Pengantar
Filsafat
dan ilmu pada dasarnya adalah dua kata yang saling terkait, baik secara
substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan
filsafat. Filsafat telah merubah pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia
dari pandangan mitosentris () menjadi logosentris (). Perubahan pola pikir
tersebut membawa perubahan yang cukup besar dengan ditemukannya hukum-hukum
alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan bagaimana perubahan-perubahan itu
terjadi. Dari sinilah lahir ilmu-ilmu pengetahuan yang selanjutnya berkembang
menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus
semakin aplikatif dan terasa manfaatnya.
Filsafat
sebagai induk dari segala ilmu membangun kerangka berfikir dengan meletakkan
tiga dasar utama, yaitu ontologi, epistimologi dan axiologi. Maka Filsafat
Ilmu menurut Jujun Suriasumantri merupakan bagian dari epistimologi
(filsafat ilmu pengetahuan yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu
(pengetahuan ilmiah) Dalam pokok bahasan ini akan diuraikan
pengertian filsafat ilmu, obyek kajian serta latar belakang lahirnya yang
menjadi cakupannya.
Terdapat
cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada
pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab
oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan
pengetahuan, dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam
ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini
adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan
bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita
mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk
diri sendiri, ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu
sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu
atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu
sosial dan atau ilmu perilaku.
Dalam setiap aspek kehidupan, kita
tidak akan terlepas dari apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan dan
pendidikan serta teknologi. Proses pendidikan menuntut seseorang untuk memahami
setiap bidang kajian ilmu dengan lebih luas dan mendalam. Proses pembelajaran
atau pendidikan ini akan menuntun seseorang untuk latihan berfikir ilmiah,
logis dan kritis. Sehingga dibutuhkan ilmu filsafat untuk mendukung seseorang
untuk memahami ilmu pengetahuan secara lebih mendalam. Tanpa saudara kandungnya Pengetahuan, Akal (Instrumen berfikir
Manusia) bagaikan si miskin yang tak berumah, sedangkan Pengetahuan tanpa akal
seperti rumah yang tak terjaga. Bahkan, Cinta, Keadilan, dan Kebaikan akan
terbatas kegunaannya jika akal tak hadir (Kahlil Gibran). Pengetahuan
merupakan suatu kekayaan dan kesempurnaan. ..Seseorang yang tahu lebih banyak
adalah lebih baik kalau dibanding dengan yang tidak tahu apa-apa (Louis Leahy). Mengetahui merupakan kegiatan yang menjadikan subjek berkomunikasi
Secara dinamik dengan eksistensi dan kodrat dari “ada” benda-benda (Sartre)
Pikiran
manusia pada hakikatnya selalu mencari dan berusaha untuk memperoleh kebenaran.
Karena itu pikiran merupakan suatu proses. Dalam proses tersebut haruslah
diperhatikan kebenaran bentuk dapat berpikir logis. Kebenaran ini hanya
menyatakan serta mengandaikan adanya jalan, cara, teknik, serta hukum-hukum
yang perlu diikuti. Semua hal ini diselidiki serta dirumuskan dalam logika. Secara
singkat logika dapat dikataka sebagai ilmu pengetahuan dan kemampuian untuk
berpikir lurus. Ilmu pengetahuan sendiri adalah kumpulan pengetahuan tentang
pokok tertentu. Kumpulan ini merupakan suatu kesatuan yang sistematis serta
memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Penjelasan ini terjadi
dengan menunjukkan sebab musababnya. Logika juga termasuk dalam ilmu pengetahuan
yang dijelaskan diatas. Kajian ilmu logika adalah azas-azas yang menentukan
pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Agar dapat berpikir seperti itu, logika
menyelidiki, merumuskan, serta menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati. Hal
ini menunjukkan bahwa logika bukanlah sebatas teori, tapi juga merupakan suatu
keterampilan untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam praktek. Ini sebabnya
logika disebut filsafat yang praktis. Objek material logika adalah berfikir.Yang
dimaksud berfikir disini adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan
berfkir, manusia mengolah dan mengerjakan pengetahuan yang telah diperolehnya.
Dengan mengolah dan mengerjakannya ia dapat memperoleh kebenaran. Pengolahan dan
pegearjaan ini terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan,
serta menghubungkan pengertian satu dengan pengertian lainnya. Tetapi bukan
sembarangan berfikir yang diselidiki dalam logika. Dalam logika berfikir
dipandang dari sudut kelurusan dan ketepatannya. Karena berfikir lurus dan tepat
merupakan objek formal logika. Suatu pemikiran disebut lurus dan tepat, apabila
pemikirn itu sesuai dengan hukum-hukum serta aturan-aturan yang sudah
ditetapkan dalam logika. Dengan demikian kebenaran juga dapat diperoleh dengan
lebih mudah dan aman. Semua ini menunjukkan bahwa logika merupakan suatu
pegangan atau pedoman untuk pemikiran. Maka dari ini penulis Dalam makalah ini
akan dibahas beberapa hal yang dianggap penting
dalam mempelajri filsafat Ilmu.
Pembahasanan
Bab
I
Berpikir
dan Pengetahuan
A. Makna Berpikir
Semua karakteristik manusia yang menggambargakan ketinggian
dan keagungan pada dasarnya merupakan akibat dari anugrah akal yang
dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun
memberikan tugas kekhalifahan (yang terbingkai dalam perintah dan larangan) di
muka bumi pada manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir,
berpengetahuan, serta membuat keputusan untuk melakukan dan atau tidak
melakukan yang tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu dimintai
pertanggungjawaban. Sutan Takdir Alisjahbana. Menyatakan bahwa pikiran
memberi manusia pengetahuan yang dapat dipakainya sebagai pedoman dalam
perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang menjadi pendorong perbuatan mereka.
Oleh karena itu berfikir merupakan atribut penting yang menjadikan manusia
sebagai manusia, berfikir adalah fondasi dan kemauan adalah pendorongnya.
Kalau berfikir (penggunaan kekuatan akal) merupakan salah
satu ciri penting yang membedakan manusia dengan hewan, sekarang apa yang
dimaksud berfikir, apakah setiap penggunaan akal dapat dikategorikan berfikir,
ataukah penggunaan akal dengan cara tertentu saja yang disebut berfikir. Para
akhli telah mencoba mendefinisikan makna berfikir dengan rumusannya
sendiri-sendiri, namun yang jelas tanpa akal nampaknya kegiatan berfikir tidak
mungkin dapat dilakukan, demikian juga pemilikan akal secara fisikal tidak
serta merta mengindikasikan kegiata berfikir. Menurut J.M. Bochenski berfikir
adalah perkembangan ide dan konsep, definisi ini nampak sangat sederhana namun
substansinya cukup mendalam, berfikir bukanlah kegiatan fisik namun merupakan
kegiatan mental, bila seseorang secara mental sedang mengikatkan diri
dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang
tersebut bisa dikatakan sedang berfikir. Jika demikian berarti bahwa berfikir
merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Upaya mengikatkan diri dengan
sesuatu merupakan upaya untuk menjadikan sesuatu itu ada dalam diri (gambaran
mental) seseorang, dan jika itu terjadi tahulah dia, ini berarti bahwa dengan
berfikir manusia akan mampu memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu
manusia menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka
bumi serta mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Sementara
itu Partap Sing Mehra memberikan definisi berfikir (pemikiran)
yaitu mencari sesuatu yang belum diketahui berdasarkan sesuatu yang sudah
diketahui. Definisi ini mengindikasikan bahwa suatu kegiatan berfikir baru
mungkin terjadi jika akal/pikiran seseorang telah mengetahui sesuatu, kemudian
sesuatu itu dipergunakan untuk mengetahui sesuatu yang lain, sesuatu yang
diketahui itu bisa merupakan data, konsep atau sebuah idea, dan hal ini
kemudian berkembang atau dikembangkan sehingga diperoleh suatu yang kemudian
diketahui atau bisa juga disebut kesimpulan. Dengan demikian kedua definisi
yang dikemukakan akhli tersebut pada dasarnya bersifat saling melengkapi.
Berfikir merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan
tersebut proses berfikir dapat terus berlanjut guna memperoleh pengetahuan yang
baru, dan proses itu tidak berhenti selama upaya pencarian pengetahuan terus
dilakukan. Menurut Jujus
S Suriasumantri Berfikir merupakan suatu proses yang membuahkan
pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti
jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang
berupa pengetahuan. Dengan demikian berfikir mempunyai gradasi yang berbeda
dari berfikir sederhana sampai berfikir yang sulit, dari berfikir hanya untuk
mengikatkan subjek dan objek sampai dengan berfikir yang menuntut kesimpulan
berdasarkan ikatan tersebut. Sementara itu Partap Sing Mehra menyatakan
bahwa proses berfikir mencakup hal-hal sebagai berikut yaitu :
o Conception (pembentukan gagasan)
o Judgement (menentukan sesuatu)
o Reasoning (Pertimbangan
pemikiran/penalaran)
bila
seseorang mengatakan bahwa dia sedang berfikir tentang sesuatu, ini mungkin
berarti bahwa dia sedang membentuk gagasan umum tentang sesuatu, atau sedang
menentukan sesuatu, atau sedang mempertimbangkan (mencari argumentasi)
berkaitan dengan sesuatu tersebut. Cakupan
proses berfikir sebagaimana disebutkan di atas menggambarkan bentuk substansi
pencapaian kesimpulan, dalam setiap cakupan terbentang suatu proses (urutan)
berfikir tertentu sesuai dengan substansinya. MenurutJohn Dewey proses
berfikir mempuyai urutan-urutan (proses) sebagai berikut :
o Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk
adaptasi terhadap alat, sulit mengenai sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal
yang muncul secara tiba-tiba.
o Kemudian rasa sulit tersebut diberi
definisi dalam bentuk permasalahan.
o Timbul suatu kemungkinan pemecahan
yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori.
o Ide-ide pemecahan diuraikan secara
rasional melalui pembentukan implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti
(data).
o Menguatkan pembuktian tentang
ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui keterangan-keterangan ataupun
percobaan-percobaan.
Sementara itu Kelly mengemukakan bahwa
proses berfikir mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
o Timbul rasa sulit
o Rasa sulit tersebut didefinisikan
o Mencari suatu pemecahan sementara
o Menambah keterangan terhadap
pemecahan tadi yang menuju kepada kepercayaan bahwa pemecahan tersebut adalah
benar.
o Melakukan pemecahan lebih lanjut
dengan verifikasi eksperimental
o Mengadakan penelitian terhadap
penemuan-penemuan eksperimental menuju pemecahan secara mental untuk diterima
atau ditolak sehingga kembali menimbulkan rasa sulit.
o Memberikan suatu pandangan ke depan
atau gambaran mental tentang situasi yang akan datang untuk dapat
menggunakan pemecahan tersebut secara tepat.
Urutan langkah (proses) berfikir seperti tersebut di atas
lebih menggambarkan suatu cara berfikir ilmiah, yang pada dasarnya
merupakan gradasi tertentu disamping berfikir biasa yang
sederhana serta berfikir radikal filosofis, namun urutan tersebut
dapat membantu bagaimana seseorang berfikir dengan cara yang benar, baik untuk
hal-hal yang sederhana dan konkrit maupun hal-hal yang rumit dan abstrak, dan
semua ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang berfikir
tersebut.
B. Makna
Pengetahuan
Berfikir mensyaratkan adanya pengetahuan (Knowledge)
atau sesuatu yang diketahui agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat
berproses dengan benar, sekarang apa yang dimaksud dengan pengetahuan ?,
menurutLangeveld pengetahuan ialah kesatuan subjek yang mengetahui
dan objek yang diketahui, di tempat lain dia mengemukakan bahwa pengetahuan
merupakan kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui, suatu
kesatuan dalam mana objek itu dipandang oleh subjek sebagai dikenalinya. Dengan
demikian pengetahuan selalu berkaitan dengan objek yang diketahui, sedangkanFeibleman menyebutnya
hubungan subjek dan objek (Knowledge : relation between object and subject).
Subjek adalah individu yang punya kemampuan mengetahui (berakal) dan objek
adalah benda-benda atau hal-hal yang ingin diketahui. Individu (manusia)
merupakan suatu realitas dan benda-benda merupakan realitas yang lain, hubungan
keduanya merupakan proses untuk mengetahui dan bila bersatu jadilah pengetahuan
bagi manusia. Di sini terlihat bahwa subjek mesti berpartisipasi aktif dalam
proses penyatuan sedang objek pun harus berpartisipasi dalam keadaannya, subjek
merupakan suatu realitas demikian juga objek, ke dua realitas ini berproses
dalam suatu interaksi partisipatif, tanpa semua ini mustahil pengetahuan
terjadi, hal ini sejalan dengan pendapat Max Scheler yang
menyatakan bahwa pengetahuan sebagai partisipasi oleh suatu realita dalam suatu
realita yang lain, tetapi tanpa modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain
itu. Sebaliknya subjek yang mengetahui itu dipengaruhi oleh objek yang
diketahuinya.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui
tentang objek tertentu, termasuk ke dalamnya ilmu (Jujun S Suriasumantri,),
Pengetahuan tentang objek selalu melibatkan dua unsur yakni unsur representasi
tetap dan tak terlukiskan serta unsur penapsiran konsep yang menunjukan respon
pemikiran. Unsur konsep disebut unsur formal sedang unsur tetap adalah unsur
material atau isi (Maurice Mandelbaum). Interaksi antara objek dengan
subjek yang menafsirkan, menjadikan pemahaman subjek (manusia) atas objek
menjadi jelas, terarah dan sistimatis sehingga dapat membantu memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi. Pengetahuan tumbuh sejalan dengan
bertambahnya pengalaman, untuk itu diperlukan informasi yang bermakna guna
menggali pemikiran untuk menghadapi realitas dunia dimana seorang itu hidup (Harold
H Titus).
