersebut, namun serendah apapun gradasi berpikir dan berpengetahuan yang  dimiliki seseorang tetap saja mereka bisa menggunakan akalnya untuk berfikir untuk memperoleh pengetahuan, terutama dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan, sehingga manusia dapat mempertahankan hidupnya (pengetahuan macam ini disebut pengetahuan eksistensial).                              Berpengetahuan merupakan syarat mutlak bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk itu dalam diri manusia telah terdapat akal yang dapat dipergunakan berfikir untuk lebih mendalami dan memperluas pengetahuan. Paling tidak terdapat dua alasan mengapa manusia memerlukan pengetahuan/ilmu yaitu:
1.             manusia tidak bisa hidup dalam alam yang belum terolah, sementara binatang siap hidup di alam asli dengan berbagai kemampuan bawaannya.
2.             manusia merupakan makhluk yang selalu bertanya baik implisit maupun eksplisit dan kemampuan berfikir serta pengetahuan merupakan sarana untuk menjawabnya.
3.             Dengan demikian berfikir dan pengetahuan bagi manusia merupakan instrumen penting untuk mengatasi berbagai persoalah yang dihadapi dalam hidupnya di dunia, tanpa itu mungkin yang akan terlihat hanya kemusnahan manusia (meski kenyataan menunjukan bahwa dengan berfikir dan pengetahuan manusia lebih mampu membuat kerusakan dan memusnahkan diri sendiri lebih cepat)









Bab II
Defenisi Filsafat Ilmu, Ojek Kajian, Dan Latar Belakang Kelahirannya
            Filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia, dan terdiri dari kata Philos yang berarti kesukaan atau kecintaan terhadap sesuatu, dan kata Sophia yang berarti kebijaksanaan. Secara harafiah, filsafat diartikan sebagai suatu kecintaan terhadap kebijaksanaan (kecenderungan untuk menyenangi kebijaksanaan), hikmah atau pengetahuan yang mendalam. Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu ( ilm ) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire.Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme - positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisik. Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat ilmu adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”.
Filsafat ilmu secara umum dapat difahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan obyek khusus, yaitu ilmu pengetahuan yang memiliki sifat dan kharakteristik tertentu hampir sama dengan filsafat pada umumnya. Sementara itu, filsafat ilmu sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan, ia merupakan kerangka dasar dari proses keilmuan itu sendiri.
Tentang filsafat ilmu itu sendiri merupakan satu cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang ilmu, dan sebagai berikut kami paparkan beberapa definisi dari Filsafat Ilmu Menurut para ahli:
1.    Robert Ackerman
Filsafat ilmu adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
2.      Lewis White Beck
Filsafat ilmu adalah ilmu yang membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
3.Michael V. Berry
Filsafat Ilmu adalah penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.
4.May Brodbeck
Filsafat Ilmu adalah analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
B.     Objek Kajian Filsafat Ilmu  
            Objek kajian adalah sasaran yang menjadi fokus bahasan dalam sebuah kajian. Filsafat Ilmu terbagi menjadi dua bagian, yaitu objek material dan objek formal:                                                                                                                                                                                                                                          
1.   Objek Material Ilmu

Objek Material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Dalam filsafat ilmu, objek material adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum.
Objek ini merupakan hal yang diselidiki (sasaran penyelidikan), dipandang, disorot atau dipermasalahkan oleh suatu disiplin ilmu. Objek ini mencakup hal-hal yang bersifat konkret (seperti makhluk hidup, benda mati) maupun abstrak (seperti nilai-nilai, keyakinan). ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan, selain itu, objek material ini bersifat Jelas, tidak banyak mengalami ketimpangan. Dengan kata lain, objek material ini merupakan suatu kajian penelaahan atau pembentukan pengetahuan itu, yaitu segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, baik bersifat konkret maupun abstrak (tidak tampak). Menurut Drs. H. A. Dardiri bahwa objek material adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Segala sesuatu yang ada itu di bagi dua, yaitu :
a)      Ada yang bersifat umum (ontologi), yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya.
b)      Ada yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu ada secara mutlak (theodicae) dan tidak mutlak yang terdiri dari manusia (antropologi metafisik) dan alam (kosmologi).
Contoh : Objek materialnya adalah manusia dan manusia ini di tinjau dari sudut pandangan yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia di antaranya psikologi, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya.
2.   Objek Formal
Sedangkan Objek Formal adalah sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu disorot. Seperti fisika, kedokteran, agama, sastra, seni, sejarah, dan sebagainya. Sudut pembahasan inilah yang dikenal sebagai objek formal. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem ilmu pengetahuan, seperti: apa hakikat ilmu, apa fungsi ilmu pengetahuan, dan bagaimana memperoleh kebenaran ilmiah. Problem inilah yang di bicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Dengan kata lain, objek formal merupakan sudut pandang atau cara memandang terhadap objek material (termasuk prinsip-prinsip yang digunakan). Sehingga tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, namun juga membedakannya dari bidang-bidang lain. Objek formal ini bersifat menyeluruh (umum) sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materialnya. Obyek material suatu ilmu dapat saja sama, indentik. Tetapi obyek formal ilmu tidak sama. Sebab subyek formal ialah sudut pandang, tujuan penyelidikan. Sebagai contohnya dapat dilihat pada tabel berikut ini Dengan demikian pada dasarnya, untuk mengenal esensi suatu ilmu, bukanlah pada obyek materialnya, melainkan pada obyek formalnya.
Pegertian dan ruang lingkup filsafat ilmu
Istilah filsafat bisa ditinjau dari dua segi, semantik dan praktis. Dari segi semantik perkataan filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang berarti philos = cinta, suka (loving) dan Sophia = pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi philosopia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafah akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut philosopher dalam bahasa Arab disebut failasuf. Dari segi praktis filsafat berarti alam pikiran atau alam berfikir. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat maknanya berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.
Rene Descartes, seorang pelopor filsafat modern dan pelopor pembaharuan pada abad ke 17 terkenal dengan ucapannya, “Cogito ergo Sum” yang bararti karena berpikir, maka saya ada sebagai landasan filsafatnya. Berfilsafat berarti berpangkal kepada suatu kebenaran yang fundamental atau pengalaman yang asasi.
Menurut Prof. dr. N. Driyarkara S. J. Filasafat adalah pikiran manusia yang radikal, dengan mengesampingkan pendapat-pendapat dan pendirian-pendirian yang diterima saja dengan mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap praktis. Pandangan kepada sebab-sebab yang terakhir atau sebab pertama (filsafat causes), dan tidak diarahkan kepada sebab yang terdekat (secondary causes), sepanjang kemungkinan yang ada pada budi nurani manusia sesuai kemampuannya.
Alfred Narth Whichead mendefinisikan filsafat adalah keinsyafan dan pandangan jauh kedepan dan suatu kesadaran akan hidup. Pendeknya, kesadaran akan kepentingan yang memberikan semangat kepada seluruh usaha peradaban manusia.
Beberapa pendapat para ahli mengenai filsafat yaitu :
1.      Plato salah seorang murid Socrates yang hidup antara 427 – 347 Sebelum Masehi mengartikan filsafat  sebagai pengetahuan tentang segala yang ada, serta pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
1.      Aristoteles (382 – 322 S.M) murid Plato, mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Dia juga berpendapat bahwa filsafat itu menyelidiki sebab dan asas segala benda.
2.      Cicero (106 – 43 S.M). filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha mencapai hal tersebut.
3.      Al Farabi (870 – 950 M). seorang Filsuf Muslim mendefinidikan Filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud, bagaimana hakikatnya yang sebenarnya.
4.      Immanuel Kant (1724 – 1804). Mendefinisikan Filsafat sebagai ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan yaitu :
1.      Metafisika (apa yang dapat kita ketahui).
2.      Etika (apa yang boleh kita kerjakan).
3.      Agama ( sampai dimanakah pengharapan kita)
4.      Antropologi (apakah yang dinamakan manusia).
5.       H.C Webb dalam bukunya History of Philosophy menyatakan bahwa filsafat mengandung pengertian penyelidikan. Tidak hanya penyelidikan hal-hal yang khusus dan tertentu saja, bahkan lebih-lebih mengenai sifat – hakekat baik dari dunia kita, maupun dari cara hidup yang seharusnya kita selenggarakan di dunia ini.
6.      Harold H. Titus dalam bukunya Living Issues in Philosophy mengemukakan beberapa pengertian filsafat yaitu :
1.      Philosophy is an attitude toward life and universe (Filsafat adalah sikap terhadap kehidupan dan alam semesta).
2.      Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned inquiry (Filsafat adalah suatu metode berfikir reflektif dan pengkajian secara rasional)
3.      Philosophy is a group of problems (Filsafat adalah sekelompok masalah)
4.      Philosophy is a group of systems of thought (Filsafat adalah serangkaian sistem berfikir)

Definisi Ilmu
Dalam Ensiklopedia Indonesia, Ilmu didefinisikan sebagai berikut : ilmu Pengetahuan adalah suatu system dari pelbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu system dari pelbagai  pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan dan memberikan pemjelasan yang sistematis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal/kejadian itu.
Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran mendefinikan ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia. Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui, sementara itu secara istilah ilmu diartikan sebagai Idroku syai bi haqiqotih(mengetahui sesuatu secara hakiki). Dalam bahasa Inggeris Ilmu biasanya  dipadankan  dengan  kata  science, sedang    pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science(berasal dari bahasa lati dari kata Scio, Scire yang berarti tahu) umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada makna yang sama.
sementara itu The Liang Gie menyatakan dilihat dari ruang lingkupnya pengertian ilmu adalah sebagai berikut :
·         Ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebutkan segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suatu kebulatan. Jadi ilmu mengacu pada ilmu seumumnya.
·         Ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari pokok soal tertentu, ilmu berarti cabang ilmu khusus
Harsoyo mendefinisikan ilmu dengan melihat pada sudut proses historis dan pendekatannya yaitu :
·         Ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematiskan atau kesatuan pengetahuan yang terorganisasikan
·         Ilmu dapat pula dilihat sebagai suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca  indera manusia.
Lebih jauh dengan memperhatikan pengertian-pengertian  Ilmu sebagaimana diungkapkan di atas, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan pengertian ilmu yaitu :
·         Ilmu adalah sejenis pengetahuan
·         Tersusun atau disusun secara sistematis
·         Sistimatisasi dilakukan dengan menggunakan metode tertentu
·         Pemerolehannya dilakukan dengan cara studi, observasi, eksperimen.
Dengan demikian sesuatu yang bersifat pengetahuan biasa dapat menjadi suatu pengetahuan ilmiah bila telah disusun secara sistematis serta mempunyai metode berfikir yang jelas, karena pada dasarnya ilmu yang berkembang dewasa ini merupakan akumulasi dari pengalaman/pengetahuan manusia yang terus difikirkan, disistimatisasikan, serta diorganisir sehingga terbentuk menjadi suatu disiplin yang mempunyai kekhasan dalam objeknya.

