PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gerak merupakan ciri kehidupan.
Gerakan tubuh dalam hal ini gerak yang dihasilkan
oleh kontraksi otot, memungkinkan manusia melakukan berbagai hal yang menunjang
kehidupannya. Manusia Mempertahankan Keselamatannya dengan bergerak bergerak:
Reflek menghindar , berlari, menunduk, memungkinkan orangmenjaga diri dari hal
yang mempertahankan tubuhnya. Belajar gerak ini adalah menambah pengetahuan,
pemahaman, atau penguasaan melalui pengalaman atau penyelidikan.
Menurut Hergenhahn dan Olson (1993)
Belajar adalah sebagai suatu perubahan yang relatif permanen dalam prilaku atau
dalam potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman dan tidak dapat di kaitkan
dengan keadaan sementara dari tubuh seprti disebabkan oleh sakit, kelelahan
atau obat-obatan. Gerak disini tentunya berhubungan dengan
keterampilan, yang dalam arti luas bermakaksud mengembangkan penguasaan
seseorang terhadap keterampilan gerak.
Menurut
Schmidt (1991) pembelajaran
gerak adalah serangkaian gerak yang dihubungkan dengan latihan atau pengalaman
yang mengarah pada perubahan-perubahan yang relatif permanen dalam kemampuan
seseorang untuk menampilkan gerakan-gerakan yang terampil.
B. Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah penulis bahas di atas, agar makalah ini lebih mengarah dan tidak terlalu
luas, maka penulis menarik pembahasan dalam makalah ini yang berfokus pada
masalah di antaranya:
2. Landasan
Filofis Belajar Gerak.
3.
Motor Educability
C.
Tujuan
Penulis menyusun makalah ini dengan
tujuan :
1. Untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh Pembelajaran Motor learning dan Perkembangan Ilmiah serta Struktur
Ilmu Keolahragaan dalam mengahadapi masalah seperti dalam olahraga terhadap
prestasi seorang atlet
2. Mengupayakan agar tugas dan
peran pokok seorang pelatih untuk membangun keterampilan gerak seorang atlet
dengan baik yang pada akhirnya tujuan utama prestasi olahraga bisa tercapai
D.
Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam
penulisan makalah ini adalah agar para pelatih, guru dan orang yang bergelut
didalamnya melaui pemahaman akan fungsi tugas dan perannya bisa meningkatkan
kemampuan mendidik atau mengajar terhadap anak didiknya serta mampu
mengembangkan potensi diri peserta didik, mengembangkan kreativitas dan
mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi
yang inovatif, sehingga para Atlet/siswa mampu bersaing di manapun itu.
BAB II
PEMBAHASAN
Apakah yang dimaksud belajar gerak? Definisi belajar gerak
menurut Schmidt (1991) adalah “
serangkaian proses yang dihubungkan dengan latihan atau pengalaman yang
mengarah kepada perubahan-perubaha yang relative menetap dalam kemampuan
seseorang untuk menampilkan gerakan-gerakan yang terampil”. Pada dasarnya
definisi Schmidt di atas mengandung 3 (tiga) aspek penting, yakni (1) belajar
merupakan pengaruh latihan atau pengalaman. Perkembangan kemampuan memang bisa
berkembang tanpa dilatih. Kemampuan tersebut berkembang misalnya, karena pengaruh
kematangan dan pertumbuhan. Contoh keterampilan berlari. Tanpa dilatih dalam
arti sebenarnya , kemampuan berlari tetap akan berkembang karena adanya
pengaruh kematangan. Siapapun anaknya normal pasti akan mengusai keterampilan
berlari tanpa berlatih, tetapi perlu ditanyakan sampai dimanakan kemampuan
prestasi berlarinya?. (2) belajar tidak langsung termati. Ketika latihan
erlangsung terjadi banyak perubahan dalam system saraf pusat. Perubahan
tersebut terjadi karena penganyaman berbagai kemampuan dan pengalaman gerak
dalam situasi memori dalam otak. Proses inilah yang memantapkan perubahan yang
terjadi agar relative menetap. (3) perubahan yang terjadi relative melekat.
Banyak perubahan dalam penampilan terjadi oleh sebab lain yang sifatnya hanya
sementara, misalnya oleh kelelahan, obat-obatan atau kondisi lingkungan.
Perubahan dalam diri individu yang bersifat sementara di
ibaratkan sebagai air. Air akan mendidih jika dipanaskan, sehingga bentuknya
berubah pada saat itu. Tetapi ketika air dingin kembali, maka ujudnya akan
kembali menjadi air yang tenang seperti semula. Proses belajar akan merubahnya
mennjadi orang yang benar-benar baru. Luarnya tetap sama, tetapi kemampuannya
sudah berubah. Mengukur pembelajaran gerak.