C. Berpikir Dan Pengetahuan
Berfikir dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia,
tanpa pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan
lebih lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir
dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal. Gerak sirkuler antara berfikir dan
pengetahuan akan terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat
akumulatit, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit
aktivitas berfikir, demikian juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya
akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit,
namun semakin memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya
dalam suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu),
disamping itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan
mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang
diketahuinya secara radikal dan mendalam, maka lahirlah pengetahuan filsafat,
oleh karena itu berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat
dibagi ke dalam :
o Berfikir biasa dan sederhana
menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial)
o Berfikir sistematis faktual tentang
objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu)
o Berfikir radikal tentang hakekat
sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat)
Semua jenis berfikir dan pengetahuan tersebut di atas
mempunyai poisisi dan manfaatnya masing-masing, perbedaan hanyalah bersifat
gradual, sebab semuanya tetap merupakan sifat yang inheren dengan manusia.
Sifat inheren berfikir dan berpengetahuan pada manusia telah menjadi pendorong
bagi upaya-upaya untuk lebih memahami kaidah-kaidah berfikir benar (logika),
dan semua ini makin memerlukan keakhlian, sehingga makin rumit tingkatan
berfikir dan pengetahuan makin sedikit yang mempunyai kemampuan tersebut, namun
serendah apapun gradasi berpikir dan berpengetahuan yang dimiliki
seseorang tetap saja mereka bisa menggunakan akalnya untuk berfikir untuk
memperoleh pengetahuan, terutama dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan,
sehingga manusia dapat mempertahankan hidupnya (pengetahuan macam ini disebut
pengetahuan eksistensial). Berpengetahuan merupakan syarat
mutlak bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk itu dalam diri
manusia telah terdapat akal yang dapat dipergunakan berfikir untuk lebih
mendalami dan memperluas pengetahuan. Paling tidak terdapat dua alasan mengapa
manusia memerlukan pengetahuan/ilmu yaitu:
1.
manusia
tidak bisa hidup dalam alam yang belum terolah, sementara binatang siap hidup
di alam asli dengan berbagai kemampuan bawaannya.
2.
manusia
merupakan makhluk yang selalu bertanya baik implisit maupun eksplisit dan
kemampuan berfikir serta pengetahuan merupakan sarana untuk menjawabnya.
3.
Dengan
demikian berfikir dan pengetahuan bagi manusia merupakan instrumen penting
untuk mengatasi berbagai persoalah yang dihadapi dalam hidupnya di dunia, tanpa
itu mungkin yang akan terlihat hanya kemusnahan manusia (meski kenyataan
menunjukan bahwa dengan berfikir dan pengetahuan manusia lebih mampu membuat
kerusakan dan memusnahkan diri sendiri lebih cepat)
Bab II
Defenisi
Filsafat Ilmu, Ojek Kajian, Dan Latar Belakang Kelahirannya
Filsafat
berasal dari bahasa Yunani Philosophia, dan terdiri dari
kata Philos yang berarti kesukaan atau kecintaan terhadap sesuatu,
dan kata Sophia yang berarti kebijaksanaan. Secara harafiah, filsafat
diartikan sebagai suatu kecintaan terhadap kebijaksanaan (kecenderungan untuk
menyenangi kebijaksanaan), hikmah atau pengetahuan yang
mendalam. Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu ( ilm ) berasal dari
kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah
tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire.Namun
ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains).
Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme - positiviesme sedangkan ilmu
melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisik. Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas
dari filsafat. Tugas filsafat ilmu adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan
tentang sesuatu sebagaimana adanya”.
Filsafat
ilmu secara umum dapat difahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan
sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan. Sebagai
sebuah disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu
filsafat yang membicarakan obyek khusus, yaitu ilmu pengetahuan yang memiliki sifat
dan kharakteristik tertentu hampir sama dengan filsafat pada umumnya. Sementara
itu, filsafat ilmu sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan, ia
merupakan kerangka dasar dari proses keilmuan itu sendiri.
Tentang filsafat
ilmu itu sendiri merupakan satu cabang filsafat yang khusus membicarakan
tentang ilmu, dan sebagai berikut kami paparkan beberapa definisi dari Filsafat
Ilmu Menurut para ahli:
1. Robert
Ackerman
Filsafat
ilmu adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini
dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari
pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu
kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
2. Lewis
White Beck
Filsafat
ilmu adalah ilmu yang membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah
serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
3.Michael
V. Berry
Filsafat
Ilmu adalah penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan
hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.
4.May
Brodbeck
Filsafat
Ilmu adalah analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan
penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
B.
Objek
Kajian Filsafat Ilmu
Objek kajian adalah sasaran yang
menjadi fokus bahasan dalam sebuah kajian. Filsafat Ilmu terbagi menjadi dua
bagian, yaitu objek material dan objek
formal:
1. Objek
Material Ilmu
Objek
Material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan
pengetahuan itu. Dalam filsafat ilmu, objek material adalah ilmu
pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis
dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara umum.
Objek
ini merupakan hal yang diselidiki (sasaran penyelidikan), dipandang, disorot
atau dipermasalahkan oleh suatu disiplin ilmu. Objek ini mencakup hal-hal yang
bersifat konkret (seperti makhluk hidup, benda mati) maupun abstrak (seperti
nilai-nilai, keyakinan). ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada
dalam kemungkinan, selain itu, objek material ini bersifat Jelas, tidak banyak
mengalami ketimpangan. Dengan kata lain, objek material ini merupakan suatu
kajian penelaahan atau pembentukan pengetahuan itu, yaitu segala sesuatu yang
ada dan yang mungkin ada, baik bersifat konkret maupun abstrak (tidak tampak). Menurut
Drs. H. A. Dardiri bahwa objek material adalah segala sesuatu yang ada, baik
yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan.
Segala sesuatu yang ada itu di bagi dua, yaitu :
a) Ada
yang bersifat umum (ontologi), yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada
pada umumnya.
b) Ada
yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu ada secara mutlak (theodicae) dan
tidak mutlak yang terdiri dari manusia (antropologi metafisik) dan alam
(kosmologi).
Contoh
: Objek materialnya adalah manusia dan manusia ini di tinjau dari sudut
pandangan yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia
di antaranya psikologi, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya.
2. Objek
Formal
Sedangkan
Objek Formal adalah sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian
atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu disorot. Seperti
fisika, kedokteran, agama, sastra, seni, sejarah, dan sebagainya. Sudut
pembahasan inilah yang dikenal sebagai objek formal. Objek formal filsafat ilmu
adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh
perhatian terhadap problem-problem ilmu pengetahuan, seperti: apa hakikat ilmu,
apa fungsi ilmu pengetahuan, dan bagaimana memperoleh kebenaran
ilmiah. Problem inilah yang di bicarakan dalam
landasan pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan ontologis,
epistemologis dan aksiologis. Dengan kata lain, objek formal merupakan sudut
pandang atau cara memandang terhadap objek material (termasuk prinsip-prinsip
yang digunakan). Sehingga tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, namun juga
membedakannya dari bidang-bidang lain. Objek formal ini bersifat menyeluruh
(umum) sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materialnya. Obyek material
suatu ilmu dapat saja sama, indentik. Tetapi obyek formal ilmu tidak sama.
Sebab subyek formal ialah sudut pandang, tujuan penyelidikan. Sebagai contohnya
dapat dilihat pada tabel berikut ini Dengan demikian pada dasarnya, untuk
mengenal esensi suatu ilmu, bukanlah pada obyek materialnya, melainkan pada
obyek formalnya.
Pegertian dan ruang lingkup
filsafat ilmu
Istilah filsafat bisa ditinjau dari dua segi, semantik dan
praktis. Dari segi semantik perkataan filsafat berasal dari bahasa Yunani,
philosophia yang berarti philos = cinta, suka (loving) dan Sophia =
pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi philosopia berarti cinta kepada kebijaksanaan
atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafah akan
menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut philosopher
dalam bahasa Arab disebut failasuf. Dari segi praktis filsafat berarti alam
pikiran atau alam berfikir. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua
berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat maknanya berpikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh.
Rene Descartes, seorang pelopor filsafat modern dan pelopor
pembaharuan pada abad ke 17 terkenal dengan ucapannya, “Cogito ergo Sum” yang
bararti karena berpikir, maka saya ada sebagai landasan filsafatnya.
Berfilsafat berarti berpangkal kepada suatu kebenaran yang fundamental atau
pengalaman yang asasi.
Menurut
Prof. dr. N. Driyarkara S. J. Filasafat adalah pikiran manusia yang radikal,
dengan mengesampingkan pendapat-pendapat dan pendirian-pendirian yang diterima
saja dengan mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain
pandangan dan sikap praktis. Pandangan kepada sebab-sebab yang terakhir atau
sebab pertama (filsafat causes), dan tidak diarahkan kepada sebab yang terdekat
(secondary causes), sepanjang kemungkinan yang ada pada budi nurani manusia
sesuai kemampuannya.
Alfred
Narth Whichead mendefinisikan filsafat adalah keinsyafan dan pandangan jauh
kedepan dan suatu kesadaran akan hidup. Pendeknya, kesadaran akan kepentingan
yang memberikan semangat kepada seluruh usaha peradaban manusia.
Beberapa
pendapat para ahli mengenai filsafat yaitu :
1.
Plato
salah seorang murid Socrates yang hidup antara 427 – 347 Sebelum Masehi
mengartikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala yang ada, serta
pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
1.
Aristoteles
(382 – 322 S.M) murid Plato, mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan
yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Dia juga berpendapat
bahwa filsafat itu menyelidiki sebab dan asas segala benda.
2.
Cicero
(106 – 43 S.M). filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan
usaha-usaha mencapai hal tersebut.
3.
Al
Farabi (870 – 950 M). seorang Filsuf Muslim mendefinidikan Filsafat sebagai
ilmu pengetahuan tentang alam maujud, bagaimana hakikatnya yang sebenarnya.
4.
Immanuel
Kant (1724 – 1804). Mendefinisikan Filsafat sebagai ilmu pokok dan pangkal
segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan yaitu :
1.
Metafisika
(apa yang dapat kita ketahui).
2.
Etika
(apa yang boleh kita kerjakan).
3.
Agama
( sampai dimanakah pengharapan kita)
4.
Antropologi
(apakah yang dinamakan manusia).
5.
H.C
Webb dalam bukunya History of Philosophy menyatakan bahwa filsafat mengandung
pengertian penyelidikan. Tidak hanya penyelidikan hal-hal yang khusus dan
tertentu saja, bahkan lebih-lebih mengenai sifat – hakekat baik dari dunia
kita, maupun dari cara hidup yang seharusnya kita selenggarakan di dunia ini.
6.
Harold
H. Titus dalam bukunya Living Issues in Philosophy mengemukakan beberapa
pengertian filsafat yaitu :
1.
Philosophy
is an attitude toward life and universe (Filsafat adalah sikap terhadap
kehidupan dan alam semesta).
2.
Philosophy
is a method of reflective thinking and reasoned inquiry (Filsafat adalah suatu
metode berfikir reflektif dan pengkajian secara rasional)
3.
Philosophy
is a group of problems (Filsafat adalah sekelompok masalah)
4.
Philosophy
is a group of systems of thought (Filsafat adalah serangkaian sistem berfikir)
Definisi Ilmu
Dalam Ensiklopedia Indonesia, Ilmu didefinisikan sebagai
berikut : ilmu Pengetahuan adalah suatu system dari pelbagai pengetahuan yang
masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun
sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu
system dari pelbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai
hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan dan memberikan pemjelasan yang
sistematis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab
hal/kejadian itu.
Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran
mendefinikan ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan suatu
pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia
yang terikat oleh faktor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati
panca indera manusia. Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar
dari ‘alima – ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui, sementara itu secara
istilah ilmu diartikan sebagai Idroku syai bi haqiqotih(mengetahui sesuatu
secara hakiki). Dalam bahasa Inggeris Ilmu biasanya dipadankan
dengan kata science, sedang pengetahuan dengan
knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science(berasal dari bahasa lati dari
kata Scio, Scire yang berarti tahu) umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga
diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada
makna yang sama.
sementara
itu The Liang Gie menyatakan dilihat dari ruang lingkupnya pengertian ilmu
adalah sebagai berikut :
·
Ilmu
merupakan sebuah istilah umum untuk menyebutkan segenap pengetahuan ilmiah yang
dipandang sebagai suatu kebulatan. Jadi ilmu mengacu pada ilmu seumumnya.
·
Ilmu
menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari pokok
soal tertentu, ilmu berarti cabang ilmu khusus
Harsoyo
mendefinisikan ilmu dengan melihat pada sudut proses historis dan pendekatannya
yaitu :
·
Ilmu
merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematiskan atau kesatuan pengetahuan
yang terorganisasikan
·
Ilmu
dapat pula dilihat sebagai suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan
terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan
waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera
manusia.