Definisi Filsafat Ilmu
Dari penjelasan tentang definisi dari filsafat dan definisi dari Ilmu maka para ahli telah banyak mengemukakan definisi/pengertian filsafat ilmu dengan sudut pandangnya masing-masing, dan setiap sudut pandang tersebut amat penting guna pemahaman yang komprehensif tentang makna filsafat ilmu, berikut ini akan  dikemukakan beberapa definisi filsafat ilmu
Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu. Dalam bentuk pertanyaan, pada dasar filsafat ilmu merupakan telahaan berkaitan dengan objek apa yang ditelaah oleh ilmu (ontologi), bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistemologi), dan bagaimana manfaat ilmu (axiologi), oleh karena itu lingkup induk telaahan filsafat ilmu adalah :
      Ontologi berkaitan tentang apa obyek yang ditelaah ilmu, dalam kajian ini mencakup masalah realitas dan penampakan (reality and appearance), serta bagaimana hubungan ke dua hal tersebut dengan subjek/manusia.
      Epistemologi berkaitan dengan bagaimana proses diperolehnya ilmu, bagaimana prosedurnya untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang benar.
Axiologi berkaitan dengan apa manfaat ilmu, bagaimana hubungan etika dengan ilmu, serta bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan. Peter Caw memberikan makna filsafat ilmu sebagai bagian dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu dalam kontek keseluruhan pengalaman manusia. Steven R. Toulmin memaknai filsafat ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan anggapan-anggapan metafisik guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut pandang logika formal, dan metodologi praktis serta metafisika.
Sementara itu White Beck lebih melihat filsafat ilmu sebagai kajian dan evaluasi terhadap metode ilmiah untuk dapat difahami makna ilmu itu sendiri secara keseluruhan, Masalah kajian atas metode ilmiah juga dikemukakan oleh Michael V. Berry setelah mengungkapkan dua kajian lainnya yaitu logika teori ilmiah  serta hubungan antara teori dan eksperimen. Demikian juga halnya Benyamin yang memasukan masalah metodologi dalam kajian filsafat ilmu disamping posisi ilmu itu sendiri dalam konstelasi umum disiplin intelektual (keilmuan).
Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas, hal yang penting untuk difahami adalah bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah kefilsafatan terhadap hal-hal yang berkaitan/menyangkut ilmu, dan bukan kajian di dalam struktur ilmu itu sendiri.
Terdapat beberapa istilah dalam pustaka yang dipadankan dengan Filsafat ilmu seperti : Theory of  science, meta science, methodology, dan science of science, semua istilah tersebut nampaknya menunjukan perbedaan dalam titik tekan pembahasan, namun semua itu pada dasarnya tercakup dalam kajian filsafat ilmu .
Sementara itu Gahral Adian mendefinisikan filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu) dari segi ciri-ciri dan cara pemerolehannya.  Filsafat ilmu selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar/radikal terhadap ilmu seperti tentang apa ciri-ciri spesifik yang menyebabkan sesuatu disebut ilmu, serta apa bedanya ilmu dengan pengetahuan biasa, dan bagaimana cara pemerolehan ilmu, pertanyaan – pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk membongkar serta mengkaji asumsi-asumsi ilmu yang biasanya diterima begitu saja (taken for granted), Dengan demikian filsafat ilmu merupakan jawaban filsafat atas pertanyaan ilmu atau filsafat ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaahan secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu.
Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan tentang apa itu filsafat ilmu. Filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu menjawab beberapa persoalan seperti landasan ontologis, epistimologis dan aksiologis. Filsafat ilmu adalah proses berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh mengenai hal-hal yang berkaitan dengan proses pendidikan dan bidang keilmuan tertentu. Filsafat ilmu merupakan perenungan yang mempelajari ilmu secara lebih mendalam, mengenai sebab akibat dan sebagainya.
B.     Objek Kajian Filsafat Ilmu
            Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam objek , yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis dan adil juga memiliki objek material dan objek formal.
Objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan adapun, objek formal, dan rasional adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan rasional tentang segala yang ada. Setelah berjalan beberapa lama kajian yang terkait dengan hal yang empiris semakain bercabang dan berkembang, sehingga menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang peraktis. Dalam perspektif ini dapat diuraikan bahwa filsafat ilmu pada prinsipnya memiliki dua obyek substantif dan dua obyek instrumentatif, yaitu:
1. Obyek Subtantif, yang terdiri dari dua hal,yaitu :
a. Fakta (Kenyataan)
Data empirik sensual tersebut harus obyektif tidak boleh masuk subyektifitas peneliti. Fakta itu yang faktual ada phenomenology. Fakta bukan sekedar data empirik sensual, tetapi data yang sudah dimaknai atau diinterpretasikan, sehingga ada subyektifitas peneliti. Tetapi subyektifitas di sini tidak berarti sesuai selera peneliti, subyektif disini dalam arti tetap selektif sejak dari pengumpulan data, analisis sampai pada kesimpulan.. Data selektifnya mungkin berupa ide , moral dan lain-lain. Orang mengamati terkait langsung dengan perhatiannya dan juga terkait pada konsep-konsep yang dimiliki. Kenyataan itu terkonstruk dalam moral realism, sesuatu itu sebagai nyata apabila ada korespondensi dan koherensi antara empiri dengan skema rasional.
b. KebenaranYang empirik faktual koheren dengan kebenaran transenden berupa wahyu. Pragamatisme, mengakui kebenaran apabila faktual berfungsi.
Rumusan substantif tentang kebenaran ada beberapa teori, menurut Michael Williams ada lima teori yang relevan tentang kebenaran, yaitu:
Ø Kebenaran Preposisi, yaitu teori kebenaran yang didasarkan pada kebenaran proposisinya baik proposisi formal maupun proposisi materialnya.
Ø Kebenaran Korespondensi, teori kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada adanya korespondensi antara pernyataan dengan kenyataan (fakta yang satu dengan fakta yang lain). Selanjutnya teori ini kemudian berkembang menjadi teori Kebenaran Struktural Paradigmatik, yaitu teori kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada upaya mengkonstruk beragam konsep dalam tatanan struktur teori (struktur ilmu/structure of science) tertentu yang kokoh untuk menyederhanakan yang kompleks atau sering
Ø Kebenaran Koherensi atau Konsistensi, yaitu teori kebenaran yang medasarkan suatu kebenaran pada adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui kebenarannya.
Ø Kebenaran Performatif, yaitu teori kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu dianggap benar apabila dapat diaktualisasikan dalam tindakan.
Ø Kebenaran Pragmatik, yaitu teori kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu benar apabila mempunyai kegunaan praktis. Dengan kata lain sesuatu itu dianggap benar apabila mendatangkan manfaat dan salah apabila tidak mendatangkan manfaat.
1.      Obyek Instrumentatif, yang terdiri dari dua hal yaitu:
a. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah untuk menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut dengan menggunakan landasan: asumsi, postulat atau axioma yang sudah dipastikan benar. Pemaknaan juga dapat ditampilkan sebagai konfirmi probabilistik dengan menggunakan metode induktif, deduktif, reflektif. Dalam ontologi dikenal pembuktian a priori dan a posteriori.
b. Logika Inferensi
Studi logika adalah studi tentang tipe-tipe tata pikir. Pada mulanya logika dibangun oleh Aristoteles (384-322 SM) dengan mengetengahkan tiga prinsip atau hukum pemikiran, yaitu : Principium Identitatis (Qanun Dzatiyah), Principium Countradictionis (Qanun Ghairiyah), dan Principium Exclutii Tertii (Qanun Imtina’).
Logika ini sering juga disebut dengan logika Inferensi karena kontribusi utama logika Aristoteles tersebut adalah untuk membuat dan menguji inferensi. Dalam perkembangan selanjutnya Logika Aristoteles juga sering disebut dengan logika tradisional. Dalam hubungan ini Harold H. Titus menerapkan ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi aktual dan deskriptif yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat. Banyak ilmuan yang juga filsuf. Para filosof terlatih dalam metode ilmiah dan sering pula menuntut minat khusus dalam beberapa disiplin ilmu.
Beberapa pendapat ahli tentang objek kajian filsafat ilmu :
1.      Edward Madden menyatakan bahwa lingkup atau bidang kajian filsafat ilmu adalah:
a.       Probabilitas
b.      Induksi
c.       Hipotesis
2.      Ernest Nagel menyatakan bahwa lingkup atau bidang kajian filsafat ilmu adalah:
a.       Logical pattern exhibited by explanation in the sciences
b.      Construction of scientific concepts
c.       Validation of scientific conclusions
3.      cheffer menyatakan bahwa lingkup atau bidang kajian filsafat ilmu adalah:
a.       The role of science in society
b.      The world pictured by science
c.       The foundations of science
Objek kajian filsafat ilmu sebagaimana diungkapkan di atas di dalamnya sebenarnya menunjukan masalah-masalah yang dikaji dalam filsafat ilmu, masalah-masalah dalam filsafat ilmu pada dasarnya menunjukan topik-topik kajian yang pastinya dapat masuk ke dalam salah satu lingkup filsafat ilmu. Adapun masalah-masalah yang berada dalam lingkup filsafat ilmu adalah (Ismaun) :
1.      masalah-masalah metafisis tentang ilmu
2.      masalah-masalah epistemologis tentang ilmu
3.      masalah-masalah metodologis tentang ilmu
4.      masalah-masalah logis tentang ilmu
5.      masalah-masalah etis tentang ilmu
6.      masalah-masalah tentang estetika
metafisika merupakan telaahan atau teori tentang yang ada, istilah metafisika ini terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian, karena sebenarnya metafisika juga mencakup telaahan lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti adanya Tuhan.
Epistemologi merupakan teori pengetahuan dalam arti umum baik itu kajian mengenai pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, maupun pengetahuan filosofis.
Metodologi ilmu adalah telaahan atas metode yang dipergunakan oleh suatu ilmu, baik dilihat dari struktur logikanya, maupun dalam hal validitas metodenya. Masalah logis berkaitan dengan telaahan mengenai kaidah-kaidah berfikir benar, terutama berkenaan dengan metode deduksi. Problem etis berkaitan dengan aspek-aspek moral dari suatu ilmu, apakah ilmu itu hanya untuk ilmu, ataukah ilmu juga perlu memperhatikan kemanfaatannya dan kaidah-kaidah moral masyarakat.
Sementara itu masalah estetis berkaitan dengan dimensi keindahan atau nilai-nilai keindahan dari suatu ilmu, terutama bila berkaitan dengan aspek aplikasinya dalam kehidupan masyarakat.
Fungsi dan Arah filsafat Ilmu
Fungsi atau manfaat dari mempelajari tentang filsafat ilmu adalah sebagai   berikut :
-          Melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu
-          Melatih berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu
-          Menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh kebenaran
-          Menghidarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang lain di luar bidang ilmunya.


