Gagasan bahwa pembelajaran gerak tidak di ukur, tidak dapat
diamati menimbulkan pertanyaan tentang bagaimanakah kemajuan pembelajaran itu
dapat di ukur? Jalan yang dapat ditempuh untuk menghindari hal-hal yang
demikian adalah “ mengetahui hakikat dan pola perkembangan hasil belajar. Hal
ini meliputi seperti berikut ini : (a) Turun Naiknya Perkembangan Belajar. (b)
Sifat pengaruh latihan.
Tujuan akhir dari pembelajaran gerak adalah “kemampuan
penguasaan keterampilan” Keterampilan seseorang dalam tugas gerak tertentu akan
menentukan seberapa besar kemampuan orang itu dalam menyelesaikan tugas yang
diberikan dengan derajat keberhasilan yang tinggi. Untuk sampai pada tujuan akhir tersebut
diperlukan pengetahuan yang mendasar tentang bagaimana keterampilan bisa
dihasilkan serta factor apa saja yang berperan dalam gerakan itu? Pertama yang harus dikuasai adalah mempelajari bagaimana gerakan itu bisa
berlangsung. Kedua berhubungan dengan
syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar keterampilan gerak dapat
dicapai dengan baik. Keterampilan gerak dapat dicapai dengan cara latihan atau
dengan berbagai keterlibatan dengan berbagai pengalaman. Ulasan berikutnya akan
dibicarakan tentang : Hakikat akhir dari
proses pembelajar gerak adalah “Penampilan yang Terampil”.
Menurut Schmidt (1991) definisi keterampilan adalah “
kemampuan untuk membuat hasil akhir dengan kepastian yang maksimum dengan
pengeluaran energy dan waktu yang minimum”. Singer (1980) keterampilan adalah “
derajat keberhasilan yang konsisten dalam mencapai suatu tujuan dengan efesien
dan efektif”. HW. Johnson dalam Singer (1980) Memberikan ciri-ciri ketrampilan
kedalam 4 aspek variable, yakni kecepatan, akurasi, bentuk dan kesesuaian. (1)
bahwa keterampilan itu dapat ditentukan dengan waktu yang cepat. Artinya
semakin cepat semakin baik. (2) keterampilan itu harus memiliki tingkat akurasi
yang tinggi sesuai dengan target yang ditetapkan. (3) keterampilan itu harus
dapat dilaksanakan dengan hanya sedikit energy yang dikeluarkan, dan (4)
keterampilan itu harus dapat diadaptasikan dengan berbagai situasi dan kondisi
yang berbeda-beda.
Keterampilan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam.
Hal ini untuk memudahkan para pendidik dan para peneliti untuk mempelajarinya.
Ada 3 sistem dikaitkan dengan : (1) Stabilitas lingkungan (2) Jelas tidaknya
titik awal serta titik akhir gerakan, (3) Ketepatan gerakan.
•
Keterampilan terbuka dan tertutup. Berdasarkan stabilitas lingkungan,
keterampilan dapat dibedakan menjadi keterampilan terbuka dan tertutup.
•
Menurut Schmidt (1991) “keterampilan terbuka adalah “keterampilan yang ketika dilakukan
dilingkungan yang berkaitan dengan bervariasi dan tidak dapat di duga”. Sama
dengan Magill (1985) menyebutkan keterampilan terbuka adalah “beberapa
keterampilan yang melibatkan lingkungan yang selalu berubah dan tidak bisa
diperkirakan”. Contohnya Keterampilan memukul bola tenis atau softball pada
saat mau memukul bola yang datang dari lawan tidak dapat diduga sebelumnya
tentang arah dan kecepatannya. Dalam hal ini menurut Gentile (1972)
menganjurkan bahwa “….pelaku harus
bertindak atas rangsangan yang datang”. Jadi jelasnya pelaku tidak bisa
berdiam saja tetapi harus banyak bergerak guna mengantisipasi datangnya bola
dari arah lawan.
•
Keterampilan tertutup. Menunjukkan jenis keterampilan yang sbaliknya. Schmidt
dan Magill sama mendifinisikan keterampilan tertutup sebagai jenis keterampilan
yang dapat dilakukan dalam lingkungan yang relative stabil dan dapat diduga.
Contonhnya bowling, golf, panahan, senam dan renang. Semua keterampilan dalam
olahraga di atas merupakan keterampilan yang ditentukan oleh si pelaku itu
sendiri tanpa harus ditentukan oleh lingkungan sekitarnya.
•
Keterampila diskrit. Menurut Schmidt (1991) suatu jenis “keterampilan yang
dapat ditentukan dengan mudah awal dan akhir gerakannya, yang lebih sering
berlangsung dalam waktu yang singkat.”
Contohnya melempar, menendang bola, senam artistic dan menembak.