Lebih
jauh dengan memperhatikan pengertian-pengertian Ilmu sebagaimana
diungkapkan di atas, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan
pengertian ilmu yaitu :
·
Ilmu
adalah sejenis pengetahuan
·
Tersusun
atau disusun secara sistematis
·
Sistimatisasi
dilakukan dengan menggunakan metode tertentu
·
Pemerolehannya
dilakukan dengan cara studi, observasi, eksperimen.
Dengan
demikian sesuatu yang bersifat pengetahuan biasa dapat menjadi suatu
pengetahuan ilmiah bila telah disusun secara sistematis serta mempunyai metode
berfikir yang jelas, karena pada dasarnya ilmu yang berkembang dewasa ini
merupakan akumulasi dari pengalaman/pengetahuan manusia yang terus difikirkan,
disistimatisasikan, serta diorganisir sehingga terbentuk menjadi suatu disiplin
yang mempunyai kekhasan dalam objeknya.
Definisi Filsafat Ilmu
Dari penjelasan tentang definisi dari filsafat dan definisi
dari Ilmu maka para ahli telah banyak mengemukakan definisi/pengertian filsafat
ilmu dengan sudut pandangnya masing-masing, dan setiap sudut pandang tersebut
amat penting guna pemahaman yang komprehensif tentang makna filsafat ilmu,
berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi filsafat ilmu
Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa filsafat ilmu
merupakan bagian dari epistemology yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu.
Dalam bentuk pertanyaan, pada dasar filsafat ilmu merupakan telahaan berkaitan
dengan objek apa yang ditelaah oleh ilmu (ontologi), bagaimana proses pemerolehan
ilmu (epistemologi), dan bagaimana manfaat ilmu (axiologi), oleh karena itu
lingkup induk telaahan filsafat ilmu adalah :
Ontologi berkaitan tentang apa obyek
yang ditelaah ilmu, dalam kajian ini mencakup masalah realitas dan penampakan (reality
and appearance), serta bagaimana hubungan ke dua hal tersebut dengan
subjek/manusia.
Epistemologi berkaitan dengan
bagaimana proses diperolehnya ilmu, bagaimana prosedurnya untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah yang benar.
Axiologi
berkaitan dengan apa manfaat ilmu, bagaimana hubungan etika dengan ilmu, serta
bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan. Peter Caw memberikan makna
filsafat ilmu sebagai bagian dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu dalam
kontek keseluruhan pengalaman manusia. Steven R. Toulmin memaknai filsafat ilmu
sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan prosedur penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan anggapan-anggapan
metafisik guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut pandang logika
formal, dan metodologi praktis serta metafisika.
Sementara itu White Beck lebih melihat filsafat ilmu sebagai
kajian dan evaluasi terhadap metode ilmiah untuk dapat difahami makna ilmu itu
sendiri secara keseluruhan, Masalah kajian atas metode ilmiah juga dikemukakan
oleh Michael V. Berry setelah mengungkapkan dua kajian lainnya yaitu logika
teori ilmiah serta hubungan antara teori dan eksperimen. Demikian juga
halnya Benyamin yang memasukan masalah metodologi dalam kajian filsafat ilmu
disamping posisi ilmu itu sendiri dalam konstelasi umum disiplin intelektual
(keilmuan).
Menurut The Liang Gie, filsafat
ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala
segi kehidupan manusia. Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas, hal
yang penting untuk difahami adalah bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah
kefilsafatan terhadap hal-hal yang berkaitan/menyangkut ilmu, dan bukan kajian
di dalam struktur ilmu itu sendiri.
Terdapat
beberapa istilah dalam pustaka yang dipadankan dengan Filsafat ilmu seperti :
Theory of science, meta science, methodology, dan science of science,
semua istilah tersebut nampaknya menunjukan perbedaan dalam titik tekan
pembahasan, namun semua itu pada dasarnya tercakup dalam kajian filsafat ilmu .
Sementara itu Gahral Adian mendefinisikan filsafat ilmu
sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu) dari segi
ciri-ciri dan cara pemerolehannya. Filsafat ilmu selalu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mendasar/radikal terhadap ilmu seperti tentang apa
ciri-ciri spesifik yang menyebabkan sesuatu disebut ilmu, serta apa bedanya
ilmu dengan pengetahuan biasa, dan bagaimana cara pemerolehan ilmu, pertanyaan
– pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk membongkar serta mengkaji asumsi-asumsi
ilmu yang biasanya diterima begitu saja (taken for granted), Dengan demikian
filsafat ilmu merupakan jawaban filsafat atas pertanyaan ilmu atau filsafat
ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaahan secara mendalam hal-hal yang
berkaitan dengan ilmu.
Dari
beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan tentang apa itu filsafat
ilmu. Filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu,
sehingga filsafat ilmu perlu menjawab beberapa persoalan seperti landasan
ontologis, epistimologis dan aksiologis. Filsafat ilmu adalah proses berpikir
secara mendalam dan sungguh-sungguh mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
proses pendidikan dan bidang keilmuan tertentu. Filsafat ilmu merupakan
perenungan yang mempelajari ilmu secara lebih mendalam, mengenai sebab akibat
dan sebagainya.
B.
Objek
Kajian Filsafat Ilmu
Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki
dua macam objek , yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah
sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek
material ilmu kedokteran. Filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis dan
adil juga memiliki objek material dan objek formal.
Objek
material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup ada yang
tampak dan ada yang tidak tampak. Objek material filsafat atas tiga bagian,
yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam
kemungkinan adapun, objek formal, dan rasional adalah sudut pandang yang
menyeluruh, radikal dan rasional tentang segala yang ada. Setelah berjalan
beberapa lama kajian yang terkait dengan hal yang empiris semakain bercabang
dan berkembang, sehingga menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang
peraktis. Dalam perspektif ini dapat diuraikan bahwa filsafat ilmu pada
prinsipnya memiliki dua obyek substantif dan dua obyek instrumentatif, yaitu:
1. Obyek Subtantif, yang terdiri dari dua hal,yaitu :
1. Obyek Subtantif, yang terdiri dari dua hal,yaitu :
a. Fakta (Kenyataan)
Data empirik sensual tersebut harus obyektif tidak boleh
masuk subyektifitas peneliti. Fakta itu yang faktual ada phenomenology. Fakta
bukan sekedar data empirik sensual, tetapi data yang sudah dimaknai atau
diinterpretasikan, sehingga ada subyektifitas peneliti. Tetapi subyektifitas di
sini tidak berarti sesuai selera peneliti, subyektif disini dalam arti tetap
selektif sejak dari pengumpulan data, analisis sampai pada kesimpulan.. Data
selektifnya mungkin berupa ide , moral dan lain-lain. Orang mengamati terkait
langsung dengan perhatiannya dan juga terkait pada konsep-konsep yang dimiliki.
Kenyataan itu terkonstruk dalam moral realism, sesuatu itu sebagai nyata
apabila ada korespondensi dan koherensi antara empiri dengan skema rasional.
b.
KebenaranYang empirik faktual koheren dengan kebenaran transenden berupa wahyu.
Pragamatisme, mengakui kebenaran apabila faktual berfungsi.
Rumusan
substantif tentang kebenaran ada beberapa teori, menurut Michael Williams ada
lima teori yang relevan tentang kebenaran, yaitu:
Ø
Kebenaran Preposisi, yaitu teori kebenaran yang didasarkan pada kebenaran
proposisinya baik proposisi formal maupun proposisi materialnya.
Ø
Kebenaran Korespondensi, teori kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada
adanya korespondensi antara pernyataan dengan kenyataan (fakta yang satu dengan
fakta yang lain). Selanjutnya teori ini kemudian berkembang menjadi teori
Kebenaran Struktural Paradigmatik, yaitu teori kebenaran yang mendasarkan suatu
kebenaran pada upaya mengkonstruk beragam konsep dalam tatanan struktur teori
(struktur ilmu/structure of science) tertentu yang kokoh untuk menyederhanakan
yang kompleks atau sering
Ø
Kebenaran Koherensi atau Konsistensi, yaitu teori kebenaran yang medasarkan
suatu kebenaran pada adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan
lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui kebenarannya.
Ø Kebenaran Performatif, yaitu teori kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu dianggap benar apabila dapat diaktualisasikan dalam tindakan.
Ø Kebenaran Performatif, yaitu teori kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu dianggap benar apabila dapat diaktualisasikan dalam tindakan.
Ø
Kebenaran Pragmatik, yaitu teori kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu
benar apabila mempunyai kegunaan praktis. Dengan kata lain sesuatu itu dianggap
benar apabila mendatangkan manfaat dan salah apabila tidak mendatangkan
manfaat.
1.
Obyek
Instrumentatif, yang
terdiri dari dua hal yaitu:
a. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah untuk
menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang atau memberikan
pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut
dengan menggunakan landasan: asumsi, postulat atau axioma yang sudah dipastikan
benar. Pemaknaan juga dapat ditampilkan sebagai konfirmi probabilistik dengan
menggunakan metode induktif, deduktif, reflektif. Dalam ontologi dikenal
pembuktian a priori dan a posteriori.
b. Logika Inferensi
Studi logika adalah studi tentang
tipe-tipe tata pikir. Pada mulanya logika dibangun oleh Aristoteles (384-322
SM) dengan mengetengahkan tiga prinsip atau hukum pemikiran, yaitu : Principium
Identitatis (Qanun Dzatiyah), Principium Countradictionis (Qanun Ghairiyah), dan
Principium Exclutii Tertii (Qanun Imtina’).
Logika
ini sering juga disebut dengan logika Inferensi karena kontribusi utama logika
Aristoteles tersebut adalah untuk membuat dan menguji inferensi. Dalam
perkembangan selanjutnya Logika Aristoteles juga sering disebut dengan logika
tradisional. Dalam hubungan ini Harold H. Titus menerapkan ilmu pengetahuan
mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi aktual dan deskriptif yang sangat
perlu dalam pembinaan suatu filsafat. Banyak ilmuan yang juga filsuf. Para
filosof terlatih dalam metode ilmiah dan sering pula menuntut minat khusus
dalam beberapa disiplin ilmu.
Beberapa
pendapat ahli tentang objek kajian filsafat ilmu :
1.
Edward
Madden menyatakan bahwa lingkup atau bidang kajian filsafat ilmu adalah:
a.
Probabilitas
b.
Induksi
c.
Hipotesis
2. Ernest Nagel menyatakan bahwa
lingkup atau bidang kajian filsafat ilmu adalah:
a. Logical pattern exhibited by
explanation in the sciences
b. Construction of scientific concepts
c. Validation of scientific conclusions
3. cheffer menyatakan bahwa lingkup
atau bidang kajian filsafat ilmu adalah:
a.
The
role of science in society
b.
The
world pictured by science
c.
The
foundations of science
Objek kajian filsafat ilmu sebagaimana diungkapkan di atas
di dalamnya sebenarnya menunjukan masalah-masalah yang dikaji dalam filsafat
ilmu, masalah-masalah dalam filsafat ilmu pada dasarnya menunjukan topik-topik
kajian yang pastinya dapat masuk ke dalam salah satu lingkup filsafat ilmu.
Adapun masalah-masalah yang berada dalam lingkup filsafat ilmu adalah (Ismaun)
:
1.
masalah-masalah
metafisis tentang ilmu
2.
masalah-masalah
epistemologis tentang ilmu
3.
masalah-masalah
metodologis tentang ilmu
4.
masalah-masalah
logis tentang ilmu
5.
masalah-masalah
etis tentang ilmu
6.
masalah-masalah
tentang estetika
metafisika
merupakan telaahan atau teori tentang yang ada, istilah metafisika ini
terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian, karena sebenarnya
metafisika juga mencakup telaahan lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti
adanya Tuhan.
Epistemologi merupakan teori pengetahuan dalam arti umum
baik itu kajian mengenai pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, maupun
pengetahuan filosofis.
Metodologi ilmu adalah telaahan atas metode yang
dipergunakan oleh suatu ilmu, baik dilihat dari struktur logikanya, maupun
dalam hal validitas metodenya. Masalah logis berkaitan dengan telaahan mengenai
kaidah-kaidah berfikir benar, terutama berkenaan dengan metode deduksi. Problem
etis berkaitan dengan aspek-aspek moral dari suatu ilmu, apakah ilmu itu hanya
untuk ilmu, ataukah ilmu juga perlu memperhatikan kemanfaatannya dan
kaidah-kaidah moral masyarakat.
Sementara itu masalah estetis berkaitan dengan dimensi
keindahan atau nilai-nilai keindahan dari suatu ilmu, terutama bila berkaitan
dengan aspek aplikasinya dalam kehidupan masyarakat.
Fungsi dan Arah filsafat Ilmu
Fungsi
atau manfaat dari mempelajari tentang filsafat ilmu adalah sebagai
berikut :
-
Melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu
-
Melatih berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu
-
Menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu
sebagai satu-satunya cara memperoleh kebenaran
-
Menghidarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang
lain di luar bidang ilmunya.
Bab III
Hubungan antara Filsafat dan Ilmu
Persamaan filsafat dan ilmu
-
Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek
selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
-
Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang
ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan
sebab-sebabnya.
-
Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang
bergandengan.
