A.
Arti dari
Fair Play Menurut Ahli
Fair play
berarti semua peserta memiliki kesempatan yang adil untuk mengejar kemenangan
dalam olahraga kompetitif, memiliki kemampuan meraih kemenangan melalui sikap
yang elegan dan sportif (Armando, 2010). Fair play mensyaratkan bahwa
semua kontestan memahami dan mematuhi tidak hanya kepada aturan formal dari
permainan tetapi juga aturan main yang tidak tertulis (Shields&Bredemeier,
1995) dalam Robert S. Weinberg., Daniel Gould (2007). Sedangkan menurut
Amansyah, (2010) fair play merupakan sikap mental yang menunjukkan
martabat ksatria pada olahraga. Nilai fair play melandasi pembentukan
sikap, dan selanjutnya sikap menjadi landasan perilaku. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa fair play adalah pemberian kesempatan yang sama
untuk menang kepada kedua tim yang bertanding. Seluruhnya harus menjunjung
tinggi peraturan yang berlaku dan tetap menjaga persahabatan di tengah-tengah
besarnya semangat persaingan, oleh karena itu dalam pandangan masyarakat hal
tersebut akan memiliki nilai yang tinggi.
FIFA sebagai organisasi sepakbola dunia, sejak Piala Dunia
1990 sangat gencar mempropagandakan fairplay, dan secara resmi logo fairplay
yang dikenal dengan slogan “My Game is Fair Play” diumumkan pada
tahun 1993. Sejak saat itu, tradisi pemberian penghargaan kepada insan
sepakbola yang dinilai mampu memberikan teladan yang baik bagi masyarakat
sepakbola dunia kian gencar diberikan. FIFA kemudian menciptakan “Golden
Rule” yang diharapkan bisa menjadi pedoman bagi seluruh insane sepakbola
dunia. Armando Pribadi (2010), secara sederhana dan ringkas mengartikan “Golden
Rule” FIFA sebagai berikut:
- Jangan bermain membahayakan pemain lawan.
- Hormati aturan main dan jalankan dengan baik semua instruksi official.
- Hormati lawan seperti selayaknya kolega kita di sepakbola.
- Tetap mampu memperlihatkan sikap menjunjung tinggi disiplin, walaupun dalam situasi yang sulit atau tidak mengenakkan.
- Berikan dukungan terhadap siapapun yang berupaya mengenyahkan tindakan curang dalam pertandingan.
- Tunjukkan perhatian besar terhadap pemain yang cedera dengan segera menghentikan pertandingan dalam situasi apapun.
- Jangan pernah punya niat untuk balas dendam terhadap kesalahan yang dilakukan pemain lain.
- Main sesuai dengan perintah tiupan peluit wasit.
- Rendah hati saat merayakan kemenangan, serta berjiwa besar dalam menerima kekalahan.
- Memberikan penghargaan terhadap individu atau lembaga yang secara luar biasa telah menjunjung tinggi sikap-sikap fair play.
Fair play adalah kebesaran hati terhadap lawan yang
menimbulkan perhubungan kemanusian yang akrab dan hangat dan mesra. Fair play
merupakan kesadaran yang selalu melekat, bahwa lawan bertanding adalah kawan
bertanding yang diikat oleh pesaudaraan olahraga. Jadi fair play merupakan
sikap mental yang menunjukkan martabat ksatria pada olahraga. Nilai fair play
melandasi pembentukan sikap, dan selanjutnya sikap menjadi landasan
perilaku.
B. Epistemologi (Bagaimana)
1. Olahraga
Epistemologi
menjawab bagaimana keberadaan Olahraga. Dengan objek material, gerak manusia,
dan objek forma dalam rangka keseluruhan kepribadian dan parsial yang terbagi
atas ilmu gerak, teori latihan, teori belajar gerak, teori bermain dan teori
intruksi.
Olahraga
itu sendiri pada hakikatnya bersifat netral, tetapi masyarakatlah yang kemudian
membentuk kegiatannya dan memberi arti bagi kegiatan itu dan memanfaatkannya
untuk tujuan tertentu. Seperti di Indonesia, sesuai dengan fungsi dan
tujuannya, kita mengenal beberapa bentuk kegiatan olahraga, sesuai dengan motif
dan tujuan utama, yakni: (1) Olahraga pendidikan, yaitu olahraga untuk mencapai
tujuan yang bersifat mendidik dan sering diartikan sama maknanya dengan istilah
pendidikan jasmani; (2) Olahraga rekreasi, yaitu olahraga untuk mencapai tujuan
yang rekreatif; (3) Olahraga kesehatan yaitu olahraga untuk tujuan pembinaan
kesehatan; (4) Olahraga cacat, yaitu olahraga untuk orang cacat, termasuk
kegiatan olahraga dalam konteks pendidikan untuk anak-anak cacat yang lazim
disebut dalam istilah Adapted physical education ; (5) Olahraga penyembuhan
atau rehabilitasi, yaitu olahraga atau aktivitas jasmani untuk tujuan terapi,
dan (6) Olahraga Kompetitif (prestasi), yaitu olahraga untuk tujuan mencapai
prestasi setinggi-tingginya.