Menurut Cronbach (1986) dalam
Hurlock, (1991b:154) menyatakan bahwa keterampilan dapat diuraikan dengan kata
seperti otomatik, cepat, dan akurat. Meskipun demikian, adalah keliru
menganggap keterampilan sebagai tindakan tunggal yang sempurna. Setiap pelaksanaan sesuatu yang terlatih,
walaupun hanya menulis huruf a, merupakan satu rangkaian koordinasi
beratus-ratus otot yang rumit yang melibatkan perbedaan isyarat dan koreksi
kesalahan yang berkesinambungan. Setelah anak dapat mengendalikan gerakan tubuh
secara kasar mereka siap untuk memulai mempelajari keterampilan. Keterampilan tersebut didasarkan atas
kematangan yang pada waktu lahir telah mengubah aktivitas acak menjadi gerakan
terkoordinasi. Sebagai contoh, pada
waktu kematangan otot menghasilkan kemampuan berjalan berarti anak telah siap
belajar meluncur, melompat tinggi, dan melompat jauh. Masa kecil sering disebut
sebagai "saat ideal" untuk mempelajari keterampilan motorik.
Menurut Hurlock
(1991b:156) ada beberapa
alasan yang dapat dikemukakan: Pertama, karena tubuh anak lebih lentur
ketimbang tubuh remaja atau orang dewasa, sehingga anak lebih mudah menerima
semua pelajaran. Kedua, anak belum
banyak memiliki keterampilan yang akan berbenturan dengan keterampilan yang
baru dipelajarinya, maka bagi anak mempelajari keterampilan baru lebih
mudah. Ketiga, secara keseluruhan anak lebih berani pada waktu kecil
ketimbang telah besar. Oleh karena itu,
mereka lebih berani mencoba sesuatu yang baru.
Hal yang demikian menimbulkan motivasi yang diperlukan untuk
belajar. Keempat, apabila para remaja dan orang dewasa merasa bosan
melakukan pengulangan, anak-anak menyenangi yang demikian. Oleh karena itu, anak bersedia mengulangi
suatu tindakan hingga pola otot terlatih untuk melakukan secara efektif. Kelima, karena anak memiliki
tanggungjawab dan kewajiban yang lebih kecil ketimbang yang akan mereka miliki
pada waktu mereka bertambah besar, maka mereka memiliki waktu yang lebih banyak
untuk belajar menguasai keterampilan ketimbang yang dimiliki remaja atau orang
dewasa. Bahkan seandainya mereka
nantinya bertambah besar, dan memiliki waktu yang cukup, mungkin mereka akan
merasa bosan dengan pengulangan yang diperlukan dalam mempelajari keterampilan
tersebut. Akibatnya, mereka tidak akan
menguasai keterampilan itu
sepenuhnya.
B. LANDASAN FILOSOFIS BELAJAR GERAK
2.1 Dualisme
dan monoisme tubuh
Pembahasan secara filosofis belajar dan keterampilan gerak
dapat di dekakti dari konsep dualisme antara tubuh dengan pikiran, yang
kemudian dikembangkan menjadi konsep monisme.
Menurut paham dualisme antara tubuh dan pikiran sangat jelas berbeda.
Tubuh hanyalah suatu benda kompleks yang realistik sementara pikiran berada
pada pikiran pada dimensi abstrak dan bersifat mental. Pikiran tidak bergantung
pada material tubuh, karena itu ketika tubuh tidak berfungsi lagi pikiran dapat
terus eksis secara independen.
Menurut tokoh filosofis, Descartes (1960; dalam Krectmer,
2005;49) tubuh yag berada di alam nyata memiliki kualitas yang bervariasi
seperti bentuk, warna kulit, tinggi badan dan struktur molekul, sementara
pikiran berada pada alam sebaliknya dan tidak memiliki bentuk, warna, tinggi
badan dan struktur molekul. Sebagai contoh, rasa kesenangan yang muncul ketika
melakukan senam aerobik adalah aktivitas pikiran berupa perubahan elektro-kimia
di dalam saluran cranium otak.
Pendekatan dualisme ini mencirikan bahwa tubuh berhubungan
dengan pikiran. Dalam upaya memahami gerak untuk dapat meningkatkan
penampilannya, dapat didekati dari dua sisi yang berbeda, yakni : (1) secara
fisik dapat dikaji dari sistem faal tubuh, (2) dari rasa takut, berani,
motivasi dan personality.