-
Keduanya mempunyai metode dan sistem.
-
Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari
hasrat manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang mendalam.
-
keduanya menggunakan cara berfikir reflektif dalam upaya menghadapi atau
memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik
filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran terbuka serta sangat konsern
pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisisr dan
sistematis.
Perbedaan filsafat dan ilmu
-
Objek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu
segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan objek material ilmu (pengetahuan
ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu itu hanya erfokus pada
disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian
filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
- Objek formal (sudut pandangan) filsafat itu
bersifat non-fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang
ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat
fregmentaris, spesifik dan intensif. Disamping itu, objek formal ilmu itu
bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan
penyatuan diri dengan realita.
-
Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan
daya spekulasi, kritis dan pengawasan. Sedangkan ilmu haruslah diadakan riset
lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada
kegunaan pragmatis, sedang kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
-
Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan
pada pengalaman realitassehari-hari. Sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu
menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
-
Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan
mendalam sampai mendasar (primary cause). Sedangkan ilmu menunjukkan
sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder
(secondary cause).
-
Ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif
dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi
data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas
gejala-gejala tersebut. Sedangkan filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara
menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai
bidang pengalaman manusia
Hubungan
filsafat dengan ilmu
-
Filasafat mempunyai objek yang lebih luas, sifatnya universal,
sedangkan ilmu-ilmu pengatahuan objeknya terbatas, khusus lapangannya saja.
-
Filsafat hendak memberikan pengetahuan, insight / pemahaman yang
lebih dalam dengan menunjukkan sebab-sebab yang terakhir, sedangkan ilmu
pengetahuan juga menunjukkan sebab-sebab tetapi tidak begitu mendalam. Dengan
suatu kalimat dapat dikatakan :
1).
Ilmu pengetahuan mengatakan “bagaimana” barang-barang itu (to know how . . .
technical know how, managerial know how . . . secondary causes, and proximate
explanation ).
2).
Filsafat mengatakan “ apa” barang-barang itu (to know what and why . . . first
causes, highest principles, and ultimate explanation).
-
Filsafat memberikan sintesis kepada ilmu-ilmu pengetahuan yang khusus,
mempersatukan, dan mengkoordinasikannya.
-
Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan ilmu pengetahuan, tetapi sudut
pandangnya berlainan. Jadi merupakan dua pengetahuan yang tersendiri.
Ilmu.
Pengetahuan ilmuah atau ilmu (bah. Inggris Science dan Latin
Scientia yang diturunkan dari kata scire), memiliki makna ganda, yaitu;
mengetahui (to know), dan belajar (to learn). Sisi pertama to know menunjuk
pada aspek statis ilmu, yaitu sebagai hasil, berupa pengetahuan sistematis.
Sisi kedua menunjuk pada hakikat dinamis ilmu, sebagai sebuah proses
(aktivitas-metodis). Sisi kedua tersebut hendak menunjukkan bahwa ilmu sebagai
aktifitas pembelajaran, bukanlah sebuah aktifitas menunggu secara pasif,
melainkan merupakan sebuah usaha secara aktif untuk menggali, mencari,
mengejar, atau menyelidiki sampai pengetahuan itu diperoleh secara utuh,
obyektif, valid, dan sistematis. Tegasnya, pengertian ilmu, dalam hal ini,
menunjuk pada tiga hal, yaitu; pertama; ilmu sebagai proses berupa aktifitas
kognitif-intelektuali (aktivitas penelitian), kedua; ilmu sebagai prosedur
berupa metode ilmiah, dan ketiga;. Ilmu sebagai hasil atau produk berupa
pengetahuan sistematis. Penjelasannya demikian:
Ilmu sebagai aktifitas, menggambarkan hakikat ilmu sebagai
sebuah rangkaian aktivitas pemikiran rasional, kognitif, dan teleologis
(tujuan). Rasional artinya, proses aktifitas yang menggunakan kemampuan
pemikiran untuk menalar dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah logika,
kognitif artinya; aktivitas pemikiran yang bertalian dengan; pengenalan,
pencerapan, pengkonsepsian, dalam membangun pemahaman pemahaman secara
terstruktur guna memperoleh pengetahuan, dan teleologis artinya; proses
pemikiran dan penelitian yang mengarah pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu,
misalnya; kebenaran pengetahuan, serta memberi pemahaman, penjelasan,
peramalan, pengendalian, dan aplikasi atau penerapan. Semua itu dilakukan
setiap ilmuwan dalam bentuk penelitian, pengkajian, atau dalam rangka
pengembangan ilmu.
Ilmu sebagai prosedur menunjuk pada pola prosedural, tata
langkah, teknik atau cara, serta alat atau media. Pola prosedural, misalnya;
pengamatan, percobaan, pengukuran, survei, deduksi, induksi, analisis, dan
lainnya. Tata langkah, misalnya; penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila
diperlukan), pengumpulan data, penarikan kesimpulan, dan pengujian hasil.
Teknik atau cara, misalnya; penyusunan daftar pertanyaan, wawancara,
perhitungan, dan lainnya. Alat dan media, timbangan, meteran, perapian,
komputer, dan lainnya.
Ilmu sebagai hasil atau produk berupa pengetahuan
sistematis, ilmu dipahami sebagai seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek
(dunia obyek) yang sama dan saling berkaitan secara logis. Ilmu, karena itu,
dipandang sebagai sebuah koherensi sistematik, dengan prosedur, aksioma, dan
lambang–lambang yang dapat dilihat dengan jelas melalui pembuktian-pembuktian
ilmiah. Ilmu memuat di dalam dirinya hipotesis-hipotesis (jawaban-jawaban
sementara) dan teori-teori (hipotesis-hipotesis teruji) yang belum mantap
sepenuhnya. Ilmu sering disebut pula sebagai konsep pengetahuan ilmiah karena
ilmu harus terbuka bagi pengujian ilmiah (pengujian keilmuan).
Jadi, ilmu cenderung dipahami sebagai pengetahuan yang
diilmiahkan atau pengetahuan yang diilmukan, sebab tidak semua pengetahuan itu
bersifat ilmu atau harus diilmiahkan. Sebagai hasil kegiatan ilmiah, ilmu
merupakan sekelompok pengetahuan (konsep-konsep) mengenai sesuatu hal (pokok
soal) yang menjadi titik minat bagi permasalahan tertentu. Sebuah pengetahuan
ilmiah memiliki 5 (lima) ciri pokok, yaitu; empiris, sistematis, obyektif,
analitis, dan verifikatif. Ilmu, dalam hal ini, cenderung dilihat dalam
hubungan dengan obyek keilmuan (obyek material dan formal) dan metode keilmuan
tertentu. Kesatuan ilmu bersumber di dalam kesatuan obyeknya. Orang, misalnya
kaum peneliti, membatasi ilmu sebatas metodologi keilmuan. Alasannya,
kaitan-kaitan logis yang dicari di dalam ilmu tidak dicapai dengan penggabungan
ide-ide yang terpisah, tetapi pada pengamatan dan berpikir metodis, yang
tertata rapih. Alat bantu metodologis keilmuan adalah “teknologi ilmiah” dalam
menguji-coba atau mengeksperimentasi konsep-konsep ilmu.
Ketiga unsur dimaksud menggambarkan sebuah pengertian yang
lengkap dan utuh mengenai ilmu itu sendiri. Ketiganya, sesungguhnya bukan
saling bertentangan, tetapi merupakan sebuah kesatuan, di mana manusia lah yang
menjadi pelaku (subyek) ilmu itu sendiri. Alasannya, hanya manusia sajalah yang
memiliki kemampuan rasional, melakukan aktivitas kognitif (menyangkut
pengetehuan), dan mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu. Suatu
aktivitas, hanya dapat mencapai tujuan bila mana dilaksanakan dengan metode
yang tepat.
Pengertian ilmu sebagaimana di atas, dapat ditinjau dari
tiga sudut, yaitu; ilmu sebagai aktivitas, ilmu sebagai pengetahuan sistematis,
ilmu sebagai metode (The Liang Gie 1996:130). Ilmu sebagai aktivitas kognitif
harus mematuhi berbagai kaidah pemikiran logis, sementara, disebut pengetahuan
sistematis karena ilmu merupakan hasil dari pelaksanaan proses-proses kognitif
yang terpercaya, dan sistematis, Ilmu disebut metodik karena ilmu sebagai
aktivitas kognitif (intelektual) sampai perwujudannya sebagai pengetahuan
sistematis, terjalin dalam sebuah langkah atau prosedur ilmu yang disebut
metode. Pandangan tersebut mengantarkan pada sebuah rumusan yang bersifat
tentatif tentang ilmu sebagai berikut;
Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional
kognitif, dengan berbagai metode berupa anek prosedur dan tata langkah,
sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sitematis mengenai
gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, dan keorangan untuk tujuan mencapai
kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, atau penerapan.
Obyek
Pengetahuan ilmiah atau Ilmu.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara filsafati,
sebuah pengetahuan ilmiah atau ilmu, memiliki perbedaan dengan bentuk
pengetahuan yang umum (common sense). Alasannya, bila sebuah jenis pengetahuan
umum tidak memiliki obyek, bentuk pernyataan, serta dimensi dan cirri yang
khusus maka sebaliknya, sebuah pengetahuan ilmiah atau pengetahuan keilmuan
(ilmu) selalu mengendaikan adanya; obyek keilmuan, bentuk pernyataan, serta
dimensi dan ciri yang khusus.
Obyek pengetahhaun ilmiah atau obyek keilmuan, dalam hal
ini, mencakup segala sesuatu (yang tampak secara fisik maupun non fisik berupa
fenomena atau gejala kerohanian, kejiwaan, atau sosial), yang sejauh dapat
dijangkau oleh pikiran atau indera manusia. Para filsuf, karenanya, membagi obyek
keilmuan itu dalam dua golongan besar, yaitu; obyek material dan obyek formal
keilmuan. Obyek material meliputi: ide abstrak, benda-benda fisik, jasad hidup,
gejala rohani, gejala sosial, gejala kejiwaan, gejala alam, proses tanda, dan
sejenisnya. Obyek formal, meliputi; sudut pandang, minat akademis, atau cara
kerja yang digunakan untuk menggali, menggarap, menguji, menganalisis, dan
menyusun berbagai pemikiran yang tersimpan dalam khasanah kekayaan obyek
material di atas dan menyuguhkannya dalam bentuk ilmu.
Hubungan
Pengetahuan dan Ilmu
Pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan keterangan dan
ide yang terkandung di dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu
gejala atau peristiwa, baik yang bersifat alamiah, keorangan, atau kemasyarakat.
Pengetahuan dapat dibagi atas dua bentuk, yaitu pengetahuan biasa dan
pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa adalah bentuk pengetahuan yang biasa
ditemui dalam pikiran atau pandangan umum (common sense) dalam kehidupan
harian, sementara pengetahuan ilmiah adalah jenis pengetahuan yang telah diolah
secara kritis menurut prinsip-prinsip keilmuan untuk menjadi ilmu. Pengetahuan
ilmiah (Scientific knowledge) adalah pengetahuan yang disusun bersdasarkan
azas-azas yang cocok dengan pokok soal dan dapat membuktikan
kesimpulan-kesimpulannya. Pengetahuan ilmiah melukiskan suatu obyek khusus
tentang jenis pengetahuan yang khusus mengenai obyek dimaksud.
Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sitematis.
Jadi, pengetahuan merupakan isi substantif yang terkandung dalam ilmu.
Pengetahuan, karenanya, merupakan dasar bangunan sebuah ilmu. Tanpa
pengetahuan, sukar disadari, ditemukan, atau dikembangkan sebuah ilmu dalam
bentuk apa pun. Pengetahuan yang merupakan isi substatif ilmu, dalam dunia
keilmuan disebut fakta (fact), kebenaran, azas, nilai, dan keterangan) yang
diperoleh manusia. Ilmu bukan sekedar fakta, tetapi ilmu mengamati,
menganalisis, menalar, membuktikan, dan menyimpulkan hal-hal yang bersifat
faktawi (faktual) yang dihimpun dan dicatat sebagai data (datum).
Ilmu, dalam hal ini, didasarkan pada sesuatu hal pokok
sebagai fakta (pengetahuan) yang pokok soal khusus di dalam ilmu. Pokok soal
itu dapat berupa ide abstrak, misalnya; sifat Tuhan, sifat bilangan, atau fakta
empiris, misalnya; sifat tanah, ciri kulit, bentuk materi, berat badan, lembaga
adat, pemerintah, dan sebagainya, yang mendorong minat (focus of interest) atau
sikap pikiran padanya. Jadi, bila ilmu berbeda dari filsafat berdasarkan ciri
empiris ilmu maka ilmu berbeda dari pengetahuan biasa karena ciri sistematis
dari ilmu itu sendiri. Hal-hal berupa pokok soal dimaksud, di dalam filsafat
disebut obyek material ilmu, sementara fokus minat atau sikap terhadap hal
pokok dimaksud disebut obyek formal ilmu, yang menunjuk pada sudut pendekatan atau
tata cara khusus yang dilakukan dalam menghadapi obyek materi ilmu dimaksud.