Olahraga
tidak dapat dipisahkan dengan dunia nyata, lingkungan alam dan ligkungan sosial
serta lingkungan geografis. Makna olahraga itu mencapai taraf yang lebih tinggi
dalam lingkungan social budaya yang didorong oleh strata budaya.
Jadi,
olahraga dilakukan karena berbagai alasan penting dari sisi pelakunya.
Nilai-nilai dan manfaat (kemaslahatan) yang di peroleh para pelaku itu didapat
dari partisipasi atau keterlibatan aktif sebagai pelaku dalam beberapa kegiatan
yang bersifat hiburan, pendidikan, rekreasi, kesehatan, hubungan sosial,
perkembangan biologis, kebebasan menyatakan diri, pengujian kemampuan sendiri
atau kemampuan diri dibandingkan dengan orang lain.
C.
Etika Berkaitan Dengan Moral
Tindakan moral adalah prilaku yang tampak yang dinyatakan dan
sejalan dengan sistem nilai yang dianut. Pertimbangan moral yang memberlakukan
nilai yang dianut, berkaitan langsung dengan empati ( kemampuan membaca
perasaan orang lain ), pengendalian diri, dan kesadaran bahwa kita berbuat
sesuatu terhadap orang lain.
Perkembangan moral berlandaskan dengan (1) apa yang dipandang
baik dan fair (2) apa alasan untuk berbuat baik dan (3) apa perspektif budaya
yang melandasi perbuatan baik itu, pada tahap heteromi, seseorang melandaskan
pertimbangan moral mereka kepada kepatuhan searah yaitu kepada penguasa
(otoritas) seperti orang tua, orang dewasa, dan peraturan yang sudah mapan.
Karena peraturan itu suci dan tak dapat diubah, seseorang merasa berkewajiban
untuk mematuhinya; benar dan salah biasanya dipandang sebagai hitam dan putih;
kebaikan dan keburukan dipandang dari aspek konsekuensi dan hukuman. Tahap
otonomi ditandai dengan kemampuan seseorang untuk mengembangkan rasa
kemandirian dan susuasana saling mendukung dengan pihak lain. Benar dan salah
ditentukan oleh keadaan situasional, sementara peraturan bisa diubah, relatif
sesuai dengan tuntutan situasi dan kebutuhan manusia.
Thomas Lickona dalam karyanya Educating For Character
menjelaskan bahwa seseorang harus memiliki kualitas pengetahuan moral, Feeling
moral dan tindakan moral. Ketiga komponen ini penting untuk mengembangkan watak
yang baik. Pada komponen pengetahuan moral terdapat unsur lainnya yakni
kesadaran moral, pengetahuan tentang nilai moral, perhitungan kedepan,
pertimbangan moral, pembuat keputusan.
Setiap komponen itu pada hakikatnya menyatu dan melumat satu
sama lain, dan saling mempengaruhi. Namun tidak berarti, setelah tahu yang baik
dan buruk lalu berbuat baik. Dengan mengetahui yang baik, tidaklah berarti lalu
seseorang mampu berempati atau mengendalikan dirinya untuk mengikuti dan
melakukan tindakan moral.
D.
Fair Play
Sebagai konsep moral, suatu cetusan jiwa, fair play berisi
penghargaan terhadap lawan serta harga diri. Dalam kaitan inilah, antara kedua
belah pihak memandang lawannya sebagai mitranya. Lawan adalah kawan bermain.
Keseluruhan dan upaya dan perjuangan itu dilaksanakan dengan bertumpu pada
standar moral yang di hayati oleh masing-masing belah pihak.
Fair play adalah suatu bentuk harga diri yang tercermin dari
: (1)Kejujuran dan rasa keadilan.(2)Rasa hormat kepada lawan, baik dalam
kekalahan maupun dalam kemenangan.(3)Sikap dan perbuatan ksatria, tanpa
pamrih.(4)Sikap tegas dan berwibawa, kalau terjadi bahwa lawan atau penonton
tidak berbuat fair paly.(5)Kerendahan hati dalam kemenangan, dan ketenangan /
pengendalian diri dalam kekalahan.