Menurut Krecthmer (2005;50) dualisme sangat terkait antara
pikiran dan praktik, seperti dikatakan Descartes bahwa unsur fisik berbeda
dengan unsur pikiran. Fisik berada dalam ruang, sebuah bola basket berada dalam
ruangan. Tubuh dapat diukur dan diperlukan sebagaimana objek benda lain, yang
patuh tunduk pada aturan hukum alam. Tubuh adalah mesin gweraksebagaimana aksi
ger akdapat dijelaskan melalui prinsip prinsipmekanika 99seperti
tuas/ungkit,dayaa,gaya,kecepatan sudut,dan sebagainya. Sementara itu kaum
dualisme juga memandangbahwa pikiran adalah sisi subjektif kehidupan. Pikiran
tidak sama dengan jasat fisik.gagasan yang dihasilkan dari pikiran tidak
memilki ukuran dan bentuk seperti halnya tubuh.pikiran tidak perlu patuh pada
aturan alam, tetapi bisa dikendalikan oleh aturan-aturan logika,koherensi,danun
kaum unsur-unsur berpikir lainnya.dapat dinyatakan bahwa dualisme menyakini
adanya interaksi antara tubuh dan pikiran .tubuh mempengaruhi pikiran dan
pikiran mempengaruhi tubuh. meskipun alasan mengapa ada hubunganantara dimensi
utuh fisikal dengan non-fisikal sukar dijelaskan,tetapi kaum dualis mengatahui
dari pengalaman pribadi dan penelitian ilmiah bahwatubuh dan pikiran
mempengaruhi satu sama lain.tubuh tidak dapat bergerak sendiri karena hanya
sebuah mesin gerak, karena itu perlu menunggu perintah dari pikiran. Tubuh dan
pikiran hubungan simetris karena tubuh bergantung kepada pikiran.
Berkaitan dengan hal itu, diperlukan dosis dan intensitas
gerak yang dilakukan. Otak dan gerak memang saling mempengaruhi. Pada
perkerjaan latihan fisik yg terlalu berat, melebihi kapasitas fisik itu
sendiri. Contoh M.Ali petinju legendaris menjelang masa tuanya terkena gangguan
motor control sensoris di jaringan otaknya disebut penyakit Parkinson.
Menurut Freberg, LA (2006) Discovering Biological
Psychology. Boston Hougton Miffin Company….Parkinson adalah jenis penyakit
degeratif ciri-cirinya adalah kesukaran dalam bergerak, tremor dan kebekuan
ekspresi wajah. Freberg menjelaskan bahwa penyakit ini nampak ketika neuron
dopaminergic dari substantia nigra di batang otak mulai menurun fungsinya.
Substantia nigra membentuk hubungan erat dengan basal ganglia dalam cerebral
hemisfer. Hasil akhir dari degenerasi dalam substantioa nigra adalah kurangnya
aktivitas dopaminergic pada basal ganglia. Karena basal ganglia sangat berpengaruh
dalam menghasilkan gerakan volunter (voluntary movement) maka tidaklah
mengherankan orang yang mengalami Parkinson sangat sukar dalam mengendalikan
gerakan volunter. Namun demikian jalinan hubungan antara aktivitas jasmani
dengan penampilan dan fungsi otak menumbuhkan bentuk pengetahuan baru dalam
pandangan psikoanalisis pengetahuan diri (pikiran) dan pemahaman filosofi gerak
insani dalam konteks kecerdasan jasmani.
Aktivitas jasmani (olahraga) dalam Psychoanalysis
pengetahuan diri merupakan satu bukti keterkaitan domain kognitif dalam
kegiatan olahraga. Olahraga bisa dianggap sebagai penjelmaan baru dari
aktivitas fisik, yang kemudian lahir istilah baru yaitu ilmu keolahragaan,
perlu pula dianalisis secara filsafat sejauhmana bisa diketehui diri individu
dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan fitrah individu berkualitas.
Pendidikan jasmani dan olahraga dalam konteks pengetahuan
diri juga mengarah pada diskusi Socrates bahwa “ketehuilah apa yang saya tahu
dan apa yang saya tidak tahu” atau kadang-kadang diartikan sebagai kapabilitas
diri dan batasan diri (Hyland, 1990:71).
Suatu ungkapan pelatih yang sering terlontar saat menasehati
atletnya adalah bermainlah apa yang menjadi kelebihan diri dan mengetahui apa
yang menyebabkan keterbatasan diri, untuk kemudian bermain dalam batas-batas
tersebut. Meskipun sukar mengetahui batas-batas kemampuan dan kelebihan diri
sendiri.
Bermainlah dalam batas-batas kemampuan diri mengisyaratkan
bahwa bermain jangan melebihi kapasitas diri, tetapi juga bermainlah sampai
mencapai keterbatasan diri. Mengetahui apa yang dapat dilakukan dan tidak dapat
dilakukan adalah jenis pengetahuan diri, yang dalam kaidah filsafat Socrates
disebut pengetahuan diri.
2.2 Landasan Filosofis Gerak Insani
(Human Movement).
Atas dasar paparan sebelumnya, penulis mencoba merumuskan
gagasan baru sebagai bahan yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai sajian
bahan penulisan selanjutnya. Pembahasan dimulai dari pengertian pendidikan
jasmani dalam perspektif filosofis gerak insani.
Filosofi
pendidikan jasmani dan olahraga menghantarkan penulis betapa pentingnya pemahaman
kecerdasan jasmani berbeda dengan motor
educability atau bodily-kinestetics
intelliegnce. Kecerdasan jasmani
dimaksud sangat komprehensif mencakup kemampuan nalar untuk melakukan gerak
jasmani (olahraga) secara mudah dan efesien, tetapi pada saat yang bersamaan
dapat mengambil nilai refleksi dari kegiatan yang dilakukannya.