Ilmu, sebagaimana pengetahuan, memiliki dimensi sosial
kemasyarakatan, juga dimensi kebudayaan, dan dimensi permainan. Dimensi
kemasyarakatan sebagai sebuah pranata sosial (Social institution), karena ilmu,
sebagaimana pengetahuan, merupakan salah satu unsur yang berhubungan dengan
kehidupan kemasyarakatan. Dimensi kebudayaan sebagai “kekuatan kebudayaan”
(cultural force), kerena ilmu, sebagaimana pengetahuan, merupakan salah satu
wujud kebudayaan yang sekaligus berkembang dalam bentuk kebudayaan, serta
memberikan sumbangan bagi kemajuan kebudayaan itu sendiri. Dimensi permainan,
(game), karena ilmu, dalam perkembangannya, menunjukkan ciri –ciri yang mirip
dengan sifat-sifat suatu permainan, misalnya; keingintahuan, perlombaan, dan
penerimaan hadiah. Ketiga hal dimaksud, bukan merupakan arti sesungguhnya dari
ilmu, melainkan dianggap sebagai dimensi umum dari ilmu.
Konsep
Ilmu
Sasaran ilmu adalah pembentukan konsep (pengertian), baik
untuk kepentingan pengembangan ilmu secara murni (misalnya; untuk menyusun
teori dan dan menghasilkan dalil-dalil, atau azas), maupun untuk kepentingan
praktis bagi tindakan penerapan nyata. Konsep merupakan ide umum yang mewakili
sesuatu himpunan hal yang biasanya dibedakan dari pencerapan atau persepsi
mengenai suatu hal khusus. Konsep merupakan alat penting untuk pemikiran
terutama dalam hal penelitian ilmiah atau penelitian keilmuan.
Konsep
ilmu adalah bagan, rencana, atau pengertian, baik yang bersifat abstrak maupun
operasional, yang merupakan alat penting untuk kepentingan pemikiran dalam ilmu
atau pengetahuan ilmiah. Setiap ilmu harus memiliki suatu atau beberapa konsep
kunci atau konsep tambahan yang bertalian. Beberapa contoh konsep ilmiah, misalnya;
konsep bilangan di dalam matematika, konsep gaya di dalam fisika, konsep
evolusi di dalam biologi, stimulus di dalam psikologi, kekuasaan atau strata
sosial di dalam ilmu-ilmu sosial, simbol di dalam linguistik, keadilan dalam
ilmu hukum, keselamatan dalam ilmu teologi, atau lingkungan di dalam ilmu-ilmu
interdisipliner.
Konsep-konsep ilmu atau konsep ilmiah tersebut sangat
dibutuhkan agar suatu ilmu dapat menyusun berbagai azas, teori, sampai
dalil-dalil. Sesuatu konsep ilmiah dapat merupakan semacam sarana untuk ilmuwan
melakukan pemikiran dalam mengembangkan pengetahuan ilmiah. Misalnya; dengan
konsep evolusi, Charles Darwin lalu dapat menyusun dan mengembangkan suatu
teori tentang asal–usul manusia, yang mulai dari tahap perkembangan binatang menyusui
yangcerdas kemudian makin berkembangan menjadi manusia. Inti konsep evolusi
yang membentuk teori evolusi itu demikian: bahwa bentuk-bentuk organisme yang
lebih rumit berasal dari sejumlah kecil bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan
primitif dalam perkembangannya secara berangsur-angsur sepanjang zaman.
Konsep evolusi, kemudian diterapkan pula dalam memahami
perkembangan ilmu dengan menunjukkan bahwa cabang-cabang ilmu khusus terlahir
dalam jalinan umum dari pemikiran reflektif filsafat dan setelah itu
berkembangan mencapai suatu taraf kematangan sehingga dipandang berbeda dan
kemudian dipisahkan dari filsafat. Hal demikian berlaku pula terhadap upaya
penelaan terhadap gejala-gejala alam dan kehidupan maupun gajala-gejala mental
dan kemasyarakatan, yang dewasa ini, semuanya secara pasti telah berkembang
menjadi ilmu-ilmu fisis, biologi, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial yang berdiri
sendiri-sendiri. Ciri umum daripada ilmu-ilmu tersebut yang membuatnya berbeda
dari filsafat adalah ciri empirisnya. Jelasnya, bila filsafat masih tetap
merupakan pemikiran reflektif yang coraknya sangat umum, kebalikannya ilmu-ilmu
fisis, biologis, psikologis, dan ilmu-ilmu sosial telah merupakan rangkaian
aktivitas intelektual yang bersifat empiris. Sifat tersebut lah yang selalu
merupakan ciri umum dari ilmu.
Jelasnya, konsep ilmu, agar dapat berguna secara ilmiah maka
ia harus memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat operasional untuk kepentingan
pengamatan (observasi), dan sifat abstrak untuk kepentingan penyimpulan dan
generalisasi. Bersifat operasional, maksudnya, setiap konsep ilmu mengandung
pengertian-pengertian yang berkesesuaian dengan fakta atau situasi yang dapat
diamati secara empiris. Ciri empiris dari ilmu mengandung pengertian bahwa
pengetahuan yang diperoleh tersebut adalah berdasarkan pengamatan (observation)
atau eksperimentasi (experimentation). Konsep ilmu, di sisi lain, bersifat
abstrak untuk kepentingan melakukan penyimpulan atau membuat
keterangan-keterangan ilmiah yang berlaku secara umum. Konsep-konsep ilmu
tersebut kadang-kadang begitu abstrak sehingga hampir berupa khayalan.
Misalnya; konsep ketakterhinggaan matematika (mathematical infinity), manusia
ekonomis (the economic man), atau negara ideal (the ideal state).
Konsep ilmu sebagai sasaran ilmu, tidak boleh dikacaukan,
seolah-olah sama atau menyerupai inti atau pokok soal pengetahuan. Alasannya,
pokok soal pengetahuan tersebut belum dapat mengembangakan suatu ilmu ke taraf
yang lebih tinggi seperti konsep ilmu dimaksud. Ilmu yang telah cukup berkembang
harus memiliki satu atau beberapa konsep kunci, juga beberapa konsep tambahan
yang bertalian dengannya.
Ciri
Pokok Ilmu
Ilmu sebagai pengetahuan ilmiah, berbeda dengan pengetahuan
biasa, memiliki beberapa ciri pokok, yaitu:
1.
sistematis;
para filsuf dan ilmwan sepaham bahwa ilmu adalah pengetahuan atau kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Ciri sistematis ilmu menunjukkan
bahwa ilmu merupakan berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai
kumpulan pengetahuan tersebut mempunyai hubungan-hubungan saling ketergantungan
yang teratur (pertalian tertib). Pertalian tertib dimaksud disebabkan, adanya
suatu azas tata tertib tertentu di antara bagian-bagian yang merupakan pokok
soalnya.
2.
empiris;
bahwa ilmu mengandung pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengamatan serta
percobaan-percobaan secara terstruktur di dalam bentuk pengalaman-pengalaman,
baik secara langsung ataupun tidak langsung. Ilmu mengamati, menganalisis,
menalar, membuktikan, dan menyimpulkan hal-hal empiris yang bersifat faktawi
(faktual), baik berupa gejala atau kebathinan, gejala-gejala alam, gejala
kejiwaan, gejala kemasyarakatan, dan sebagainya. Semua hal faktai dimaksud
dihimpun serta dicatat sebagai data (datum) sebagai bahan persediaan bagi ilmu.
Ilmu, dalam hal ini, bukan sekedar fakta, tetapi fakta-fakta yang diamati dalam
sebuah aktivitas ilmiah melalui pengamalaman. Fakta bukan pula data, berbeda
dengan fakta, data lebih merupakan berbagai keterangan mengenai sesuatu hal
yang diperoleh melalui hasil pencerapan atau sensasi inderawi.
3.
obyektif;
bahwa ilmu menunjuk pada bentuk pengatahuan yang bebas dari prasangka
perorangan (personal bias), dan perasaan-perasaan subyektif berupa kesukaan
atau kebencian pribadi. Ilmu haruslah hanya mengandung pernyataan serta data
yang menggambarkan secara terus terang atau mencerminkan secara tepat
gejala-gejala yang ditelaahnya. Obyektifitas ilmu mensyaratkan bahwa kumpulan
pengetahuan itu haruslah sesuai dengan obyeknya (baik obyek material maupun
obyek formal-nya), tanpa diserongkan oleh keinginan dan kecondongan subyektif dari
penelaahnya.
4.
analitis;
bahwa ilmu berusaha mencermati, mendalami, dan membeda-bedakan pokok soalnya ke
dalam bagian-bagian yang terpecinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan,
dan peranan dari bagian-bagian tersebut. Upaya pemilahan atau penguraian
sesuatu kebulatan pokok soal ke dalam bagian-bagian, membuat suatu bidang
keilmuan senantiasa tersekat-sekat dalam cabang-cabang yang lebih sempit
sasarannya. Melalui itu, masing-masing cabang ilmu tersebut membentuk aliran
pemikiran keilmuan baru yang berupa ranting-ranting keilmuan yang terus
dikembangkan secara khusus menunju spesialisasi ilmu.
5.
verifikatif;
bahwa ilmu mengandung kebenaran-kebenaran yang terbuka untuk diperiksa atau
diuji (diverifikasi) guna dapat dinyatakan sah (valid) dan disampaikan kepada
orang lain. Kemungkinan diperiksa kebenaran (verifikasi) dimaksud lah yang
menjadi ciri pokok ilmu yang terakhir. Pengetahuan, agar dapat diakui
kebenarannya sebagai ilmu, harus terbuka untuk diuji atau diverifikasi dari
berbagai sudut telaah yang berlainan dan akhirnya diakui benar. Ciri
verifikasif ilmu sekaligus mengandung pengertian bahwa ilmu senantiasa mengarah
pada tercapainya kebenaran. Ilmu dikembangkan oleh manusia untuk menemukan
suatu nilai luhur dalam kehidupan manusia yang disebut kebenaran ilmiah.
Kebenaran tersebut dapat berupa azas-azas atau kaidah-kaidah yang berlaku umum
atau universal mengenai pokok keilmuan yang bersangkutan. Melalui itu, manusia
berharap dapat membuat ramalan tentang peristiwa mendatang dan menerangkan atau
menguasai alam sekelilingnya. Contohnya, sebelum ada ilmu maka orang sulit
mengerti dan meramalkan, serta menguasai gejala atau peristiwa-peristiwa alam,
seperti; hujan, banjir, gunung meletus, dan sebagainya. Orang, karena itu, lari
kepada tahyul atau mitos yang gaib. Namun, demikian, setelah adanya ilmu,
seperti; vulkanologi, geografi, fisis, dan kimia maka dapat menjelaskan secara
tepat dan cermat bermacam-macam peristiwa tersebut serta meramalkan hal-hal
yang akan terjadi kemudian, dan dengan demikian dapat menguasainya untuk
kemanfaatan diri atau lingkungannya. Berdasarkan kenyataan itu lah, orang
cenderung mengartikan ilmu sebagai seperangkat pengetahuan yang teratur dan
telah disahkan secara baik, yang dirumuskan untuk maksud menemukan
kebenaran-kebenaran umum, serta tujuan penguasaan, dalam arti menguasai
kebenaran-kebenaran ilmu demi kepentingan pribadi atau masyarakat, dan alam
lingkungan.
Selain,
kelima ciri ilmu di atas, masih terdapat beberapa ciri tambahan lainnya,
misalnya; ciri instrumental dan ciri faktual. Ciri instrumental, dimaksudkan
bahwa ilmu merupakan alat atau sarana tindakan untuk melakukan sesuatu hal.
Ilmu, dalam hal ini sukar namun, juga amat muda dalam arti, senantiasa
merupakan sarana tindakan untuk melakukan banyak hal yang mengagumkan dan
membanjiri dunia dengan ide-ide baru. Ilmu berciri faktual, dalam arti, ilmu
tidak memberikan penilaian, baik atau buruk terhadap apa yang ditelaannya,
tetapi hanya menyediakan fakta atau data bagi sepengguna. Pandangan terakhir
ini, oleh filsuf kritis telah ditolah karena, menurut mereka ilmu sebagai
sebuah hasil budaya manusia, selalu bertautan atau berhubungan dengan nilai.
Ilmu, karenanya, tidak dapat membebaskan atau meluputkan diri dari nilai dan
selalu harus bertanggungjawab atasnya.
Dimensi
khusus Ilmu
Ilmu, dalam perkembangannya yang luas dan bertumbuh beraneka
ragam, telah menampilkan pula berbagai dimensi keilmuan yang cukup luas dan
beragam, serta bersifat khas atau khusus. Dimensi ilmu menunjuk pada
perwatakan, peranan, serta kepentingan yang sepatutnya yang dianggap termasuk
dalam ilmu. Berbagai pandangan filsuf, sebagaimana ditunjukkan oleh The Liang
Gie (1996: 131-133), menunjukkan beberapa dimensi ilmu yang secara khusus atau
spesifik dapat dijumpai dari ilmu-ilmu yang bersangkutan, yaitu:
1.
dimensi
ekonomi, ilmu memiliki dimensi ekonomis, dalam arti, ilmu dilihat sebagai salah
satu faktor utama dalam mempertahankan dan mengembangkan produksi.
2.
dimensi
linguistik, bahwa ilmu dipahami sebagai suatu bahasa buatan. Ilmu, dalam hal
ini, dilihat sebagai suatu konstruksi kebahasaan (a construction of language),
dengan seperangkat tanda dan hubungan-hubungan spesifik tertentu serta antara
obyek-obyek, dan dengan prakterk.