Bab III
Hubungan antara Filsafat dan Ilmu
Persamaan filsafat dan ilmu
- Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
-    Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya.
-    Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
-    Keduanya mempunyai metode dan sistem.
-  Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang mendalam.
-    keduanya menggunakan cara berfikir reflektif dalam upaya menghadapi atau memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran terbuka serta sangat konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisisr dan sistematis.

Perbedaan filsafat dan ilmu

-    Objek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan objek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu itu hanya erfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
-   Objek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non-fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fregmentaris, spesifik dan intensif. Disamping itu, objek formal ilmu itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
-    Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis dan pengawasan. Sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedang kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
-    Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitassehari-hari. Sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
-    Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary cause). Sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary cause).
-    Ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut. Sedangkan filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia
Hubungan filsafat dengan ilmu
-    Filasafat mempunyai objek yang lebih luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu-ilmu pengatahuan objeknya terbatas, khusus lapangannya saja.
-    Filsafat hendak memberikan pengetahuan, insight / pemahaman yang lebih dalam dengan menunjukkan sebab-sebab yang terakhir, sedangkan ilmu pengetahuan juga menunjukkan sebab-sebab tetapi tidak begitu mendalam. Dengan suatu kalimat dapat dikatakan :
1). Ilmu pengetahuan mengatakan “bagaimana” barang-barang itu (to know how . . . technical know how, managerial know how . . . secondary causes, and proximate explanation ).
2). Filsafat mengatakan “ apa” barang-barang itu (to know what and why . . . first causes, highest principles, and ultimate explanation).
-    Filsafat memberikan sintesis kepada ilmu-ilmu pengetahuan yang khusus, mempersatukan, dan mengkoordinasikannya.
-    Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan ilmu pengetahuan, tetapi sudut pandangnya berlainan. Jadi merupakan dua pengetahuan yang tersendiri.
Ilmu.
Pengetahuan ilmuah atau ilmu (bah. Inggris Science dan Latin Scientia yang diturunkan dari kata scire), memiliki makna ganda, yaitu; mengetahui (to know), dan belajar (to learn). Sisi pertama to know menunjuk pada aspek statis ilmu, yaitu sebagai hasil, berupa pengetahuan sistematis. Sisi kedua menunjuk pada hakikat dinamis ilmu, sebagai sebuah proses (aktivitas-metodis). Sisi kedua tersebut hendak menunjukkan bahwa ilmu sebagai aktifitas pembelajaran, bukanlah sebuah aktifitas menunggu secara pasif, melainkan merupakan sebuah usaha secara aktif untuk menggali, mencari, mengejar, atau menyelidiki sampai pengetahuan itu diperoleh secara utuh, obyektif, valid, dan sistematis. Tegasnya, pengertian ilmu, dalam hal ini, menunjuk pada tiga hal, yaitu; pertama; ilmu sebagai proses berupa aktifitas kognitif-intelektuali (aktivitas penelitian), kedua; ilmu sebagai prosedur berupa metode ilmiah, dan ketiga;. Ilmu sebagai hasil atau produk berupa pengetahuan sistematis. Penjelasannya demikian:
Ilmu sebagai aktifitas, menggambarkan hakikat ilmu sebagai sebuah rangkaian aktivitas pemikiran rasional, kognitif, dan teleologis (tujuan). Rasional artinya, proses aktifitas yang menggunakan kemampuan pemikiran untuk menalar dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah logika, kognitif artinya; aktivitas pemikiran yang bertalian dengan; pengenalan, pencerapan, pengkonsepsian, dalam membangun pemahaman pemahaman secara terstruktur guna memperoleh pengetahuan, dan teleologis artinya; proses pemikiran dan penelitian yang mengarah pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, misalnya; kebenaran pengetahuan, serta memberi pemahaman, penjelasan, peramalan, pengendalian, dan aplikasi atau penerapan. Semua itu dilakukan setiap ilmuwan dalam bentuk penelitian, pengkajian, atau dalam rangka pengembangan ilmu.
Ilmu sebagai prosedur menunjuk pada pola prosedural, tata langkah, teknik atau cara, serta alat atau media. Pola prosedural, misalnya; pengamatan, percobaan, pengukuran, survei, deduksi, induksi, analisis, dan lainnya. Tata langkah, misalnya; penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila diperlukan), pengumpulan data, penarikan kesimpulan, dan pengujian hasil. Teknik atau cara, misalnya; penyusunan daftar pertanyaan, wawancara, perhitungan, dan lainnya. Alat dan media, timbangan, meteran, perapian, komputer, dan lainnya.
Ilmu sebagai hasil atau produk berupa pengetahuan sistematis, ilmu dipahami sebagai seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek (dunia obyek) yang sama dan saling berkaitan secara logis. Ilmu, karena itu, dipandang sebagai sebuah koherensi sistematik, dengan prosedur, aksioma, dan lambang–lambang yang dapat dilihat dengan jelas melalui pembuktian-pembuktian ilmiah. Ilmu memuat di dalam dirinya hipotesis-hipotesis (jawaban-jawaban sementara) dan teori-teori (hipotesis-hipotesis teruji) yang belum mantap sepenuhnya. Ilmu sering disebut pula sebagai konsep pengetahuan ilmiah karena ilmu harus terbuka bagi pengujian ilmiah (pengujian keilmuan).
Jadi, ilmu cenderung dipahami sebagai pengetahuan yang diilmiahkan atau pengetahuan yang diilmukan, sebab tidak semua pengetahuan itu bersifat ilmu atau harus diilmiahkan. Sebagai hasil kegiatan ilmiah, ilmu merupakan sekelompok pengetahuan (konsep-konsep) mengenai sesuatu hal (pokok soal) yang menjadi titik minat bagi permasalahan tertentu. Sebuah pengetahuan ilmiah memiliki 5 (lima) ciri pokok, yaitu; empiris, sistematis, obyektif, analitis, dan verifikatif. Ilmu, dalam hal ini, cenderung dilihat dalam hubungan dengan obyek keilmuan (obyek material dan formal) dan metode keilmuan tertentu. Kesatuan ilmu bersumber di dalam kesatuan obyeknya. Orang, misalnya kaum peneliti, membatasi ilmu sebatas metodologi keilmuan. Alasannya, kaitan-kaitan logis yang dicari di dalam ilmu tidak dicapai dengan penggabungan ide-ide yang terpisah, tetapi pada pengamatan dan berpikir metodis, yang tertata rapih. Alat bantu metodologis keilmuan adalah “teknologi ilmiah” dalam menguji-coba atau mengeksperimentasi konsep-konsep ilmu.
Ketiga unsur dimaksud menggambarkan sebuah pengertian yang lengkap dan utuh mengenai ilmu itu sendiri. Ketiganya, sesungguhnya bukan saling bertentangan, tetapi merupakan sebuah kesatuan, di mana manusia lah yang menjadi pelaku (subyek) ilmu itu sendiri. Alasannya, hanya manusia sajalah yang memiliki kemampuan rasional, melakukan aktivitas kognitif (menyangkut pengetehuan), dan mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu. Suatu aktivitas, hanya dapat mencapai tujuan bila mana dilaksanakan dengan metode yang tepat.
Pengertian ilmu sebagaimana di atas, dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu; ilmu sebagai aktivitas, ilmu sebagai pengetahuan sistematis, ilmu sebagai metode (The Liang Gie 1996:130). Ilmu sebagai aktivitas kognitif harus mematuhi berbagai kaidah pemikiran logis, sementara, disebut pengetahuan sistematis karena ilmu merupakan hasil dari pelaksanaan proses-proses kognitif yang terpercaya, dan sistematis, Ilmu disebut metodik karena ilmu sebagai aktivitas kognitif (intelektual) sampai perwujudannya sebagai pengetahuan sistematis, terjalin dalam sebuah langkah atau prosedur ilmu yang disebut metode. Pandangan tersebut mengantarkan pada sebuah rumusan yang bersifat tentatif tentang ilmu sebagai berikut;
Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional kognitif, dengan berbagai metode berupa anek prosedur dan tata langkah, sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sitematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, dan keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, atau penerapan.
Obyek Pengetahuan ilmiah atau Ilmu.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara filsafati, sebuah pengetahuan ilmiah atau ilmu, memiliki perbedaan dengan bentuk pengetahuan yang umum (common sense). Alasannya, bila sebuah jenis pengetahuan umum tidak memiliki obyek, bentuk pernyataan, serta dimensi dan cirri yang khusus maka sebaliknya, sebuah pengetahuan ilmiah atau pengetahuan keilmuan (ilmu) selalu mengendaikan adanya; obyek keilmuan, bentuk pernyataan, serta dimensi dan ciri yang khusus.
Obyek pengetahhaun ilmiah atau obyek keilmuan, dalam hal ini, mencakup segala sesuatu (yang tampak secara fisik maupun non fisik berupa fenomena atau gejala kerohanian, kejiwaan, atau sosial), yang sejauh dapat dijangkau oleh pikiran atau indera manusia. Para filsuf, karenanya, membagi obyek keilmuan itu dalam dua golongan besar, yaitu; obyek material dan obyek formal keilmuan. Obyek material meliputi: ide abstrak, benda-benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, gejala sosial, gejala kejiwaan, gejala alam, proses tanda, dan sejenisnya. Obyek formal, meliputi; sudut pandang, minat akademis, atau cara kerja yang digunakan untuk menggali, menggarap, menguji, menganalisis, dan menyusun berbagai pemikiran yang tersimpan dalam khasanah kekayaan obyek material di atas dan menyuguhkannya dalam bentuk ilmu.
Hubungan Pengetahuan dan Ilmu
Pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung di dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala atau peristiwa, baik yang bersifat alamiah, keorangan, atau kemasyarakat. Pengetahuan dapat dibagi atas dua bentuk, yaitu pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa adalah bentuk pengetahuan yang biasa ditemui dalam pikiran atau pandangan umum (common sense) dalam kehidupan harian, sementara pengetahuan ilmiah adalah jenis pengetahuan yang telah diolah secara kritis menurut prinsip-prinsip keilmuan untuk menjadi ilmu. Pengetahuan ilmiah (Scientific knowledge) adalah pengetahuan yang disusun bersdasarkan azas-azas yang cocok dengan pokok soal dan dapat membuktikan kesimpulan-kesimpulannya. Pengetahuan ilmiah melukiskan suatu obyek khusus tentang jenis pengetahuan yang khusus mengenai obyek dimaksud.
Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sitematis. Jadi, pengetahuan merupakan isi substantif yang terkandung dalam ilmu. Pengetahuan, karenanya, merupakan dasar bangunan sebuah ilmu. Tanpa pengetahuan, sukar disadari, ditemukan, atau dikembangkan sebuah ilmu dalam bentuk apa pun. Pengetahuan yang merupakan isi substatif ilmu, dalam dunia keilmuan disebut fakta (fact), kebenaran, azas, nilai, dan keterangan) yang diperoleh manusia. Ilmu bukan sekedar fakta, tetapi ilmu mengamati, menganalisis, menalar, membuktikan, dan menyimpulkan hal-hal yang bersifat faktawi (faktual) yang dihimpun dan dicatat sebagai data (datum).
Ilmu, dalam hal ini, didasarkan pada sesuatu hal pokok sebagai fakta (pengetahuan) yang pokok soal khusus di dalam ilmu. Pokok soal itu dapat berupa ide abstrak, misalnya; sifat Tuhan, sifat bilangan, atau fakta empiris, misalnya; sifat tanah, ciri kulit, bentuk materi, berat badan, lembaga adat, pemerintah, dan sebagainya, yang mendorong minat (focus of interest) atau sikap pikiran padanya. Jadi, bila ilmu berbeda dari filsafat berdasarkan ciri empiris ilmu maka ilmu berbeda dari pengetahuan biasa karena ciri sistematis dari ilmu itu sendiri. Hal-hal berupa pokok soal dimaksud, di dalam filsafat disebut obyek material ilmu, sementara fokus minat atau sikap terhadap hal pokok dimaksud disebut obyek formal ilmu, yang menunjuk pada sudut pendekatan atau tata cara khusus yang dilakukan dalam menghadapi obyek materi ilmu dimaksud.