Kecerdasan jasmani mengkombinasikan antara kemampuan mental
(intelektual), emosi dan spritualnya secara serampak dan tidak ada bagian
dimensi utuh manusia yang dilupakan.
Penelusuran
psikoanalisis pengetahuan dalam konteks olahraga mengantarkan pemahaman
kecerdasan jasmani dalam dimensi psikomotorik, kognitif dan afektif. Dalam
psikomotorik terkandung muatan pilihan gerak yang di intervensi oleh status
sosial, jenis olahraga. Dimensi koqnitif berupa pengetahua bio-fisikal tubuh
dalam upaya mendapatkan status jasmani yang optimal.
Dimensi affektif berupa suasana hati (mood) manakala
keterikatan diri dengan olahraga sangat dipengarhui oleh salera gerak,
kesempatan gerak, kebiasaan gerak, pola asuh keluarga serta keadaan fisik.
Beberapa dimensi ini sering berinteraksi membentuk suatu pemahaman baru dalam
penyelenggerakan pendidikan jasmani di sekolah dan di luar sekolah. Pertanyaan
yang dapat diajukan bagaimanakah pola manajemen pendidikan jasmani dapat
memfasilitasi kebutuhan gerak?.
2.3 Landasan Biologis Peristiwa
Gerak.
Ketika penampilan gerak secara luar biasa, istimewa,
menakjubkan dapat disuguhkan, sebagaimana yg pernah di lakukan Lim Swie King
dengan jump smashnya, Susi Susanti dengan
drop shot menukik tajam atau Taufik Hidayat dengan backhand smash
andalannya merupakan peristiwa gerak yang sangat luar biasa. Pertanyaannya
mengapa mereka bisa melakukan itu?.
Bagaimana
proses geraknya?. Untuk keperluan itu, disajikan proses biologis kontraksi otot
yang dikendalikan oleh sistem syaraf. Jenis otot = otot membentuk jaringan
tubuh manusia yang tugasnya bertanggung jawab terhadap semua gerakan tubuh
manusia. Ada dua jenis, yakni (1) otot halus (smooth muscle), (2) otot lurik
(striated muscle) dinamakan otot lurik karena terbagi dua, yakni otot rangka
skeletal muscle dan otot jantung cardiac muscle Freberg (2006). Otot halus
ditemukan di sistem pencernaan, pembuluh darah arteri dan sistem reproduksi.
Otor jantung terdiri dari jaringan serabut otot disekitar jantung sedangkan
otot rangka menempel pada tulang fungsinya menggerakkan manusia.
Memahami peristiwa gerak yang terjadi, diperlukan konsep
teori biologis tentang gerak manusia. Untuk keperluan itu, proses biologis
kontraksi otot dikendalikan oleh sistem syaraf.
Otot dapat berkontraksi disebabkan oleh pergerakan filament tebal myosin
pada filament tipis actin. Manakala
filament bergeser satu sama lain, maka garis Z bergerak memendek dan sarcomer
pun memendek, maka terjadilah kontraksi otot dan terjadinya gerakan. Awal terjadinya gerakan dapat dipahami
melalui konsep aktivitas gerak dalam dua area fungsi, yakni pre frontal cortex
dan parietal lobes. Kedua area ini
merupakan bagian otak yang berfungsi untuk mewujudkan suatu gerak, dan menyusun
urutan gerak sebelum gerakan itu terjadi. Selanjutnya pre frontal cortex dan parietal lobes
ditindak lanjuti oleh supplementary motor area dan premotor area yang dalam
tugasnya bertanggung jawab mengelola gerakan. Fungsi kedua area motor tersebut
terutama memunculkan gerakan-gerakan yang kompleks. Secara biologis peristiwa terjadi akibat
perubahan sistem kimia dan elektrik di dalam reseptor-reseptor otot. Reseptor
otot tersebut membentuk jaringan sistem untuk dapat memunculkan peristiwa
gerak.
2.4 Landasan Neuro-Fisiologis Gerak
Secara fisiologis, landasan terjadinya gerak di awali dari
niat sebagai pusat pengambil inisiatif yang ada pada Corpus Striatum. Corpus Striatum berfungsi sebagai pusat
sistem extrapyramidal, selanjutnya niat dikomunikasikan kepusat memori dan
emosi untuk menentukan pola gerak. Pesan
(informasi) yang diterima oleh saraf pusat, kemudian direlay kedaerah bagian
otak yang menyusun hirarki tingkat menengah.
Secara anatomi, memori dan emosi terletak pada area motor
suplementer dan cortex asosiasi. Semua struktur ini berkorelasi dengan bagian
otak lain. Secara fisiologis, rencana gerak diterima dari pengendali gerak yang
terletak dibagian cortex cerebri dan cerebellum,
nuclei, subcortical dan batang otak. Neuron-neorun ini menerima impuls komando bersamaan menerima
impuls-impuls afferent yang berasal dari reseptor-reseptor otot, tendo, sendi,
kulit, alat vestibular dan mata, yang memberitakan tentang posisi awal tubuh
yang akan digerakkan.