3.
dimensi
matematis, ilmu berdimensi matematis dalam hal menekankan segi-segi kuantitatif
dan proses-proses kuantifikasi dalam ilmu. Ilmu, dalam hal ini, mencakup
penalaran matematis dan analisis data atas fenomena alamiah.
4.
dimensi
politik, bahwa ilmu memiliki dimensi kekuasaan (power) sebagaimana ditunjukkan
oleh Francis Bacon: knowledge is power. Ilmu, dalam hal ini cenderung dipahami
sebagai kekuatan dalam hal membangun dan menyelenggarakan pemerintahan atau kekuasaan
serta mempertahankannya.
5.
dimensi
psikologis; bahwa ilmu bukanlah kumpulan keajaiban, melainkan suatu sikap
terhadap dunia dengan kreativitas kejiwaan yang penuh daya seni serta keindahan
yang tinggi.
6.
dimensi
sosiologis, bahwa ilmu, dalam hal ini, cenderung dipahami sebagai sebuah
lembaga sosial (social institution), mendorong aktivitas sosial (social
aktivity), serta membangun jaringan-jaringan yang menghimpun, menguji, serta
menyebarkan pengetahuan, dan menciptakan sebuah masyarakat ilmuwan.
7.
dimensi
nilai, bahwa ilmu bukan sekedar untuk menjejerkan ide-ide atau gagasan-gagasan,
tetapi lebih daripada itu merupakan sebuah nilai (value) pada dirinya, dan
karenanya, ilmu tidak dapat membebaskan diri dari nilai-nilai yang diembannya
sejak awal proses pembentukan maupun penerapannya.
8.
dimensi
sejarah, ilmu, dalam hal ini, dipahami sebagai bagian dari perkembangan sejarah
manusia dan kebudayaan. Ilmu, karenanya, merupakan sebuah kekuatan sejarah yang
sangat besar peranannya bagi setiap generasi manusia di dalam periodenya
masing-masing. Ilmu sebagai kekuatan sejarah, selalu membangun eksistensi
sosial manusia dalam arahnya yang selalu baru.
9.
dimensi
kultur, bahwa ilmu sebagai produk budaya manusia yang sekaligus ditempatkan
menjadi kekuatan budaya (cultural force) dalam membangun peradaban manusia dan
dunia sebagai pribadi dan dunia yang berbudaya.
10.
Dimensi
kemanusiaan; ilmu adalah produk daya cipta, rasa, dan karsa manusia yang
bertautan langsung dengan nilai rasa (cita rasa) manusia dan kemanusiaan itu
sendiri. Manusia adalah obyek sekaligus subyek bagi ilmu itu sendiri, dan ilmu
selalu berorientasi pada manusia sebagai kausa ontologis (penyebab ada) bagi
ilmu itu sendiri. Manusia lah yang mengembangkan ilmu, tetapi sekaligus
mendapatkan keuntungan (benefit) dari ilmu itu sendiri.
11.
dimensi
rekreatif, bahwa ilmu memiliki dimensi permaianan yang dilombahkan dan
dilakukan dengan kegembiraan. Ilmu, dalam hal ini, dilihat sebagai suatu
permainan yang ditimbulkan oleh keingintahuan untuk menemukan alam semesta dan
dirinya sendiri, serta memperluas atau memperbesar kesadaran manusia akan dunia
tempat ia hidup dan berkarya.
12.
dimensi
sistem; ilmu, dalam hal ini, merupakan suatu kebulatan sistem yang terdiri dari
unsur-unsur yang berada dalam keadaan yang saling berinteraksi. Jadi, ilmu
dipahami sebagai pengetahuan sistematis yang memiliki ciri sistematis, sistim
penjelasan (a system of explanation), dan terpola atau terstruktur, serta
menjadi suatu sistim keyakinan tentang alam, kaidah-kaidah alam, kaidah-kaidah
pembilangan, serta hubungannya dengan manusia.
13.
dimensi
logic, bahwa ilmu konsistensi proposisi-proposisi ilmu dalam membangun sebuah
penalaran yang sehat dan lurus guna mencapai kesimpulan-kesimpulan keilmuan
yang bersifat valid dan obyektif. Melalui itu, ilmu, secara formal, dapat
diterima sebagai sebuah ilmu yang resmi, valid, dan obyektif.
Pembahasan mengenai dimensi khusus keilmuan di atas,
memperlihatkan bahwa, sesungguhnya masih terdapat lagi banyak dimensi keilmuan
yang lain yang bersifat khas, namun, semua dimensi tersebut saling terkait
secara komplementar (saling melengkapi) untuk meberikan manfaat atau kegunaan
secara utuh dan sempurna bagi kemajuan ilmu maupun bagi manusia dan alam
kehidupannya. Konsekuensinya, penonjolan secara sepihak pada salah satu dimensi
yang paling disukai saja, misalnya; dimensi ekonomi ilmu karena membawa
keuntungan langsung, akan sangat mengganggu kemajuan ilmu secara utuh serta
cenderung merapuhkan vitalitas ilmu itu sendiri. Alasannya, kerena kemajuan
pada dimesi ekonomi akan sangat ditunjang oleh dimensi lain, sementara
persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh faktor ekonomi itu sendiri tidak
mungkin hanya dapat dipecahkan secara ekonomi pula.
Bentuk
Pernyataan dan Ragam Proposisi Ilmiah (Keilmuan)
1.
Deskripsi,
merupakan bentuk pernyataan ilmiah (pernyataan keilmuan) berupa uraian
terpeinci, baik mengenai bentuk, susunan, peranan, serta hal-hal terperinci
lainnya dari fenomena atau obyek keilmuan yang bersangkutan. Bentuk pernyataan
deskriptif ini, biasanya terdapat pada cabang-cabang ilmu khusus yang bersifat
deskriptif, misalnya; ilmu anatomi, biologi, astronomi, dan sebagainya.
2.
Perskripsi,
merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang berupa petunjuk-petunjuk atau
ketentuan-ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaliknya
dilakukan dalam hubungan dengan suatu obyek keilmuan. Bentuk pernyataan
perskripsi dimaksud, banyak dijumpai dalam cabang-cabang ilmu sosial. Misalnya;
ilmu-ilmu pendidikan yang memuat petunjuk-petuntuj mengenai cara-cara mengajar
yang baik di dalam kelas. Hal demikian pun dapat dijumpai di dalam ilmu
administrasi negara yang berupaya memaparkan berbagai azas atau ukuran-ukuran,
dan berbagai peraturan lainnya tentang bagaimana menjalankan sebuah organisasi
pemerintahan yang baik, membangun menajemen yang efektif, atau prosedur kerja
yang efisien.
3.
Eksposisi
Pola; merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang memaparkan pola-pola dalam
sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomena atau
obyek keilmuan yang ditelaah. Misalnya, dalam Antropologi, dipaparkan pola-pola
kebudayaan berbagai suku bangsa, atau dalam Sosiologi, diungkapkan pola-pola
perubahan masyarakat dari tahap kehidupan pedesaan menjadi masyarakat
perkotaan.
4.
Rekonstruksi
historis; merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang berusaha menggambarkan atau
menceriterakan sesuatu hal pada masa lampau dengan beruasah memberikan
penjelasan atau menunjukkan alasan yang diperlukan bagi pertumbuhan hal
dimaksud, baik secara alamiah maupun secara budaya melalui campur tangan
manusia, dengannya orang akan berusaha memberikan petunjuk-petunjuk atau
penyiasatan hidup ke depan. Bentuk pernyataan ilmiah ini dapat dijumpai dalam
ilmu-ilmu khusus, seperti; Historiografi atau Ilmu purbakala.
5.
Azas
ilmiah (azas keilmuan); merupakan ragam proposisi ilmiah yang mengandung
prinsip-prinsip kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati. Azas
ilmiah, dalam ilmu-ilmu sosial, sering dipahami sebagai prinsip yang memadai
untuk dijadikan pedoman di dalam melakukan tindakan-tindakan. Misalnya; azas
peredaran planet berdasarkan pengamatan astronomi, yang menyatakan; makin dekat
sesuatu planet kepada matahari, makin pendek masa putarannya.
6.
Kaidah
ilmiah (kaidah keilmuan); merupakan ragam proposisi yang mengungkapkan keajegan
(keteraturan) atau hubungan tertib yang dapat diperiksa kebenarannya di antara
fenomena-fenomena. Melalui itu, ia digeneralisasikan sebagai hal yang secara
umum berlaku bagi fenomena yang sejenis. Misalnya; Hukum gaya berat dari Ishak
Newton atau Kaidah Boyle di dalam ilmu-ilmu kimiah bahwa volume suatu gas
berubah secara terbalik dengan tekanan bila suhu yang sama tetap dipertahankan.
Kaidah, ilmiah, karenanya, seringkali diartikan sebagai suatu pernyataan
prediktif dan universal.
Struktur
pengetahuan ilmiah (Ilmu).
Guna membantu Anda melakukan pemetaan pemikiran secara utuh
terhadap hakikat ilmu maka Anda diminta untuk mempelajari bagan di bawah:

E.
Sumber:
1. Ilmu
dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
2. The
Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
3 The
Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
Bab IV
Fungsi dan Manfaat Filsafat Ilmu
Cara kerja filsafat
ilmu memiliki pola dan model-model yang spesifik dalam menggali dan
meneliti dalam menggali pengetahuan melalui sebab musabab pertama dari
gejala ilmu pengetahuan. Di dalamnya mencakup paham tentang kepastian ,
kebenaran, dan obyektifitas. Cara kerjanya bertitik tolak pada gejala –
gejala pengetahuan mengadakan reduksi ke arah intuisi para ilmuwan,
sehingga kegiatan ilmu – ilmu itu dapat dimengerti sesuai dengan kekhasannya
masing-masing disinilah akhirnya kita dapat mengerti fungsi
dari filsafat ilmu.
Filsafat ilmu merupakan salah satu
cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa
dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
·
Sebagai
alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
·
Mempertahankan,
menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
·
Memberikan
pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
·
Memberikan
ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
·
Menjadi
sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu
sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
Jadi, Fungsi filsafat ilmu adalah
untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori
sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah.
Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu:
sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan
relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dantheory
of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun
besar secara sederhana. Manfaat lain mengkaji filsafat ilmu adalah
• Tidak terjebak
dalam bahaya arogansi intelektual
• Kritis terhadap
aktivitas ilmu/keilmuan
• Merefleksikan,
menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu terus-menerus sehingga ilmuwan tetap
bermain dalam koridor yang benar (metode dan struktur ilmu)
• Mempertanggungjawabkan
metode keilmuan secara logis-rasional
• Memecahkan
masalah keilmuan secara cerdas dan valid
• Berpikir
sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)
Bab V
Filsafat Sebagai Ilmu Pengetahuan
Pada dasarnya setiap ilmu mempunyai
dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah
sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh adalah obyek
material ilmu kedokteran. Adapun obyek formalnya adalah metode untuk memahami
obyek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif.
Filsafat sebagai proses berfikir
yang sistematis dan radikal juga memiliki obyek material dan obyek formal.
Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik mencakup ada yang tampak
maupun ada yang tidak tampak. Ada yang tampak adalah dunia empiris, sedang ada
yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian filosuf membagi obyek
material filsafat atas tiga bagian, yaitu: yang ada dalam alam empiris, yang
ada dalam alam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun obyek formal
filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang
segala yang ada.
Dalam perspektif ini dapat diuraikan bahwa filsafat ilmu
pada prinsipnya memiliki dua obyek substantif dan dua obyek instrumentatif,
yaitu:
Obyek Subtantif, yang terdiri dari dua hal:
1. Fakta (Kenyataan)
Yaitu empiri yang dapat dihayati oleh manusia. Dalam
memahami fakta (kenyataan ini ada beberapa aliran filsafat yang memberikan
pengertian yang berbeda-beda, diantaranya adalah:
1) Positivisme
a) Hanya mengakui penghayatan yang empirik dan sensual
b) Sesuatu sebagai fakta apabila ada korespondensi antara
yang sensual satu dengan yang sensual lainnya
c) Data empirik sensual tersebut harus obyektif tidak boleh
masuk subyektifitas peneliti
d) Fakta itu yang faktual ada
2) Phenomenologi:
a) Fakta bukan sekedar data empirik
sensual, tetapi data yang sudah dimaknai atau diinterpretasikan, sehingga ada
subyektifitas peneliti. Tetapi subyektititas disini tidak berarti sesuai selera
peneliti, subyektif disini dalam arti tetap selektif sejak dan pengumpulan
data, analisis sampai pada kesimpulan. Data selektifnya mungkin berupa ide ,
moral dan lain-lain.
b) Orang mengamati terkait langsung dengan
perhatiannya dan juga terkait pada konsep-konsep yang dimiliki
c) Kenyataan itu terkonstruk dalam moral.
3) Realisme:
a) Sesuatu itu sebagai nyata apabila ada korespondensi dan
koherensi antara empiri dengan skema rasional.
b) Mataphisik sesuatu sebagai nyata apabila ada koherensi
antara empiri dengan yang obyektif universal
c) Yang nyata itu yang riil exsist dan terkonstruk dalam
kebenaran obyektif
d) Empiri bukan sekedar empiri sensual yang mungkin palsu,
yang mungkin memiliki makna lebih dalam yang beragam.
e) Empiri dalam realisme memang mengenai hal yang nil dan
memang secara substantif ada
f) Dalam realisme metaphisik skema rasional dan
paradigma rasional penting
g) Empiri yang substantif riil baru dinyatakan ada
apabila ada koherensi yang obyektif universal
4) Pragmatis :
Yang ada itu yang berfungsi, sehingga sesuatu itu dianggap
ada apabila berfungsi. Sesuatu yang tidak berfungsi keberadaannya dianggap
tidak ada.