Ilmu, sebagaimana pengetahuan, memiliki dimensi sosial kemasyarakatan, juga dimensi kebudayaan, dan dimensi permainan. Dimensi kemasyarakatan sebagai sebuah pranata sosial (Social institution), karena ilmu, sebagaimana pengetahuan, merupakan salah satu unsur yang berhubungan dengan kehidupan kemasyarakatan. Dimensi kebudayaan sebagai “kekuatan kebudayaan” (cultural force), kerena ilmu, sebagaimana pengetahuan, merupakan salah satu wujud kebudayaan yang sekaligus berkembang dalam bentuk kebudayaan, serta memberikan sumbangan bagi kemajuan kebudayaan itu sendiri. Dimensi permainan, (game), karena ilmu, dalam perkembangannya, menunjukkan ciri –ciri yang mirip dengan sifat-sifat suatu permainan, misalnya; keingintahuan, perlombaan, dan penerimaan hadiah. Ketiga hal dimaksud, bukan merupakan arti sesungguhnya dari ilmu, melainkan dianggap sebagai dimensi umum dari ilmu.
Konsep Ilmu
Sasaran ilmu adalah pembentukan konsep (pengertian), baik untuk kepentingan pengembangan ilmu secara murni (misalnya; untuk menyusun teori dan dan menghasilkan dalil-dalil, atau azas), maupun untuk kepentingan praktis bagi tindakan penerapan nyata. Konsep merupakan ide umum yang mewakili sesuatu himpunan hal yang biasanya dibedakan dari pencerapan atau persepsi mengenai suatu hal khusus. Konsep merupakan alat penting untuk pemikiran terutama dalam hal penelitian ilmiah atau penelitian keilmuan.
Konsep ilmu adalah bagan, rencana, atau pengertian, baik yang bersifat abstrak maupun operasional, yang merupakan alat penting untuk kepentingan pemikiran dalam ilmu atau pengetahuan ilmiah. Setiap ilmu harus memiliki suatu atau beberapa konsep kunci atau konsep tambahan yang bertalian. Beberapa contoh konsep ilmiah, misalnya; konsep bilangan di dalam matematika, konsep gaya di dalam fisika, konsep evolusi di dalam biologi, stimulus di dalam psikologi, kekuasaan atau strata sosial di dalam ilmu-ilmu sosial, simbol di dalam linguistik, keadilan dalam ilmu hukum, keselamatan dalam ilmu teologi, atau lingkungan di dalam ilmu-ilmu interdisipliner.
Konsep-konsep ilmu atau konsep ilmiah tersebut sangat dibutuhkan agar suatu ilmu dapat menyusun berbagai azas, teori, sampai dalil-dalil. Sesuatu konsep ilmiah dapat merupakan semacam sarana untuk ilmuwan melakukan pemikiran dalam mengembangkan pengetahuan ilmiah. Misalnya; dengan konsep evolusi, Charles Darwin lalu dapat menyusun dan mengembangkan suatu teori tentang asal–usul manusia, yang mulai dari tahap perkembangan binatang menyusui yangcerdas kemudian makin berkembangan menjadi manusia. Inti konsep evolusi yang membentuk teori evolusi itu demikian: bahwa bentuk-bentuk organisme yang lebih rumit berasal dari sejumlah kecil bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan primitif dalam perkembangannya secara berangsur-angsur sepanjang zaman.
Konsep evolusi, kemudian diterapkan pula dalam memahami perkembangan ilmu dengan menunjukkan bahwa cabang-cabang ilmu khusus terlahir dalam jalinan umum dari pemikiran reflektif filsafat dan setelah itu berkembangan mencapai suatu taraf kematangan sehingga dipandang berbeda dan kemudian dipisahkan dari filsafat. Hal demikian berlaku pula terhadap upaya penelaan terhadap gejala-gejala alam dan kehidupan maupun gajala-gejala mental dan kemasyarakatan, yang dewasa ini, semuanya secara pasti telah berkembang menjadi ilmu-ilmu fisis, biologi, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial yang berdiri sendiri-sendiri. Ciri umum daripada ilmu-ilmu tersebut yang membuatnya berbeda dari filsafat adalah ciri empirisnya. Jelasnya, bila filsafat masih tetap merupakan pemikiran reflektif yang coraknya sangat umum, kebalikannya ilmu-ilmu fisis, biologis, psikologis, dan ilmu-ilmu sosial telah merupakan rangkaian aktivitas intelektual yang bersifat empiris. Sifat tersebut lah yang selalu merupakan ciri umum dari ilmu.
Jelasnya, konsep ilmu, agar dapat berguna secara ilmiah maka ia harus memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat operasional untuk kepentingan pengamatan (observasi), dan sifat abstrak untuk kepentingan penyimpulan dan generalisasi. Bersifat operasional, maksudnya, setiap konsep ilmu mengandung pengertian-pengertian yang berkesesuaian dengan fakta atau situasi yang dapat diamati secara empiris. Ciri empiris dari ilmu mengandung pengertian bahwa pengetahuan yang diperoleh tersebut adalah berdasarkan pengamatan (observation) atau eksperimentasi (experimentation). Konsep ilmu, di sisi lain, bersifat abstrak untuk kepentingan melakukan penyimpulan atau membuat keterangan-keterangan ilmiah yang berlaku secara umum. Konsep-konsep ilmu tersebut kadang-kadang begitu abstrak sehingga hampir berupa khayalan. Misalnya; konsep ketakterhinggaan matematika (mathematical infinity), manusia ekonomis (the economic man), atau negara ideal (the ideal state).
Konsep ilmu sebagai sasaran ilmu, tidak boleh dikacaukan, seolah-olah sama atau menyerupai inti atau pokok soal pengetahuan. Alasannya, pokok soal pengetahuan tersebut belum dapat mengembangakan suatu ilmu ke taraf yang lebih tinggi seperti konsep ilmu dimaksud. Ilmu yang telah cukup berkembang harus memiliki satu atau beberapa konsep kunci, juga beberapa konsep tambahan yang bertalian dengannya.
Ciri Pokok Ilmu
Ilmu sebagai pengetahuan ilmiah, berbeda dengan pengetahuan biasa, memiliki beberapa ciri pokok, yaitu:
1.      sistematis; para filsuf dan ilmwan sepaham bahwa ilmu adalah pengetahuan atau kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Ciri sistematis ilmu menunjukkan bahwa ilmu merupakan berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan tersebut mempunyai hubungan-hubungan saling ketergantungan yang teratur (pertalian tertib). Pertalian tertib dimaksud disebabkan, adanya suatu azas tata tertib tertentu di antara bagian-bagian yang merupakan pokok soalnya.
2.      empiris; bahwa ilmu mengandung pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengamatan serta percobaan-percobaan secara terstruktur di dalam bentuk pengalaman-pengalaman, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Ilmu mengamati, menganalisis, menalar, membuktikan, dan menyimpulkan hal-hal empiris yang bersifat faktawi (faktual), baik berupa gejala atau kebathinan, gejala-gejala alam, gejala kejiwaan, gejala kemasyarakatan, dan sebagainya. Semua hal faktai dimaksud dihimpun serta dicatat sebagai data (datum) sebagai bahan persediaan bagi ilmu. Ilmu, dalam hal ini, bukan sekedar fakta, tetapi fakta-fakta yang diamati dalam sebuah aktivitas ilmiah melalui pengamalaman. Fakta bukan pula data, berbeda dengan fakta, data lebih merupakan berbagai keterangan mengenai sesuatu hal yang diperoleh melalui hasil pencerapan atau sensasi inderawi.
3.      obyektif; bahwa ilmu menunjuk pada bentuk pengatahuan yang bebas dari prasangka perorangan (personal bias), dan perasaan-perasaan subyektif berupa kesukaan atau kebencian pribadi. Ilmu haruslah hanya mengandung pernyataan serta data yang menggambarkan secara terus terang atau mencerminkan secara tepat gejala-gejala yang ditelaahnya. Obyektifitas ilmu mensyaratkan bahwa kumpulan pengetahuan itu haruslah sesuai dengan obyeknya (baik obyek material maupun obyek formal-nya), tanpa diserongkan oleh keinginan dan kecondongan subyektif dari penelaahnya.
4.      analitis; bahwa ilmu berusaha mencermati, mendalami, dan membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian-bagian yang terpecinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian tersebut. Upaya pemilahan atau penguraian sesuatu kebulatan pokok soal ke dalam bagian-bagian, membuat suatu bidang keilmuan senantiasa tersekat-sekat dalam cabang-cabang yang lebih sempit sasarannya. Melalui itu, masing-masing cabang ilmu tersebut membentuk aliran pemikiran keilmuan baru yang berupa ranting-ranting keilmuan yang terus dikembangkan secara khusus menunju spesialisasi ilmu.
5.      verifikatif; bahwa ilmu mengandung kebenaran-kebenaran yang terbuka untuk diperiksa atau diuji (diverifikasi) guna dapat dinyatakan sah (valid) dan disampaikan kepada orang lain. Kemungkinan diperiksa kebenaran (verifikasi) dimaksud lah yang menjadi ciri pokok ilmu yang terakhir. Pengetahuan, agar dapat diakui kebenarannya sebagai ilmu, harus terbuka untuk diuji atau diverifikasi dari berbagai sudut telaah yang berlainan dan akhirnya diakui benar. Ciri verifikasif ilmu sekaligus mengandung pengertian bahwa ilmu senantiasa mengarah pada tercapainya kebenaran. Ilmu dikembangkan oleh manusia untuk menemukan suatu nilai luhur dalam kehidupan manusia yang disebut kebenaran ilmiah. Kebenaran tersebut dapat berupa azas-azas atau kaidah-kaidah yang berlaku umum atau universal mengenai pokok keilmuan yang bersangkutan. Melalui itu, manusia berharap dapat membuat ramalan tentang peristiwa mendatang dan menerangkan atau menguasai alam sekelilingnya. Contohnya, sebelum ada ilmu maka orang sulit mengerti dan meramalkan, serta menguasai gejala atau peristiwa-peristiwa alam, seperti; hujan, banjir, gunung meletus, dan sebagainya. Orang, karena itu, lari kepada tahyul atau mitos yang gaib. Namun, demikian, setelah adanya ilmu, seperti; vulkanologi, geografi, fisis, dan kimia maka dapat menjelaskan secara tepat dan cermat bermacam-macam peristiwa tersebut serta meramalkan hal-hal yang akan terjadi kemudian, dan dengan demikian dapat menguasainya untuk kemanfaatan diri atau lingkungannya. Berdasarkan kenyataan itu lah, orang cenderung mengartikan ilmu sebagai seperangkat pengetahuan yang teratur dan telah disahkan secara baik, yang dirumuskan untuk maksud menemukan kebenaran-kebenaran umum, serta tujuan penguasaan, dalam arti menguasai kebenaran-kebenaran ilmu demi kepentingan pribadi atau masyarakat, dan alam lingkungan.
Selain, kelima ciri ilmu di atas, masih terdapat beberapa ciri tambahan lainnya, misalnya; ciri instrumental dan ciri faktual. Ciri instrumental, dimaksudkan bahwa ilmu merupakan alat atau sarana tindakan untuk melakukan sesuatu hal. Ilmu, dalam hal ini sukar namun, juga amat muda dalam arti, senantiasa merupakan sarana tindakan untuk melakukan banyak hal yang mengagumkan dan membanjiri dunia dengan ide-ide baru. Ilmu berciri faktual, dalam arti, ilmu tidak memberikan penilaian, baik atau buruk terhadap apa yang ditelaannya, tetapi hanya menyediakan fakta atau data bagi sepengguna. Pandangan terakhir ini, oleh filsuf kritis telah ditolah karena, menurut mereka ilmu sebagai sebuah hasil budaya manusia, selalu bertautan atau berhubungan dengan nilai. Ilmu, karenanya, tidak dapat membebaskan atau meluputkan diri dari nilai dan selalu harus bertanggungjawab atasnya.
Dimensi khusus Ilmu
Ilmu, dalam perkembangannya yang luas dan bertumbuh beraneka ragam, telah menampilkan pula berbagai dimensi keilmuan yang cukup luas dan beragam, serta bersifat khas atau khusus. Dimensi ilmu menunjuk pada perwatakan, peranan, serta kepentingan yang sepatutnya yang dianggap termasuk dalam ilmu. Berbagai pandangan filsuf, sebagaimana ditunjukkan oleh The Liang Gie (1996: 131-133), menunjukkan beberapa dimensi ilmu yang secara khusus atau spesifik dapat dijumpai dari ilmu-ilmu yang bersangkutan, yaitu:
1.      dimensi ekonomi, ilmu memiliki dimensi ekonomis, dalam arti, ilmu dilihat sebagai salah satu faktor utama dalam mempertahankan dan mengembangkan produksi.
 