Informasi aferen ini di integrasikan kemudian disusun
menjadi program gerak, kemudian disalurkan melalui jalur desenden kebatang otak dan medulla spinalis. Pertanyaan apa yang mengatur gerak berjalan?.
Gerak berjalan
diatur oleh medulla spinalis pada tingkat neuron motoris. Di tingkat medulla
spinalis terpadat jaringan interneuron yang berfungsi sebagai pusat pembangkit
gerak involunter berkoordinasi dengan impuls aferen yang mengatur otot-otot
lengan, bahu, tubuh dan tungkai. Gerak volunter adalah jenis gerak sadar
dan kewaspadaan, sedangkan gerak involunter adalah gerak yang tidak disadari
atau disebut gerak refleks. Ciri-ciri gerak volunter : (1) gerak sadar dan
waspada mengenai apa yang dikerjakan, (2) perhatian dicurahkan pada gerak yang
dilakukan.
C. MOTOR EDUCABILITY
Motor Educability
Sinonim dari kata “motor” sering disama artikan dengan
gerak (movement), namun sesungguhnya
pengertian kedua kata ini berbeda. Seperti yang dijelaskan Mahendra (1996:59)
bahwa: “Movement adalah gerak yang
bersifat eksternal atau dari luar dan mudah diamati, sedangkan motor adalah gerak yang bersifat
internal atau dari dalam, konstan, dan sukar diamati.”
Perilaku motorik dalam dunia
olahraga sangat penting untuk diketahui, karena hubungan antara perilaku
motorik dan penguasaan gerak dalam olahraga sangat berkaitan erat. Lutan
(1988:53) menjelaskan bahwa perilaku motorik meliputi: “1) kontrol motorik (motor control), 2) belajar motorik (motor learning) dan 3) perkembangan
motorik (motor development).” Ketiga
hal ini disebut sebagai motor behavior
atau perilaku motorik. Selanjutnya Barrow & McGee (1978) dalam Nurhasan
(2000:107) menerangkan bahwa: “General
abilities secara tradisional motor
behavior untuk manusia dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu: motor capability, motor educability, motor
ability, dan motor fitness.”
Motor educability adalah kemampuan
seseorang untuk mempelajari suatu keterampilan gerak yang baru atau new motor skill. Hal ini diperkuat oleh
pendapat Clarke (1958:265) tentang motor
educability yaitu, “The ease with
which an individual learn new skills”. Maksud penjelasan tersebut adalah
kemudahan seseorang untuk mempelajari keterampilan baru disebut motor educability. Hal ini juga
diperkuat oleh pendapat Lutan (1988:115) bahwa, “Motor educability adalah kemampuan umum untuk mempelajari tugas
secara cermat dan tepat.” Kemampuan ini merupakan kemampuan potensial yang
menunjukkan cepat tidaknya atau mudah tidaknya seseorang menguasai suatu
keterampilan gerak yang baru. Dengan kata lain dapat dinyatakan, kian tinggi
tingkat motor educability seseorang
maka kian mudah dan cepat orang tersebut menguasai suatu keterampilan yang baru
dipelajarinya.
Dalam proses pembelajaran gerak,
banyak hal yang harus diperhatikan salah satunya adalah motor educability. Dari konsep ini dapat dilihat kemampuan belajar
siswa dalam menguasai pembelajaran gerak yang akan dipelajarinya. Kaitan antara
kemampuan seseorang dalam mempelajari suatu gerakan baru berhubungan dengan
kemampuan intelegensi seseorang. Hal ini dijelaskan oleh Cloy dan Young dalam
Sutresna (2002:84) bahwa, “… is ability
to learn motor skills easily and well, it corresponds, in the area of general
motor skill, to intelegence in the area of classroom subject.”
Motor
educability yang dimiliki seseorang menggambarkan tingkat
kemampuan seseorang dalam menerima dan merespon keterampilan baru yang
diperolehnya. Makin tinggi tingkat potensial educabilitynya, berarti derajat penguasaan terhadap gerakan-gerakan
yang baru makin mudah. Seperti yang dijelaskan Nurhasan (2000:116) bahwa,
“Kualitas potensial motor educability akan
memberikan gambaran mengenai kemampuan seseorang dalam mempelajari
gerakan-gerakan yang baru makin mudah”. Dalam proses belajar gerak, motor educability seseorang turut mendukung
tercapainya tujuan dari proses pembelajaran yang akan dipelajarinya.