5) Rasionalistik :
Yang nyata ada itu yang nyata ada, cocok dengan akal dan
dapat dibuktikan secara rasional atas keberadaanya
2. Kebenaran
1) Positivisme:
a) Benar substantif menjadi identik dengan
benar faktual sesuatu dengan empiri sensual
b) Kebenaran pisitivistik didasarkan pada
diketemukannya frekwensi tinggi atau variansi besar
c) Bagi positivisme sesuatu itu benar
apabila ada korespondensi antara fakta yang satu dengan fakta yang lain
2) Phenomenologi:
a) Kebenaran dibuktikan berdasarkan
diketemukannya yang esensial, pilah dan yang non esensial atau eksemplar dan
sesuai dengan skema moral tertentu
b) Secara esensial dikenal dua teori
kebenaran, yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi
c) Bagi phenomenologi, phenomena baru
dapat dinyatakan benar setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercaya.
Realisme Metaphisik : Ia mengakui kebenaran bila yang
faktual itu koheren dengan kebenaran obyektif universal
3) Realisme
a) Sesuatu itu benar apabila didukung
teori dan ada faktanya
b) Realisme hart, menuntut adanya konstruk
teori (yang disusun deduktif probabilisti) dan adanya empiri teerkonstruk pula
Islam : Sesuatu itu benar apabila yang empirik faktual koheren dengan kebenaran
transenden berupa wahyu
4) Pragamatisme : Mengakui kebenaran
apabila faktual berfungsi.
Rumusan substantif tentang kebenaran ada beberapa teori,
menurut Michael Williams ada lima teori kebenaran, yaitu:
1) Kebenaran Preposisi, yaitu teori
kebenaran yang didasarkan pada kebenaran proposisinya baik proposisi formal
maupun proposisi material nya.
2) Kebenaran Korespondensi, teori
kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada adanya korespondensi antara
pernyataan dengan kenyataan (fakta yang satu dengan fakta yang lain).
Selanjutnya teori ini kemudian berkembang menjadi teori Kebenaran Struktural
Paradigmatik, yaitu teori kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada upaya
mengkonstruk beragam konsep dalam tatanan struktur teori (struktur
ilmu.structure of science) tertentu yang kokoh untuk menyederhanakan yang
kompleks atau sering
3) Kebenaran Koherensi atau Konsistensi,
yaitu teori kebenaran yang medasarkan suatu kebenaran pada adanya kesesuaian
suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu
diketahui, diterima dan diakui kebenarannya.
4) Kebenaran Performatif, yaitu teori
kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu dianggap benar apabila dapat
diaktualisasikan dalam tindakan.
5) Kebenaran Pragmatik, yaitu teori
kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu benar apabila mempunyai kegunaan
praktis. Dengan kata lain sesuatu itu dianggap benar apabila mendatangkan
manfaat dan salah apabila tidak mendatangkan manfaat.
Obyek Instrumentatif yang terdiri dan dua hal:
1. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah untuk
menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang atau memberikan
pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut
dengan menggunakan landasan: asumsi, postulat atau axioma yang sudah dipastikan
benar. Pemaknaan juga dapat ditampilkan sebagai konfirmi probabilistik dengan
menggunakan metode induktif, deduktif, reflektif. Dalam ontologi dikenal
pembuktian a priori dan a posteriori. Untuk memastikan kebenaran penjelasan
atau kebenaran prediksi para ahli mendasarkan pada dua aspek:
1) Aspek Kuantitatif;
2) Aspek Kualitatif.
Dalam hat konfirmasi, sampai saat ini dikenal ada tiga teori
konfirmasi, yaitu : Decision Theory, menerapkan kepastian berdasar keputusan
apakah hubungan antara hipotesis dengan evidensi memang memiliki manfaat
aktual. Estimation Theory, menetapkan kepastian dengan memberi peluang benar —
salah dengan menggunakan konsep probabilitas. Reliability Analysis, menetapkan
kepastian dengan mencermati stabilitas evidensi (yang mungkin berubah-ubah
karena kondisi atau karena hal lain) terhadap hipotesis
2. Logika Inferensi
Studi logika adalah studi tentang
tipe-tipe tata pikir. Pada mulanya logika dibangun oleh Aristoteles (3 84-322
SM) dengan mengetengahkan tiga prinsip atau hukum pemikiran, yaitu Principium
Identitatis (Qanun Dzatiyah), Principium Countradictionis (Qanun Ghairiyah),
dan Principium Exclutii Tertii (Qanun Imtina’). Logika ini sering juga disebut
dengan logika Inferensi karena kontribusi utama logika Aristoteles tersebut
adalah untuk membuat dan menguji inferensi. Dalam perkembangan selanjutnya
Logika Aristoteles juga sering (Disebut dengan logika tradisional.
B. Metode Filsafat
Hanya dengan cara dan metode
tertentu pengetahuan kefilsafatan dapat diperoleh. Mendapatkan pengetahuan yang
benar, lebih-lebih pada taraf kefilsafatan haruslah berlangsung secara bertahap
sedikit demi sedikit. Tidak mungkin sekaligus. Maka metode yang paling tepat
adalah metode ilmiah yang merupakan gabungan antara analisis dan sintesis yang
dipakai secara dialektik berkesinambungan.
1. Metode Analisis
Metode ini melakukan pemeriksaan
secara konseptual atas istilah-istilah yang kita pergunakan dan
pernyataan-pernyataan yang kita buat. Di dalam ilmu pengetahuan alam. setiap
saat kita menyaksikan berbagai macam benda. Dan keberadaanya dapat diketahui
bahwa setiap benda selalu menempati ruang dan waktu tertentu, berbentuk,
berbobot dan berjumlah (volume). Metode analisis mi sering disebut sebagai
metode aposteriori karena bertitik tolak dan segala sesuatu atau pengetahuan
yang adanya itu timbul sesudah pengalaman, agar sampai kepada suatu pengetahuan
yang adanya di atas atau di luar pengalaman sehari-hari.
2. Metode Sintesis
Sebaliknya, metode mi dibantu dengan
peralatan deduktif yang mencoba menjabarkan sifat-sifat umum yang secara
niscaya ada pada segala sesuatu ke dalam hal-hal dan keadaan-keadaan konkret
khusus tertentu. Sifat-sifat umum yang mengenai kejiwaan manusia misalnya,
dapat dijabarkan ke dalam bermacam-macam jenis dan bentuk tingkah laku.
Dalam studi filsafat, kedua metode di atas lebih
dipergunakan secara dialektik. Artinya digunakan secara berkesinambungan dalam
suatu rentetan sebab-akibat. Oleh karena itu. sering dinaTnakan sebagai metode
analitiko-sintetik.
C. Sistem Filsafat
Terdapat dua sistem yang populer
dalam dunia filsafat yaitu sistem tertutup (closed system) dan sistem terbuka
(opened system). Sistem tertutup adalah yang berlaku dalam ilmu pengetahuan
pasti (eksakta) dan alam. Sedangkan sistem terbuka lebih populer digunakan
dalam ilmu pengetahuan sosial dan humaniora.
Mempertimbangkan sasaran (obyek studi filsafat baik yang
material maupun yang formal, maka sistem terbuka tampaknya lebih dominan.
Karena obyek filsafat itu tidak terbatas kepada hal-hal yang rasional dan
empiris saja. Melainkan menembus pada hal-hal yang berderajat irrasional dan
yang non empiris (yaitu hal- hal yang metafisik).
D. Kebenaran Filsafat
Hal kebenaran sesungguhnya merupakan
tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan
pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Problematik mengenai kebenaran
merupakan masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat
ilmu.
1. Definisi Kebenaran
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia
(oleh Purwadarminta), ditemukan arti kebenaran, yaitu:
1. Keadaan yang benar (cocok dengan hal
atau keadaan sesungguhnya);
2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh
ada, betul demikian halnya);
3. Kejujuran, ketulusan hati;
4. Selalu izin, perkenanan;
5. Jalan kebetulan.
6. Jenis-jenis Kebenaran
Kebenaran dapat dibagi dalam tiga jenis menurut telaah dalam
filsafat ilmu, yaitu
1. Kebenaran Epistemologikal, adalah
kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia,
2. Kebenaran Ontologikal, adalah
kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada
maupun diadakan.
3. Kebenaran Semantikal, adalah
kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa.
2. Teori-teori Kebenaran
Perbincangan tentang kebenaran dalam
perkembangan pemikiran filsafat sebenarnya sudah dimulai sejak Plato melalui
metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori
pengetahuan yang paling awal.
Kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles hingga saat mi, dimana
teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan. Untuk
mengetahui ilmu pengetahuan mempunyai nilai kebenaran atau tidak sangat
berhubungan erat dengan sikap dan cara memperoleh pengetahuan.
Berikut secara tradisional teori-teori kebenaran itu antara
lain sebagai berikut:
1. Teori Kebenaran Saling Berhubungan
(Coherence Theory of Truth)
2. Teori Kebenaran Saling Berkesesuaian
(Correspondence Theory of Truth)
3. Teori Kebenaran Inherensi (Inherent
Theory of Truth,)
4. Teori Kebenaran Berdasarkan Arti
(Semantic Theory of Truth)
5. Teori Kebenaran Sintaksis
6. Teori Kebenaran Nondeskripsi
7. Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan
(Logical Superfluity of Truth)
3. Sifat Kebenaran llmiah
Karena kebenaran tidak dapat begitu
saja terlepas dan kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri, maka setiap
subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat
berbeda satu dengan yang lainnya, dan disitu terlihat sifat-sifat dan
kebenaran. Sifat kebenaran dapat dibedakan menjadi tiga hal. yaitu:
a. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan, dimana
setiap pengetahuan yang dimiliki ditilik dan jenis pengetahuan yang dibangun.
Pengetahuan itu berupa:
1) Pengetahuan biasa atau disebut ordinary
knowledge atau common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki inti
kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang
mengenai.
2) Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan
yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan
metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan para ahli sejenis. Kebenaran
dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil
penelitian yang penemuan mutakhir.
3) Pengetahuan filsafat, yaitu jenis
pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat, bersifat
mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran analitis, kritis, dan
spekulatif. Si fat kebenaran yang terkandung adalah absolute.-intersubjektif.
4) Kebenaran pengetahuan yang terkandung
dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama bersifat dogmatis yang selalu
dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam kitab
suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan
untuk memahaminya.
b. Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik
dan bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya.
Implikasi dan penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan akan mengakibatkan
karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan akan memiliki cara
tertentu untuk membuktikannya. Jadi jika membangun pengetahuan melalui indera
atau sense experience, maka pembuktiannya harus melalui indera pula.
c. Kebenaran dikaitkan atas ketergantungan terjadinya
pengetahuan. Membangun pengetahuan tergantung dan hubungan antara subjek dan
objek, mana yang dominan. Jika subjek yang berperan, maka jenis pengetahuan ini
mengandung nilai kebenaran yang bersifat subjektif. Sebaliknya, jika objek yang
berperan, maka jenis pengetahuannya mengandung nilai kebenaran yang sifatnya
objektif
Contoh: Penjelasan probabilistik ditarik
secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan
kepastian seperti penjelasan deduktif, melainkan penjelasan yang bersifat
peluang, seperti ”kemungkinan”, ”kemungkinan besar”, atau ”hampir dapat
dipastikan”. Penjelasan fungsional atau teleologis meletakkan
sebuah unsure dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai
karakteristik atau arah perkembangan tertentu (Suriasumantri, 2000: 142).
Dewasa ini
telah ditemukan model-model penjelasan ilmiah yang
membedakannya dengan
penjelasan non-ilmiah, yakni Deductive-Nomological (DN), Statistical
Relevance(SR), Causal Mechanical (CM), dan Unificationist
models (”Scientific
explanation”, 2009). Dalam model DN, sebagai contoh, ilmu
bertanggung jawab untuk menyediakan jawaban yang memuaskan atas
pertanyaan “mengapa”. Suatu jawaban atas pertanyaan “mengapa” baru dapat
disebut penjelasan ilmiah apabila ia memiliki struktur yang
logis dalam argumennya, yaitu terdiri atas premispremis dan kesimpulan yang
memiliki relasi satu sama lain. Kesimpulan yang ada di dalamnya merupakan
fenomena yang perlu dijelaskan (explanandum), sedangkan premis-premisnya
adalah fakta yang bisa digunakan untuk mendukung kesimpulan tersebut (explanans).
Untuk dapat memberikan penjelasan, ilmu memiliki argumen deduktif dengan
minimal satu hukum umum sebagai premis dan satu explanandum sebagai
konklusi. Explanansmemberikan penjelasan ilmiah terhadap explanandum hanya
apabila: (1)Explanandum merupakan konsekuensi logis dari
konjungsi explanans; (2) Tidak adasurplus explanans yang
tidak perlu dalam rangka eksplanasi; (3) Pernyataan-pernyataan explanans harus
memiliki isi empiris; (4) Semua pernyataan explanansharus benar
(Ruben, 1990). Ada karakteristik lain dari model DN, yaitu bahwa sebuah
eksplanasi dapat digunakan untuk memperkirakan, dan sebuah prediksi adalah
sebuah eksplanasi yang sahkarena kepersisan struktur logisnya. Model ini sangat
jelas membedakan antara ilmu dan bukan-ilmu.