2.      dimensi linguistik, bahwa ilmu dipahami sebagai suatu bahasa buatan. Ilmu, dalam hal ini, dilihat sebagai suatu konstruksi kebahasaan (a construction of language), dengan seperangkat tanda dan hubungan-hubungan spesifik tertentu serta antara obyek-obyek, dan dengan prakterk.
3.      dimensi matematis, ilmu berdimensi matematis dalam hal menekankan segi-segi kuantitatif dan proses-proses kuantifikasi dalam ilmu. Ilmu, dalam hal ini, mencakup penalaran matematis dan analisis data atas fenomena alamiah.
4.      dimensi politik, bahwa ilmu memiliki dimensi kekuasaan (power) sebagaimana ditunjukkan oleh Francis Bacon: knowledge is power. Ilmu, dalam hal ini cenderung dipahami sebagai kekuatan dalam hal membangun dan menyelenggarakan pemerintahan atau kekuasaan serta mempertahankannya.
5.      dimensi psikologis; bahwa ilmu bukanlah kumpulan keajaiban, melainkan suatu sikap terhadap dunia dengan kreativitas kejiwaan yang penuh daya seni serta keindahan yang tinggi.
6.      dimensi sosiologis, bahwa ilmu, dalam hal ini, cenderung dipahami sebagai sebuah lembaga sosial (social institution), mendorong aktivitas sosial (social aktivity), serta membangun jaringan-jaringan yang menghimpun, menguji, serta menyebarkan pengetahuan, dan menciptakan sebuah masyarakat ilmuwan.
7.      dimensi nilai, bahwa ilmu bukan sekedar untuk menjejerkan ide-ide atau gagasan-gagasan, tetapi lebih daripada itu merupakan sebuah nilai (value) pada dirinya, dan karenanya, ilmu tidak dapat membebaskan diri dari nilai-nilai yang diembannya sejak awal proses pembentukan maupun penerapannya.
8.      dimensi sejarah, ilmu, dalam hal ini, dipahami sebagai bagian dari perkembangan sejarah manusia dan kebudayaan. Ilmu, karenanya, merupakan sebuah kekuatan sejarah yang sangat besar peranannya bagi setiap generasi manusia di dalam periodenya masing-masing. Ilmu sebagai kekuatan sejarah, selalu membangun eksistensi sosial manusia dalam arahnya yang selalu baru.
9.      dimensi kultur, bahwa ilmu sebagai produk budaya manusia yang sekaligus ditempatkan menjadi kekuatan budaya (cultural force) dalam membangun peradaban manusia dan dunia sebagai pribadi dan dunia yang berbudaya.
10.  Dimensi kemanusiaan; ilmu adalah produk daya cipta, rasa, dan karsa manusia yang bertautan langsung dengan nilai rasa (cita rasa) manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah obyek sekaligus subyek bagi ilmu itu sendiri, dan ilmu selalu berorientasi pada manusia sebagai kausa ontologis (penyebab ada) bagi ilmu itu sendiri. Manusia lah yang mengembangkan ilmu, tetapi sekaligus mendapatkan keuntungan (benefit) dari ilmu itu sendiri.
11.  dimensi rekreatif, bahwa ilmu memiliki dimensi permaianan yang dilombahkan dan dilakukan dengan kegembiraan. Ilmu, dalam hal ini, dilihat sebagai suatu permainan yang ditimbulkan oleh keingintahuan untuk menemukan alam semesta dan dirinya sendiri, serta memperluas atau memperbesar kesadaran manusia akan dunia tempat ia hidup dan berkarya.
12.  dimensi sistem; ilmu, dalam hal ini, merupakan suatu kebulatan sistem yang terdiri dari unsur-unsur yang berada dalam keadaan yang saling berinteraksi. Jadi, ilmu dipahami sebagai pengetahuan sistematis yang memiliki ciri sistematis, sistim penjelasan (a system of explanation), dan terpola atau terstruktur, serta menjadi suatu sistim keyakinan tentang alam, kaidah-kaidah alam, kaidah-kaidah pembilangan, serta hubungannya dengan manusia.
13.  dimensi logic, bahwa ilmu konsistensi proposisi-proposisi ilmu dalam membangun sebuah penalaran yang sehat dan lurus guna mencapai kesimpulan-kesimpulan keilmuan yang bersifat valid dan obyektif. Melalui itu, ilmu, secara formal, dapat diterima sebagai sebuah ilmu yang resmi, valid, dan obyektif.