Dalam belajar keterampilan gerak
terjadi perubahan yang bertahap. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Fitts
(1964) yang dikutip oleh Lutan (1988:305) yaitu: “Tahap kognitif, Tahap
Asosiatif, dan Tahap Otomatisasi”. Artinya dalam belajar keterampilan gerak,
perubahan hasil belajar dapat dapat dicermati pada perubahan kemampuan
pengetahuan, pemahaman, penerapan suatu teknik permainan dan pengambilan
keputusan yang cepat (tahap kognitif). Selanjutnya adalah tahap Asosiatif yaitu
tahapan belajar berupa pengorganisasian pola-pola gerakan yang lebih efektif
untuk menghasilkan aksi. Tahap Otomatisasi adalah tahap belajar yang
menggambarkan kemampuan gerak yang terkontrol. Mahendra dan Ma’mun (1996:96)
menjelaskan, “Tahap ini disebabkan oleh meningkatnya otomatisasi dalam analisis
indera terhadap pola-pola lingkungan, dimana tanda-tanda yang dini dari suatu
permainan dalam suatu cabang olahraga dapat dideteksi dengan cepat dan akurat.”
Seseorang dapat dikatakan mempunyai motor educability yang baik apabila
seseorang memperlihatkan penampilan semakin cepat menguasai suatu gerakan
dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Berkaitan dengan hal ini, Schmidt dan
Wrisberg (2000:10) mengemukakan, “Minimization
of energy expenditure” yang berarti mengurangi pengeluaran energi untuk
gerakan yang tidak seharusnya dilakukan.
Kualitas motor educability akan memberikan Gambaran mengenai kemampuan
seseorang dalam mempelajari gerakan-gerakan yang baru dengan mudah. Semakin
seseorang menunjukkan kemudahan ketika menerima gerakan yang baru maka
seseorang itu dapat disebut mempunyai tingkat motor educability yang tinggi. Dengan demikian motor educability mempunyai peranan yang penting dalam proses
pembelajaran gerak seseorang.
Dalam olahraga, baik guru maupun
pelatih misalnya bertugas untuk mengajarkan keterampilan baru atau
menyempurnakan yang sudah lazim dikuasai. Maka oleh sebab itu ada beberapa
komponen penting dalam motor educability
dijelasakan oleh Oxendine yang dikutip Lutan (1988:116) bahwa: “Beberapa
komponen motor educability yaitu: (1)
ada makhluk hidup yang termotivasi; (2) ada insentif yang menuntun ke arah
pemuasan motif-motif tertentu; (3) ada hambatan atau rintangan yang mencegah
untuk diperolehnya insentif itu dengan segera; dan (4) ada usaha atau kegiatan
dari organisme yang bersangkutan untuk memperoleh insentif itu.”
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa komponen motor
educabilty tersebut di atas juga dapat diterapkan dalam belajar motorik.
Tujuan yang ingin dicapai harus ditetapkan untuk mengarahkan kegiatan belajar.
Faktor motivasi juga penting utuk belajar motorik. Insentif seperti sukses
melakukan suatu keterampilan, pengakuan lingkungan terhadap prestasi misalnya
merupakan motivasi yang mendorong seseorang untuk mengulang-ulang kegiatannya.
Hambatan akan selalu dialami, sehingga kegiatan belajar tak pernah berhenti.
Semua makhluk hidup berusaha untuk mengatasi hambatan itu. Tindakan mengatasi
hambatan harus dilakukan oleh organisme yang bersangkutan. Oleh karena itu yang
paling penting dalam belajar adalah self-activity
dan dianggap sebagai komponen untuk memperlancar proses belajar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
pembinaan olahraga harus dipahami
sebagai sebuah sistem yang kompleks, sehingga masalah-masalah yang terdapat di
dalamnya perlu ditelaah dari sudut pandang yang lugs. Gejala dalam kegitan
olahra¬ga tidak semata-mata dipandang dari aspek bio-psikis, tapi jugs dari
aspek sosial-budaya. Karena itu pula, prestasi olahraga merupakan se¬buah
gejala majemuk gejala bio-psiko-socio-kultural.
Ada empat dimensi kegiatan olahraga: olahraga kompetitif yang menekankan kegiatan perlombaan dan pencapaian prestasi; olahrga profesional yang menekankan tercapainya keuntungan material; olahraga rekreatif yang menekankan tercapainya kesehatan rohani dan jasmani pencapaian kesegaran jasmani dan pelepasan ketegangan hidup sehari-hari; olahraga pendidikan yakni olahraga yang menekankan aspek kependidikan di mana olahraga merupakan alas mencapai tujuan pendidikan Persamaan umum ialah bahwa keempat dimensi olahraga tersebut memanfaatkan gerak rnanusia dalam pengertian umum, dan keterampilan dalam pengertian yang lebih spesifik.
Ada empat dimensi kegiatan olahraga: olahraga kompetitif yang menekankan kegiatan perlombaan dan pencapaian prestasi; olahrga profesional yang menekankan tercapainya keuntungan material; olahraga rekreatif yang menekankan tercapainya kesehatan rohani dan jasmani pencapaian kesegaran jasmani dan pelepasan ketegangan hidup sehari-hari; olahraga pendidikan yakni olahraga yang menekankan aspek kependidikan di mana olahraga merupakan alas mencapai tujuan pendidikan Persamaan umum ialah bahwa keempat dimensi olahraga tersebut memanfaatkan gerak rnanusia dalam pengertian umum, dan keterampilan dalam pengertian yang lebih spesifik.