Episteme berrati pengetahuan,
sedangkan epistemology ialah ilmu yang membahas tentang
apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Pengetahuan pada
hakekatnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu
ialah menyusun pendapat tentang sesuatu itu, dengan kata lain menyusun gambaran
itu sesuai dengan fakta atau kenyataan atau tidak? Apakah gambaran itu benar?
Atau apakah gambaran itu dekat dengan kebenaran atau jauh dari kebenaran. Ada
dua teori mengenai hakekat pengetahuan ini, yaitu teori realisme,yang
berpandangan bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat jika sesuai dengan
kenyataan tau realitas. Sebaliknya teori yang kedua adalah idealisme,
yang berpendapat bahwa gambaran yang benar-benar tepat dan sesuai dengan
kenyataan adalah mustahil, oleh karenanya teori ini berpendapat bahwa
gambaran subyektif dan bukan obyektif tentang kenyataan. Subyektif dipandang
dari sudut yang mengetahui, yaitu dari sudut orang yang membuat gambaran
tersebut. Pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya, pengetahuan tidak memberikan gambaran yang tepat hakekat yang ada
diluar akal, yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau
penglihatan orang yang mengetahui.
Metode ilmiah merupakan rentetan
daur-daur penyimpulanrampatan (induksi), penyimpul-khasan (deduksi) dan
penyahihan (verifikasi/validasi) yang terus menerus tak kunjung usai (Wilardjo
dalam Suriasumantri, 1997: 237). Dalam daur ini, terdapat demarkasi yang
disebut Karl Popper sebagai falsifiabilitas. Yang harus melewati patok
demarkasi pengujian empiris ini adalah hipotesis. Hipotesis merupakan
pernyataan dugaan (conjectural) tentang hubungan antara dua variabel
atau lebih, yang dapat dirunut atau dijabarkan dari teori dan dari hipotesis
lain (Kerlinger, 2003: 32). Apabila hipotesis kerja (yang hendak diuji)
bertahan menghadapi semua usaha menolaknya sebagai keliru (false), teori
baru (Popper: ”system of hypotheses”; Shaw & Costanzo: ”a set of interrelated
hypothesis”) boleh dianggap sudah diperoleh. Jadi, fungsi hipotesis adalah
mengarahkan prosedur penelitian ilmiah, dan membawa ilmuwan ”keluar” dari
dirinya sendiri (Kerlinger, 2003: 33). Dua atau lebih variabel yang dijalinkan
oleh hipotesis merupakan konstruk-konstruk atau konsep-konsep yang memiliki
variasi nilai dan terhubung dengan realitas via pengukuran. ”Konsep”
mengungkapkan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus
(Kerlinger, 2003: 48), sedangkan ”konstruk” merupakan konsep-konsep yang
didefinisikan oleh sebuah jejaring nomologis, yang mengaitkan konstruk-konstruk
dan variabel-variabel yang teramati melalui seperangkat relasi-relasi
teoritis-sah (Cronbach & Meehl, 1955). Menurut Bunge (1983), konstruk
adalah sebuah objek ideal, yang eksistensinya bergantung (predicated)
pada mind seseorang; dalam hal ini dikontraskan dengan
objek-objek riil, yang eksistensinya tidak bergantung pada mind.
Dalam definisi yang lain, konstruk merupakan sebuah properti mental (”Assessing
statistically”, 2004). Fungsi konsep adalah sebagai alat identifikasi fenomena
yang diobservasinya (Effendi dalam Singarimbun & Effendi, 2006: 95);
misalnya, ”konsepprestasi akademis” mengungkapkan sejumlah observasi
tentang halhal yang lebih atau kurang ”prestatif”. Sedangkan konstruk berfungsi
membantu kita mengerti esensi fenomena yang sedang diteliti (Christensen,
Johnson, & Horn, 2008: 288); misalnya, ”konstruk prestasi”
menolong kita mengenalikenyataan bahwa prestasi akademis merupakan fungsi dari
inteligensi dan motivasi.
Misalnya: ”(1) Ahli fisikia, yang menghadapi soal hubungan
antara subjek dan objek, yang bersifat filosofis; (2) Ahli biologi, yang
menemui program DNA, … , seakan-akan materi ”dipikirkan” ke arah prestasi yang
melampaui kemampuan materi murni; (3) Kasus Hellen Keller, yang menunjukkan
bahwa semua usaha untuk merendahkan kesadaran intelektual kepada derajat suatu
psikologi empiris atau sensualis saja, sama sekali kalah. (Kasus ini) … tidak
dapat dimengerti tanpamelihat dalam inteligensi sebuah dimensi yang memang
supra-material.”
Sehubungan dengan ini, Tennant (1968: 364) menyatakan: Science
can only know …. the Real through and as the phenomenal. It is precluded from
making statements, positive or negative, as to the ontal, and from claiming
absoluteknowledge or non phenomenal knowledge of the absolute.
Bab
VI
Ciri Utama Ilmu:
Ilmu
adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat
diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas
keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi
Berbeda
dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu
putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang
mengacu ke obyek [atau alam obyek] yang sama dan saling berkaitan secara logis.
Karena itu, koherensi sistematik adalajh hakikat ilmu. Prinsip-prinsip obyek
dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam kaitan-kaiatan logis yang dapat
dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip logis yang dapat dilihat dengan
jelas. Bahwa prinsip-prinsip metafisis obyek menyingkapkan dirinya sendiri
kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus
intelek kita yang tidak dapat dicarikan oleh visi ruhani terhadap realitas
tetapi oleh berpikir
Ilmu
tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran
perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri
hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapan
Ciri
hakiki lainnya dari ilmu ialah metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu
tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak
pengamatan ide yang terpisah-pisah. Sebaliknya, ilmu menuntut pengamatan dan
berpikir metodis, tertata rapi. Alat Bantu metodologis yang penting adalah
terminology ilmiah. Yang disebut belakangan ini mencoba konsep-konsep ilmu.
Difinisi Ilmu Menurut Para Ahli
Mohammad
Hatta, mendifinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan
hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut
kdudukannya tampak dari luar, amupun menurut hubungannya dari dalam
Ralp
Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional,
umum dan sistematik, dan keempatnya serentak
Karl
Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan
konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah sederhana
Ashely
Montagu, Guru Besar Antropolo di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu
adalah pengetahuan yang disususn dalam satu system yang berasal dari
pengamatan, studi dan percobaan untuk menetukan hakikat prinsip tentang hal
yang sedang dikaji.
Harsojo,
Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa ilmu adalah:
Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empirisyaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia
Suatu cara menganlisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”
Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empirisyaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia
Suatu cara menganlisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”
Afanasyef,
seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan
manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan
konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapnnya dan kebenarannya
diuji dengan pengalaman praktis.
Persamaan Dan Perbedaan Filsafat
Dan Ilmu
PERSAMAAN:
Keduanya
mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya
sampai ke-akar-akarnya
Keduanya
memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian
yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya
Keduanya
hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan
Keduanya
mempunyai metode dan sistem
Keduanya hendak memberikan penjelasan
tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia [obyektivitas], akan
pengetahuan yang lebih mendasar.
Perbedaan:
Obyek
material [lapangan] filsafat itu bersifat universal [umum], yaitu segala
sesuatu yang ada [realita] sedangkan obyek material ilmu [pengetahuan ilmiah]
itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin
bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat
tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu
Obyek
formal [sudut pandangan] filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari
pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar.
Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu,
obyek formal itu bersifatv teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu
mengadakan penyatuan diri dengan realita
Filsafat
dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis,
dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial
and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis,
sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya
Filsafat
memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman
realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan
secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu
Filsafat
memberikan penjelasan yang terakhri, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar
[primary cause] sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu
mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder [secondary cause]
Bab VII
Kesimpulan
Dari pembahasan tentang pengertian dan ruang lingkup
filsafat ilmu, maka dapat kita ambil kesimpilan bahwa filsafat itu bersifat
universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan obyek
material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya,
ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan
terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin
tertentu. Filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian
dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan
ilmu bersifat fragmentaris, spesifik dan intensif. Filsafat sebagai induk dari
segala ilmu membangun kerangka berfikir dengan meletakkan tiga dasar utama,
yaitu ontologi, epistimologi dan axiologi. Maka Filsafat Ilmu merupakan bagian
dari epistimologi (filsafat ilmu pengetahuan yang secara spesifik mengkaji
hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah).
Berdasarkan
uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa : Filsafat pengetahuan
(Theori of Knowledge Erkennistlehre, Kennesleer atau Epistimologi) lahir
sekitar abad ke-18. Pada saat itu, Immanuel Kant menyatakan bahwa filsafat
merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan
manusia secara lengkap. Filsafat berasal dari bahasa
Yunani Philosophia, dan terdiri dari kata Philo yang
berarti kesukaan atau kecintaan terhadap sesuatu, dan
kata Sophia yang berarti kebijaksanaan.
Sedangkan
dalam bahasa Arab, ilmu ( ilm ) berasal dari
kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah
tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari
kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda
dengan science (sains).
Objek
adalah sesuatu yang merupakan bahan (komponen) pembentuk pengetahuan. Dan objek
dalam suatu ilmu pengetahuan itu dibedakan menjadi dua, yaitu objek material
dan objek formal.
1. Objek
Material Ilmu
Objek
Material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan
pengetahuan itu.Dalam filsafat ilmu, objek material adalah ilmu pengetahuan itu
sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode
ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum.
3. Objek
Formal
Sedangkan
Objek Formal adalah sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian
atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu
disorot. Seperti fisika, kedokteran, agama, sastra, seni, sejarah, dan
sebagainya. Sudut pembahasan inilah yang dikenal sebagai objek formal.
Dan uraian tersebut di atas dapat
kita ambil kesimpulan bahwa apabila dilihat dan sisi obyeknya, maka filsafat
ilmu merupakan cabang dan filsafat yang secara khusus membahas proses keilmuan
manusia. Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa obyek substantif dalain
filsafat ilmu tersebut di atas pada dasarnya merupakan obyek material,
sedangkan obyek instrumentatif adalah obyek formal. Filsafat adalah usaha untuk
memahami atau mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilai. Pengertian
filsafat disederhanakan sebagai proses dan produk, yang mencakup pengertian
filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep dan para filsuf pada zaman
dahulu, teori, sistem tertentu yang merupakan hasil dan proses berfilsafat dan
yang mempunyai ciri-ciri tertentu, dan filsafat sebagai problema yang dihadapi
manusia. Filsafat berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan
sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang menjadi tujuan
hidupnya. Dengan belajar filsafat, tidak menyebabkan kita untuk berhenti
belajar, karena dalam filsafat tidak akan pernah akan dapat mengatakan selesai
belajar.
Bab VIII
Penutup
B. Saran
1. Hanya dengan cara dan metode
tertentu pengetahuan dapat diperoleh
2. Ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak
berguna bila tidak dibagi atau diberikan kepada orang lain
3. Ilmu pengetahuan yang ada harus
dimanfaatkan
4. Sebagai pembaca yang budiman saya
meminta saran dan kritikkannya agar makalah kami berikutnya dapat bermanfaat
DAFTAR PUSTAKA
Adib
Mohammad, 2011. Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan
Logika Ilmu Pengetahuan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Mufit Fathul,
2008, Filsafat Ilmu Islam, Kudus, STAIN.
Mustansyir
Rizal & Misnal Munir, 2003, Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Surajiyo,
2009, Ilmu Filsafat (Suatu pengantar). Jakarta : Bumi Aksara.
Susanto,
2011, Filsafat Ilmu (Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis,
dan Aksiologis).Jakarta : Bumi Aksara.
Suriasumantri Jujun
S, 2003 Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Jujun
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2005), hal. 33. Lihat Juga Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu Sejarah
& Ruang Lingkup Bahasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
Mohammad
Muslih, Filsafat ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori
llmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Belukar, 2005)
Musa
As’ari, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berfikir, (Yogyakarta: LESFI, 1999)
M.
Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat
Multikultural dan Multireligius, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat
lAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Mei 2000)
Noeng
Muhadjir. Filsafat Ilmu: Positivisme, Pos-Positivisme dan Pos-Modernisme, (Yogyakarta:
Rakesarasin)
The
Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberti, 1991)
Jujun
Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000), 142-143
Louis
Leahy, Horizon Manusia: Dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan(Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2002), 17
Alsa, Pendekatan
Kuantitatif serta kombinasinya dalam Penelitian Psikologi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1990), 3
K.
Leksono, Berakhirnya Manusia dalam Kebangkrutan Ilmu-ilmu (Yogyakarta:
Basis No. 01-02, Th. 51), 31
Wilardjo
dalam Jujun Suriasumantri, op.cit, 237
D.
Marzuki, Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu (Jakarta:
Grasindo, 2000),5
Jujun
Suriasumantri, op.cit, 3
Louis
Leahy, Agama dalam Konteks Zaman ini (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1997), 32
Komentar
Posting Komentar