Pembahasan mengenai dimensi khusus keilmuan di atas, memperlihatkan bahwa, sesungguhnya masih terdapat lagi banyak dimensi keilmuan yang lain yang bersifat khas, namun, semua dimensi tersebut saling terkait secara komplementar (saling melengkapi) untuk meberikan manfaat atau kegunaan secara utuh dan sempurna bagi kemajuan ilmu maupun bagi manusia dan alam kehidupannya. Konsekuensinya, penonjolan secara sepihak pada salah satu dimensi yang paling disukai saja, misalnya; dimensi ekonomi ilmu karena membawa keuntungan langsung, akan sangat mengganggu kemajuan ilmu secara utuh serta cenderung merapuhkan vitalitas ilmu itu sendiri. Alasannya, kerena kemajuan pada dimesi ekonomi akan sangat ditunjang oleh dimensi lain, sementara persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh faktor ekonomi itu sendiri tidak mungkin hanya dapat dipecahkan secara ekonomi pula.
Bentuk Pernyataan dan Ragam Proposisi Ilmiah (Keilmuan)
1.      Deskripsi, merupakan bentuk pernyataan ilmiah (pernyataan keilmuan) berupa uraian terpeinci, baik mengenai bentuk, susunan, peranan, serta hal-hal terperinci lainnya dari fenomena atau obyek keilmuan yang bersangkutan. Bentuk pernyataan deskriptif ini, biasanya terdapat pada cabang-cabang ilmu khusus yang bersifat deskriptif, misalnya; ilmu anatomi, biologi, astronomi, dan sebagainya.
2.      Perskripsi, merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang berupa petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaliknya dilakukan dalam hubungan dengan suatu obyek keilmuan. Bentuk pernyataan perskripsi dimaksud, banyak dijumpai dalam cabang-cabang ilmu sosial. Misalnya; ilmu-ilmu pendidikan yang memuat petunjuk-petuntuj mengenai cara-cara mengajar yang baik di dalam kelas. Hal demikian pun dapat dijumpai di dalam ilmu administrasi negara yang berupaya memaparkan berbagai azas atau ukuran-ukuran, dan berbagai peraturan lainnya tentang bagaimana menjalankan sebuah organisasi pemerintahan yang baik, membangun menajemen yang efektif, atau prosedur kerja yang efisien.
3.      Eksposisi Pola; merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang memaparkan pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomena atau obyek keilmuan yang ditelaah. Misalnya, dalam Antropologi, dipaparkan pola-pola kebudayaan berbagai suku bangsa, atau dalam Sosiologi, diungkapkan pola-pola perubahan masyarakat dari tahap kehidupan pedesaan menjadi masyarakat perkotaan.
4.      Rekonstruksi historis; merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang berusaha menggambarkan atau menceriterakan sesuatu hal pada masa lampau dengan beruasah memberikan penjelasan atau menunjukkan alasan yang diperlukan bagi pertumbuhan hal dimaksud, baik secara alamiah maupun secara budaya melalui campur tangan manusia, dengannya orang akan berusaha memberikan petunjuk-petunjuk atau penyiasatan hidup ke depan. Bentuk pernyataan ilmiah ini dapat dijumpai dalam ilmu-ilmu khusus, seperti; Historiografi atau Ilmu purbakala.
5.      Azas ilmiah (azas keilmuan); merupakan ragam proposisi ilmiah yang mengandung prinsip-prinsip kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati. Azas ilmiah, dalam ilmu-ilmu sosial, sering dipahami sebagai prinsip yang memadai untuk dijadikan pedoman di dalam melakukan tindakan-tindakan. Misalnya; azas peredaran planet berdasarkan pengamatan astronomi, yang menyatakan; makin dekat sesuatu planet kepada matahari, makin pendek masa putarannya. 
6.      Kaidah ilmiah (kaidah keilmuan); merupakan ragam proposisi yang mengungkapkan keajegan (keteraturan) atau hubungan tertib yang dapat diperiksa kebenarannya di antara fenomena-fenomena. Melalui itu, ia digeneralisasikan sebagai hal yang secara umum berlaku bagi fenomena yang sejenis. Misalnya; Hukum gaya berat dari Ishak Newton atau Kaidah Boyle di dalam ilmu-ilmu kimiah bahwa volume suatu gas berubah secara terbalik dengan tekanan bila suhu yang sama tetap dipertahankan. Kaidah, ilmiah, karenanya, seringkali diartikan sebagai suatu pernyataan prediktif dan universal.

Struktur pengetahuan ilmiah (Ilmu).
Guna membantu Anda melakukan pemetaan pemikiran secara utuh terhadap hakikat ilmu maka Anda diminta untuk mempelajari bagan di bawah:
Struktur pengetahuan Gambar No 5. Struktur Pengetahuan Ilmiah
E. Sumber:
1. Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
2. The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta. 
3 The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.

















Bab IV
Fungsi dan Manfaat Filsafat Ilmu
Cara kerja filsafat ilmu  memiliki pola dan model-model yang spesifik dalam menggali dan meneliti dalam menggali pengetahuan melalui sebab musabab pertama dari gejala ilmu pengetahuan. Di dalamnya mencakup paham tentang kepastian , kebenaran, dan obyektifitas. Cara kerjanya bertitik tolak pada gejala – gejala  pengetahuan mengadakan reduksi ke arah intuisi para ilmuwan, sehingga kegiatan ilmu – ilmu itu dapat dimengerti sesuai dengan kekhasannya masing-masing disinilah akhirnya kita dapat mengerti fungsi dari  filsafat ilmu.
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
·         Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
·         Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
·         Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
·         Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
·         Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
Jadi, Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dantheory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana. Manfaat lain mengkaji filsafat ilmu adalah
•   Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual
•   Kritis terhadap aktivitas ilmu/keilmuan
•   Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu terus-menerus sehingga ilmuwan tetap bermain dalam koridor yang benar (metode dan struktur ilmu)
•   Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional
•   Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid
•   Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)
























Bab V
Filsafat Sebagai Ilmu Pengetahuan

Pada dasarnya setiap ilmu mempunyai dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh adalah obyek material ilmu kedokteran. Adapun obyek formalnya adalah metode untuk memahami obyek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif.
Filsafat sebagai proses berfikir yang sistematis dan radikal juga memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik mencakup ada yang tampak maupun ada yang tidak tampak. Ada yang tampak adalah dunia empiris, sedang ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian filosuf membagi obyek material filsafat atas tiga bagian, yaitu: yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam alam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang ada.

Dalam perspektif ini dapat diuraikan bahwa filsafat ilmu pada prinsipnya memiliki dua obyek substantif dan dua obyek instrumentatif, yaitu:
Obyek Subtantif, yang terdiri dari dua hal:
1.  Fakta (Kenyataan)
Yaitu empiri yang dapat dihayati oleh manusia. Dalam memahami fakta (kenyataan ini ada beberapa aliran filsafat yang memberikan pengertian yang berbeda-beda, diantaranya adalah:
1)    Positivisme
a) Hanya mengakui penghayatan yang empirik dan sensual
b) Sesuatu sebagai fakta apabila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan yang sensual lainnya
c) Data empirik sensual tersebut harus obyektif tidak boleh masuk subyektifitas peneliti
d) Fakta itu yang faktual ada
2)    Phenomenologi:
a)    Fakta bukan sekedar data empirik sensual, tetapi data yang sudah dimaknai atau diinterpretasikan, sehingga ada subyektifitas peneliti. Tetapi subyektititas disini tidak berarti sesuai selera peneliti, subyektif disini dalam arti tetap selektif sejak dan pengumpulan data, analisis sampai pada kesimpulan. Data selektifnya mungkin berupa ide , moral dan lain-lain.
b)  Orang mengamati terkait langsung dengan perhatiannya dan juga terkait pada konsep-konsep yang dimiliki
c)    Kenyataan itu terkonstruk dalam moral.
3)    Realisme:
a) Sesuatu itu sebagai nyata apabila ada korespondensi dan koherensi antara empiri dengan skema rasional.
b) Mataphisik sesuatu sebagai nyata apabila ada koherensi antara empiri dengan yang obyektif universal
c) Yang nyata itu yang riil exsist dan terkonstruk dalam kebenaran obyektif
d) Empiri bukan sekedar empiri sensual yang mungkin palsu, yang mungkin memiliki makna lebih dalam yang beragam.
e) Empiri dalam realisme memang mengenai hal yang nil dan memang secara substantif ada
f)  Dalam realisme metaphisik skema rasional dan paradigma rasional penting
g)  Empiri yang substantif riil baru dinyatakan ada apabila ada koherensi yang obyektif universal
4)    Pragmatis :
Yang ada itu yang berfungsi, sehingga sesuatu itu dianggap ada apabila berfungsi. Sesuatu yang tidak berfungsi keberadaannya dianggap tidak ada.
5)    Rasionalistik :
Yang nyata ada itu yang nyata ada, cocok dengan akal dan dapat dibuktikan secara rasional atas keberadaanya
2. Kebenaran
1)    Positivisme:
a)    Benar substantif menjadi identik dengan benar faktual sesuatu dengan empiri sensual
b)    Kebenaran pisitivistik didasarkan pada diketemukannya frekwensi tinggi atau variansi besar
c)    Bagi positivisme sesuatu itu benar apabila ada korespondensi antara fakta yang satu dengan fakta yang lain
2)    Phenomenologi:
a)    Kebenaran dibuktikan berdasarkan diketemukannya yang esensial, pilah dan yang non esensial atau eksemplar dan sesuai dengan skema moral tertentu
b)    Secara esensial dikenal dua teori kebenaran, yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi
c)    Bagi phenomenologi, phenomena baru dapat dinyatakan benar setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercaya.
Realisme Metaphisik : Ia mengakui kebenaran bila yang faktual itu koheren dengan kebenaran obyektif universal
3)    Realisme
a)    Sesuatu itu benar apabila didukung teori dan ada faktanya
b)    Realisme hart, menuntut adanya konstruk teori (yang disusun deduktif probabilisti) dan adanya empiri teerkonstruk pula Islam : Sesuatu itu benar apabila yang empirik faktual koheren dengan kebenaran transenden berupa wahyu
4)    Pragamatisme : Mengakui kebenaran apabila faktual berfungsi.
Rumusan substantif tentang kebenaran ada beberapa teori, menurut Michael Williams ada lima teori kebenaran, yaitu:
1)    Kebenaran Preposisi, yaitu teori kebenaran yang didasarkan pada kebenaran proposisinya baik proposisi formal maupun proposisi material nya.
2)    Kebenaran Korespondensi, teori kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada adanya korespondensi antara pernyataan dengan kenyataan (fakta yang satu dengan fakta yang lain). Selanjutnya teori ini kemudian berkembang menjadi teori Kebenaran Struktural Paradigmatik, yaitu teori kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada upaya mengkonstruk beragam konsep dalam tatanan struktur teori (struktur ilmu.structure of science) tertentu yang kokoh untuk menyederhanakan yang kompleks atau sering
3)    Kebenaran Koherensi atau Konsistensi, yaitu teori kebenaran yang medasarkan suatu kebenaran pada adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui kebenarannya.
4)    Kebenaran Performatif, yaitu teori kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu dianggap benar apabila dapat diaktualisasikan dalam tindakan.
5)    Kebenaran Pragmatik, yaitu teori kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu benar apabila mempunyai kegunaan praktis. Dengan kata lain sesuatu itu dianggap benar apabila mendatangkan manfaat dan salah apabila tidak mendatangkan manfaat.

Obyek Instrumentatif yang terdiri dan dua hal:
1.  Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah untuk menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut dengan menggunakan landasan: asumsi, postulat atau axioma yang sudah dipastikan benar. Pemaknaan juga dapat ditampilkan sebagai konfirmi probabilistik dengan menggunakan metode induktif, deduktif, reflektif. Dalam ontologi dikenal pembuktian a priori dan a posteriori. Untuk memastikan kebenaran penjelasan atau kebenaran prediksi para ahli mendasarkan pada dua aspek:
1) Aspek Kuantitatif;
2) Aspek Kualitatif.
Dalam hat konfirmasi, sampai saat ini dikenal ada tiga teori konfirmasi, yaitu : Decision Theory, menerapkan kepastian berdasar keputusan apakah hubungan antara hipotesis dengan evidensi memang memiliki manfaat aktual. Estimation Theory, menetapkan kepastian dengan memberi peluang benar — salah dengan menggunakan konsep probabilitas. Reliability Analysis, menetapkan kepastian dengan mencermati stabilitas evidensi (yang mungkin berubah-ubah karena kondisi atau karena hal lain) terhadap hipotesis
2.  Logika Inferensi
Studi logika adalah studi tentang tipe-tipe tata pikir. Pada mulanya logika dibangun oleh Aristoteles (3 84-322 SM) dengan mengetengahkan tiga prinsip atau hukum pemikiran, yaitu Principium Identitatis (Qanun Dzatiyah), Principium Countradictionis (Qanun Ghairiyah), dan Principium Exclutii Tertii (Qanun Imtina’). Logika ini sering juga disebut dengan logika Inferensi karena kontribusi utama logika Aristoteles tersebut adalah untuk membuat dan menguji inferensi. Dalam perkembangan selanjutnya Logika Aristoteles juga sering (Disebut dengan logika tradisional.
 B.   Metode Filsafat
Hanya dengan cara dan metode tertentu pengetahuan kefilsafatan dapat diperoleh. Mendapatkan pengetahuan yang benar, lebih-lebih pada taraf kefilsafatan haruslah berlangsung secara bertahap sedikit demi sedikit. Tidak mungkin sekaligus. Maka metode yang paling tepat adalah metode ilmiah yang merupakan gabungan antara analisis dan sintesis yang dipakai secara dialektik berkesinambungan.