Prestasi olahraga terus meningkat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi ialah faktor eksogen, seperti
lingkungan fisik tempat berlatih, lingkungan keluarga yang r-riembantu
membangun ambisi, clan faktor endogen yakni atribut yang melekat pada diri
seseorang seperti struktur anatomi, kemampuan fungsi fisiologis, dan sistem
persyaraf an. serta ciri-ciri kepribadian yang bersangkutan. Beberapa ciri
masalah pokok dalam pembinaan olahraga ialah ketimpangan daya yang dialokasi
untuk kegiatan olahraga pendidikan dan olahraga prestasi. kurangnya investast
i1miah, Iemahnya manajemen dan pendekatan parsial. Sama sekali tidak sesuai dengan
tuntutan olahraga modern seperti sikap menerabas atau potong kompas, rendah
motif berprestasi, agresif tapi kurang fair, dan kurang bersedia untuk bekerjp
keras. Olahraga kompetitif iuga mengandung'-pbtensi negatif, di samping dampak
positif, sehingga gurul pelatih olahraga harus mengelola kegiatan In itu guns
memperoleh manfaat yang maksimal.
Untuk memperoleh manfaat yang
maksimal clan meningkatkan efektivitas dan efisiensi permbinaan, dibutuhkan
metode ilmiah dan semangat ilmiah.
Ilmu keolahragaan yang dibangun melalui kegiatan penelitian dengan unit analisis-perilaku manusia dalam konteks olahraga merupakan interdisiplin. Beberapa disiplin ilmiah yang merupakan elemen ilmu keolahragaan ialah sport medicine, ilmu faal olahraga (exercise science), psikologi olahraga, sosiologi olahraga, bio-mekanik, kinanthropometry, sport pedagogy, ad-ministrasi olahraga, sejarah olahraga, dan filsafat-olahraga.
Ilmu keolahragaan yang dibangun melalui kegiatan penelitian dengan unit analisis-perilaku manusia dalam konteks olahraga merupakan interdisiplin. Beberapa disiplin ilmiah yang merupakan elemen ilmu keolahragaan ialah sport medicine, ilmu faal olahraga (exercise science), psikologi olahraga, sosiologi olahraga, bio-mekanik, kinanthropometry, sport pedagogy, ad-ministrasi olahraga, sejarah olahraga, dan filsafat-olahraga.
Teori itu sendiri dibangun melalui
penelitian ilmiah yang sistematis dengan me-manfaatkan metode dan insirumen
yang cermat untuk mengumpulkan fakta-fakta. Teori itu sendiri terbangun oleh
elemen-elemen berupa konstruk dan hukum-hukum yang diperoleh dari sejumlah
penelitian. Sampai seberapa jauh kebenaran teori, hat itu perlu diuji lagi
melalui penelitian. Tugas peneliti bukan membuktikan suatu teori itu benaratau
sa¬lah. Jika fakta yang diperoleh selaras dengan teori, maka kesimpulannya
ialah fakta-fakta baru itu mendukung teori yang telah ada. Sebaliknya. jika
sejumlah fakta baru tak cocok dengan teori yang ada, maka teori lama itu tak
dapat dipertahankan lagi lebenarannya.
Elemen terakhir dari struktur
pengetahuan ilmiah ialah model. Fungsi model analog dengan fungsi feori.
Perbedaannya adalah, dengan' se¬buah model kaftan antara konstruk yang abstrak
divisualisasikan.
Daftar Pustaka
Bigge, Mol-ris L.,_ dan Hunt, Maurice P., (1969), Psycological Faountion of Education, Tokyo, John Weatherhill, Inc.
Brown, Eugene-dan Branca, Crystal F, (1988), Competitive Sports for Children and Youth, An Overview of Research and Issues, Champaign: Human Kinetics Publishers, Inc,
Calnoun, Donald.W. (1987), Sport, Culture, 'and Personality, Champaign: Human Kinetics Publishers, Inc.
Greendorfer, Susan L., dan Ylannakis, Andrew (ed)., (1981), Sociologyof Sport : Perspective, West Point : Leisure Pres.
Grupe, Ommo,Kurz, Dietrich, dan Teipel, Johanes Marcus (ed), (1972), The Scientific View of Sport : Perspective, Aspects, Issues, Neidelberg; Springererlag Berlin.
Harre Dietrich (ed.), (1982), Principles of Sport Training., Introduction to Theory and Methods, Berlin : Sportverlag.
Hart, M. Marie (ed.), (1980), Sport in the Socio-Cultural Process, Dubuque WM. C. Brown Company Publishers.
Komentar
Posting Komentar