1. Metode Analisis
Metode ini melakukan pemeriksaan secara konseptual atas istilah-istilah yang kita pergunakan dan pernyataan-pernyataan yang kita buat. Di dalam ilmu pengetahuan alam. setiap saat kita menyaksikan berbagai macam benda. Dan keberadaanya dapat diketahui bahwa setiap benda selalu menempati ruang dan waktu tertentu, berbentuk, berbobot dan berjumlah (volume). Metode analisis mi sering disebut sebagai metode aposteriori karena bertitik tolak dan segala sesuatu atau pengetahuan yang adanya itu timbul sesudah pengalaman, agar sampai kepada suatu pengetahuan yang adanya di atas atau di luar pengalaman sehari-hari.
2. Metode Sintesis
Sebaliknya, metode mi dibantu dengan peralatan deduktif yang mencoba menjabarkan sifat-sifat umum yang secara niscaya ada pada segala sesuatu ke dalam hal-hal dan keadaan-keadaan konkret khusus tertentu. Sifat-sifat umum yang mengenai kejiwaan manusia misalnya, dapat dijabarkan ke dalam bermacam-macam jenis dan bentuk tingkah laku.
Dalam studi filsafat, kedua metode di atas lebih dipergunakan secara dialektik. Artinya digunakan secara berkesinambungan dalam suatu rentetan sebab-akibat. Oleh karena itu. sering dinaTnakan sebagai metode analitiko-sintetik.

 C.   Sistem Filsafat
Terdapat dua sistem yang populer dalam dunia filsafat yaitu sistem tertutup (closed system) dan sistem terbuka (opened system). Sistem tertutup adalah yang berlaku dalam ilmu pengetahuan pasti (eksakta) dan alam. Sedangkan sistem terbuka lebih populer digunakan dalam ilmu pengetahuan sosial dan humaniora.
Mempertimbangkan sasaran (obyek studi filsafat baik yang material maupun yang formal, maka sistem terbuka tampaknya lebih dominan. Karena obyek filsafat itu tidak terbatas kepada hal-hal yang rasional dan empiris saja. Melainkan menembus pada hal-hal yang berderajat irrasional dan yang non empiris (yaitu hal- hal yang metafisik).

 D.   Kebenaran Filsafat
Hal kebenaran sesungguhnya merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Problematik mengenai kebenaran merupakan masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu.

1. Definisi Kebenaran
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan arti kebenaran, yaitu:
1.      Keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya);
2.      Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya);
3.      Kejujuran, ketulusan hati;
4.      Selalu izin, perkenanan;
5.      Jalan kebetulan.
6.      Jenis-jenis Kebenaran
Kebenaran dapat dibagi dalam tiga jenis menurut telaah dalam filsafat ilmu, yaitu
1.      Kebenaran Epistemologikal, adalah kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia,
2.      Kebenaran Ontologikal, adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada maupun diadakan.
3.      Kebenaran Semantikal, adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa.

 2. Teori-teori Kebenaran
Perbincangan tentang kebenaran dalam perkembangan pemikiran filsafat sebenarnya sudah dimulai sejak Plato melalui metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal.
Kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles hingga saat mi, dimana teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan. Untuk mengetahui ilmu pengetahuan mempunyai nilai kebenaran atau tidak sangat berhubungan erat dengan sikap dan cara memperoleh pengetahuan.
Berikut secara tradisional teori-teori kebenaran itu antara lain sebagai berikut:
1.      Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
2.      Teori Kebenaran Saling Berkesesuaian (Correspondence Theory of Truth)
3.      Teori Kebenaran Inherensi (Inherent Theory of Truth,)
4.      Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
5.      Teori Kebenaran Sintaksis
6.      Teori Kebenaran Nondeskripsi
7.      Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan (Logical Superfluity of Truth)

3. Sifat Kebenaran llmiah
Karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dan kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri, maka setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya, dan disitu terlihat sifat-sifat dan kebenaran. Sifat kebenaran dapat dibedakan menjadi tiga hal. yaitu:
a. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan, dimana setiap pengetahuan yang dimiliki ditilik dan jenis pengetahuan yang dibangun. Pengetahuan itu berupa:
1)    Pengetahuan biasa atau disebut ordinary knowledge atau common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenai.
2)    Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan para ahli sejenis. Kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang penemuan mutakhir.
3)    Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat, bersifat mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran analitis, kritis, dan spekulatif. Si fat kebenaran yang terkandung adalah absolute.-intersubjektif.
4)    Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama bersifat dogmatis yang selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya.
b.  Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dan bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya. Implikasi dan penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya. Jadi jika membangun pengetahuan melalui indera atau sense experience, maka pembuktiannya harus melalui indera pula.
c. Kebenaran dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan. Membangun pengetahuan tergantung dan hubungan antara subjek dan objek, mana yang dominan. Jika subjek yang berperan, maka jenis pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran yang bersifat subjektif. Sebaliknya, jika objek yang berperan, maka jenis pengetahuannya mengandung nilai kebenaran yang sifatnya objektif
Contoh: Penjelasan probabilistik ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif, melainkan penjelasan yang bersifat peluang, seperti ”kemungkinan”, ”kemungkinan besar”, atau ”hampir dapat dipastikan”. Penjelasan fungsional atau teleologis meletakkan sebuah unsure dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu (Suriasumantri, 2000: 142). Dewasa ini
telah ditemukan model-model penjelasan ilmiah yang membedakannya dengan
penjelasan non-ilmiah, yakni Deductive-Nomological (DN), Statistical
Relevance(SR), Causal Mechanical (CM), dan Unificationist models (”Scientific
explanation”, 2009). Dalam model DN, sebagai contoh, ilmu bertanggung jawab untuk menyediakan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan “mengapa”. Suatu jawaban atas pertanyaan “mengapa” baru dapat disebut penjelasan ilmiah apabila ia memiliki struktur yang logis dalam argumennya, yaitu terdiri atas premispremis dan kesimpulan yang memiliki relasi satu sama lain. Kesimpulan yang ada di dalamnya merupakan fenomena yang perlu dijelaskan (explanandum), sedangkan premis-premisnya adalah fakta yang bisa digunakan untuk mendukung kesimpulan tersebut (explanans). Untuk dapat memberikan penjelasan, ilmu memiliki argumen deduktif dengan minimal satu hukum umum sebagai premis dan satu explanandum sebagai konklusi. Explanansmemberikan penjelasan ilmiah terhadap explanandum hanya apabila: (1)Explanandum merupakan konsekuensi logis dari konjungsi explanans; (2) Tidak adasurplus explanans yang tidak perlu dalam rangka eksplanasi; (3) Pernyataan-pernyataan explanans harus memiliki isi empiris; (4) Semua pernyataan explanansharus benar (Ruben, 1990). Ada karakteristik lain dari model DN, yaitu bahwa sebuah eksplanasi dapat digunakan untuk memperkirakan, dan sebuah prediksi adalah sebuah eksplanasi yang sahkarena kepersisan struktur logisnya. Model ini sangat jelas membedakan antara ilmu dan bukan-ilmu.
Episteme berrati pengetahuan, sedangkan epistemology ialah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Pengetahuan pada hakekatnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu ialah menyusun pendapat tentang sesuatu itu, dengan kata lain menyusun gambaran itu sesuai dengan fakta atau kenyataan atau tidak? Apakah gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat dengan kebenaran atau jauh dari kebenaran. Ada dua teori mengenai hakekat pengetahuan ini, yaitu teori realisme,yang berpandangan bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat jika sesuai dengan kenyataan tau realitas. Sebaliknya teori yang kedua adalah idealisme, yang berpendapat bahwa gambaran yang benar-benar tepat dan sesuai dengan kenyataan adalah mustahil, oleh karenanya teori ini berpendapat bahwa gambaran subyektif dan bukan obyektif tentang kenyataan. Subyektif dipandang dari sudut yang mengetahui, yaitu dari sudut orang yang membuat gambaran tersebut. Pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, pengetahuan tidak memberikan gambaran yang tepat hakekat yang ada diluar akal, yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui.
Metode ilmiah merupakan rentetan daur-daur penyimpulanrampatan (induksi), penyimpul-khasan (deduksi) dan penyahihan (verifikasi/validasi) yang terus menerus tak kunjung usai (Wilardjo dalam Suriasumantri, 1997: 237). Dalam daur ini, terdapat demarkasi yang disebut Karl Popper sebagai falsifiabilitas. Yang harus melewati patok demarkasi pengujian empiris ini adalah hipotesis. Hipotesis merupakan pernyataan dugaan (conjectural) tentang hubungan antara dua variabel atau lebih, yang dapat dirunut atau dijabarkan dari teori dan dari hipotesis lain (Kerlinger, 2003: 32). Apabila hipotesis kerja (yang hendak diuji) bertahan menghadapi semua usaha menolaknya sebagai keliru (false), teori baru (Popper: ”system of hypotheses”; Shaw & Costanzo: ”a set of interrelated hypothesis”) boleh dianggap sudah diperoleh. Jadi, fungsi hipotesis adalah mengarahkan prosedur penelitian ilmiah, dan membawa ilmuwan ”keluar” dari dirinya sendiri (Kerlinger, 2003: 33). Dua atau lebih variabel yang dijalinkan oleh hipotesis merupakan konstruk-konstruk atau konsep-konsep yang memiliki variasi nilai dan terhubung dengan realitas via pengukuran. ”Konsep” mengungkapkan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus (Kerlinger, 2003: 48), sedangkan ”konstruk” merupakan konsep-konsep yang didefinisikan oleh sebuah jejaring nomologis, yang mengaitkan konstruk-konstruk dan variabel-variabel yang teramati melalui seperangkat relasi-relasi teoritis-sah (Cronbach & Meehl, 1955). Menurut Bunge (1983), konstruk adalah sebuah objek ideal, yang eksistensinya bergantung (predicated) pada mind seseorang; dalam hal ini dikontraskan dengan objek-objek riil, yang eksistensinya tidak bergantung pada mind. Dalam definisi yang lain, konstruk merupakan sebuah properti mental (”Assessing statistically”, 2004). Fungsi konsep adalah sebagai alat identifikasi fenomena yang diobservasinya (Effendi dalam Singarimbun & Effendi, 2006: 95); misalnya, ”konsepprestasi akademis” mengungkapkan sejumlah observasi tentang halhal yang lebih atau kurang ”prestatif”. Sedangkan konstruk berfungsi membantu kita mengerti esensi fenomena yang sedang diteliti (Christensen, Johnson, & Horn, 2008: 288); misalnya, ”konstruk prestasi” menolong kita mengenalikenyataan bahwa prestasi akademis merupakan fungsi dari inteligensi dan motivasi.
Misalnya: ”(1) Ahli fisikia, yang menghadapi soal hubungan antara subjek dan objek, yang bersifat filosofis; (2) Ahli biologi, yang menemui program DNA, … , seakan-akan materi ”dipikirkan” ke arah prestasi yang melampaui kemampuan materi murni; (3) Kasus Hellen Keller, yang menunjukkan bahwa semua usaha untuk merendahkan kesadaran intelektual kepada derajat suatu psikologi empiris atau sensualis saja, sama sekali kalah. (Kasus ini) … tidak dapat dimengerti tanpamelihat dalam inteligensi sebuah dimensi yang memang supra-material.”
Sehubungan dengan ini, Tennant (1968: 364) menyatakan: Science can only know …. the Real through and as the phenomenal. It is precluded from making statements, positive or negative, as to the ontal, and from claiming absoluteknowledge or non phenomenal knowledge of the absolute.
Bab VI
Ciri Utama Ilmu:
Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek [atau alam obyek] yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik adalajh hakikat ilmu. Prinsip-prinsip obyek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam kaitan-kaiatan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip metafisis obyek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicarikan oleh visi ruhani terhadap realitas tetapi oleh berpikir
Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapan
Ciri hakiki lainnya dari ilmu ialah metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan ide yang terpisah-pisah. Sebaliknya, ilmu menuntut pengamatan dan berpikir metodis, tertata rapi. Alat Bantu metodologis yang penting adalah terminology ilmiah. Yang disebut belakangan ini mencoba konsep-konsep ilmu.
Difinisi Ilmu Menurut Para Ahli
Mohammad Hatta, mendifinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kdudukannya tampak dari luar, amupun menurut hubungannya dari dalam
Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak
Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah sederhana
Ashely Montagu, Guru Besar Antropolo di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disususn dalam satu system yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menetukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa ilmu adalah:
Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empirisyaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia
Suatu cara menganlisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”
Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapnnya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
Persamaan Dan Perbedaan Filsafat Dan Ilmu
PERSAMAAN:
Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya
Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya
Keduanya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan
Keduanya mempunyai metode dan sistem
Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia [obyektivitas], akan pengetahuan yang lebih mendasar.

Perbedaan:
Obyek material [lapangan] filsafat itu bersifat universal [umum], yaitu segala sesuatu yang ada [realita] sedangkan obyek material ilmu [pengetahuan ilmiah] itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu
Obyek formal [sudut pandangan] filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifatv teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita
Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya
Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu
Filsafat memberikan penjelasan yang terakhri, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar [primary cause] sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder [secondary cause]


















Bab VII
Kesimpulan

Dari pembahasan tentang pengertian dan ruang lingkup filsafat ilmu, maka dapat kita ambil kesimpilan bahwa filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu. Filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik dan intensif. Filsafat sebagai induk dari segala ilmu membangun kerangka berfikir dengan meletakkan tiga dasar utama, yaitu ontologi, epistimologi dan axiologi. Maka Filsafat Ilmu merupakan bagian dari epistimologi (filsafat ilmu pengetahuan yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah).
Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa : Filsafat pengetahuan (Theori of Knowledge Erkennistlehre, Kennesleer atau Epistimologi) lahir sekitar abad ke-18. Pada saat itu, Immanuel Kant menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara lengkap. Filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia, dan terdiri dari kata Philo yang berarti kesukaan atau kecintaan terhadap sesuatu, dan kata Sophia yang berarti kebijaksanaan.
Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu ( ilm ) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains).
Objek adalah sesuatu yang merupakan bahan (komponen) pembentuk pengetahuan. Dan objek dalam suatu ilmu pengetahuan itu dibedakan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal.
1.      Objek Material Ilmu
Objek Material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu.Dalam filsafat ilmu, objek material adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum.
3.   Objek Formal
Sedangkan Objek Formal adalah sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu disorot. Seperti fisika, kedokteran, agama, sastra, seni, sejarah, dan sebagainya. Sudut pembahasan inilah yang dikenal sebagai objek formal.
Dan uraian tersebut di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa apabila dilihat dan sisi obyeknya, maka filsafat ilmu merupakan cabang dan filsafat yang secara khusus membahas proses keilmuan manusia. Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa obyek substantif dalain filsafat ilmu tersebut di atas pada dasarnya merupakan obyek material, sedangkan obyek instrumentatif adalah obyek formal. Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilai. Pengertian filsafat disederhanakan sebagai proses dan produk, yang mencakup pengertian filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep dan para filsuf pada zaman dahulu, teori, sistem tertentu yang merupakan hasil dan proses berfilsafat dan yang mempunyai ciri-ciri tertentu, dan filsafat sebagai problema yang dihadapi manusia. Filsafat berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dengan belajar filsafat, tidak menyebabkan kita untuk berhenti belajar, karena dalam filsafat tidak akan pernah akan dapat mengatakan selesai belajar.



Bab VIII
Penutup

B.   Saran
1.      Hanya dengan cara dan metode tertentu pengetahuan dapat diperoleh
2.      Ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak berguna bila tidak dibagi atau diberikan kepada orang lain
3.      Ilmu pengetahuan yang ada harus dimanfaatkan
4.      Sebagai pembaca yang budiman saya meminta saran dan kritikkannya agar makalah kami berikutnya dapat bermanfaat




















DAFTAR PUSTAKA
Adib Mohammad, 2011. Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Mufit Fathul, 2008, Filsafat Ilmu Islam, Kudus, STAIN.
Mustansyir Rizal & Misnal Munir, 2003, Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Surajiyo, 2009, Ilmu Filsafat (Suatu pengantar). Jakarta : Bumi Aksara.
Susanto, 2011, Filsafat Ilmu (Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis).Jakarta : Bumi Aksara.
Suriasumantri Jujun S, 2003 Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
 Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 33. Lihat Juga Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori llmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Belukar, 2005)
Musa As’ari, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berfikir, (Yogyakarta: LESFI, 1999)
M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat lAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Mei 2000)
Noeng Muhadjir. Filsafat Ilmu: Positivisme, Pos-Positivisme dan Pos-Modernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin)
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberti, 1991)
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 142-143
Louis Leahy, Horizon Manusia: Dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 17
Alsa, Pendekatan Kuantitatif serta kombinasinya dalam Penelitian Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990), 3
 K. Leksono, Berakhirnya Manusia dalam Kebangkrutan Ilmu-ilmu (Yogyakarta: Basis No. 01-02, Th. 51), 31
Wilardjo dalam Jujun Suriasumantri, op.cit, 237
D. Marzuki, Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu (Jakarta: Grasindo, 2000),5
Jujun Suriasumantri, op.cit, 3
Louis Leahy, Agama dalam Konteks Zaman ini (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997), 32



Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARANA DAN PRASARANA OLAHRAGA DAN PENJAS

SARANA DAN PRASARANA OLAHRAGA DAN PENJAS PENDAHULUAN BAB I …………………...…………………………… A.    PENGERTIAN SARANA DAN PRASARANA   SECARA UMUM…………………………………..…………………………… B.     PENGERTIAN SARANA, PRASARANA DAN FASILITAS………………………………………………………………………. BAB II ………………………………………………………………………………….. A.      SARANA DAN PRASARANA OLAHRAGA….……………………………… B.      SARANA DAN PRASARANA OLAHRAGA DI INDONESIA PADA MASA SEKARANG…..……………………………… C.      MENCIPTAKAN SARANA PRASARANA OLAHRAGA YANG SESUAI DENGAN PERKEMBANGAN JAMAN…………………….……………………………… D.      FUNGSI DAN MANFAAT SARANA DAN PRASARANA OLAHRAGA            ……………………………………………… E.       STANDARISASI MINIMAL FASILITAS OLAHRAGA SEKOLAH MENENGAH ATAS….……………………………... F.       SOLUSI DALAM MENGATASI KET...

MORAL DAN ETIKA DALAM PENJAS DAN OLAHRAGA

AHMAD SYARIF BURHAN JURURASAN PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2013 ETIKA DAN MORAL DALAM PENJAS DAN OLAHRAGA I.                    Pendahuluan              Salah satu masalah penting dalam kehidupan di tanah air ini adalah etika dan moral, pendidikan jasmani dan olahraga sebagai salah satu sarana pendidikan anak memberikan suatu pengayaan dalam etika dan moral di masyarakat.Mengajarkan etika dan nilai moral sebaiknya lebih bersifat contoh.Tindakan lebih baik baik dari kata-kata. Nilai Moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi. Permaslaahan yang dihadapi bangsa ini berada pada ETIKA dan MORAL anak didik. Pendidikan Jasmani dianggap dapat membawa pesan etika dan moral ini sebagai pengayaan karena dari ...

PERANAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DALAM PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHARAGA

KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan rahmatnya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah “ Peranan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Dalam Pendidikan Jasmani Dan Olahraga ” ini sesuai dengan tuntutan waktu serta harapan penulis. Tak lupa pula kami kirimkan shalawat dan taslim atas junjungan nabiullah Muhammad SAW yang telah membimbing ummatnya dari zaman kebodohan menuju zaman perubahan lebih baik dari sebelumnya. Makalah ini dibuat atas tuntutan penulis sebagai mahasiswa disertai dengan harapan untuk menjadi seseorang yang dapat menghasilkan tulisan yang bermanfaat bagi masyarakat luas utamanya bagi dunia pendidikan terutama dijurusan pendidikan jasmani dan olahraga. Respon dan saran sangat saya harapkan sebagai penulis untuk dijadikan sebagai masukan dalam perbaikan untuk mencapai kesempurnaan makalah selanjutnya atas kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, sebagaimana kami juga   merupakan manusia y...