Dijumpai makna dalam pernyataan yakni setiap pelaksanaan
olahraga harus ditandai oleh” semangat kebenaran dan kejujuran, dengan tunduk
kepada peraturan-peraturan, baik yang tersurat maupun yang tersirat” (Essai de
Doctrine du Sport. Haut Comite des Sports france,1964). Dalam dokumen yang
lebih mutakhir, dalam europen Sport Charter and Code of Ethic yang diterbitkan
oleh Dewan olahraga Eropah (1993) disebutkan defenisi Fair play sebagai: “ Lebih
dari sekedar bermain dalam aturan. Fair play itu menyatu dengan konsep
persahabatan dan menghormati yang lain dan slalu bermain dalam semangat sejati.
Fair play dimaknakan sebagai bukan hanya unjuk perilaku. Ia menyatu dengan
persoalan yang berkenaan dengan dihindarinya ulah penipuan, main berpura-pura
atau “main sabun”, doping, kekerasan (baik fisik maupun ungkapan kata-kata),
eksploitasi, memanfaatkan peluang, komersialisasi yang berlebih-lebihan atau
melampui batas korupsi.
Secara tidak sengaja perasaan umum, dengan meluaskan gagasan
ini, mendefenisikan kelakuan demikian itu dengan istilah” semangat olahragawan
sejati”, yang mengungkapkan bagaimana seseorang bermain serta bagaimana cara ia
bersikap dan bertindak terhadap orang lain baik pada saat bermain maupun pada
saat lainnya yang masih berkaitan dengan situasi pertandingan.
Fair play akan terwujud bila terpenuhi prilaku tersebut
diatas, sungguh sangat dibutuhkan keberanian moral dan keberanian untuk
menanggung resiko. Dalam kaitan ini pulalah dibutuhkan sikap ksatria yang
menolak kemenangan dengan segala cara.
E.
Aksiologi (Untuk
apa)
1. Olahraga Dan
Etika Fair Play
Kajian
nilai (aksilogi) yang dipersoalkan adalah aspek penerapan sesuatu ke dalam
praktik yang berkaitan dengan masalah nilai. Nilai merupakan rujukan perilaku,
sesuatu yang dianggap “ luhur” dan menjadi pedoman hidup manusia dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam bidang keolahragaan, persoalan ini kian relevan
untuk dibahas. Kecenderungan sikap dan partisipasi dalam tindakan dari sekelompok
warga masyarakat, termasuk organisasi induk olahraga, yang berusaha untuk
meningkatkan prestasi, membangkitkan masalah yang semakin kompleks dan
mendalam. Hal itu karena nilai-nilai ideal olahraga makin luhur, di geser oleh
nilai “ baru” sebagai konsekuensi dari perubahan sosial.
Kegiatan
dalam keolahragaan merupakan cerminan adalam lingkup mikrokosmos dari tatanan
masyarakat yang lebih luas. Nilai dalam masyarakat telah berubah, dan hal itu
juga berdampak nyata ke dalam olahraga.
Di
antara persoalan yang paling menonjol dewasa ini adalah penerapan fair play
atau sportivitas sebagai nilai inti dalam bidang olahraga. Tantangannya muncul
dalam aneka prilaku atlet, pelatih,ofisial, dan bahkan juga dari kalangan
insane pers. Yang lebih menonjol adalah upaya memperoleh kemenangan yang
disertai dengan upaya bukan mengandalkan keunggulan teknik dan taktik. Yang
diperagakan adalah gejala kekerasan dalam olahraga dan kecendrungan untuk
memaksakan kehendak, seperti mencampuri keputusan wasit. Sebaliknya, wasit itu
sendiri dalam beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri sendiri dalam
beberapa kasus masih belum mampu untuk berdiri di tengah-tengah, tanpa memihak,
sesuai dengan fungsinya.
Kiranya
tidak berlebihan bila kita mengatakan, sudah mulai terjadi dan kian berkembang,
gejala demokralisasi dan degrasi karakter dalam olahraga. Di samping
peningkatan kekerasan, seperti sering diperagakan oleh penonton, unsur
ketidakjujuran juga kian mencuat ke permukaan. Ketidaksanggupan dalam
permainan, seperti sering disebut dalam istilah “main sabun” merupakan pertanda
dari ketidakjujuran untuk memperlakukan olahraga.
Bahaya
terhadap fair play timbul terutama dari kesalahan arah yang ditempuh olahraga
pada zaman ini. Olahraga dieksploitsi oleh politik, ideologi, dan dagang karena
olahraga sangat tenar dan digemari. Bahkan sekarang ini, sejak logika politik
berubah menjadi logika ekonomi, pengelolaan olahraga dengan tujuan yang
bersifat komerssialisasi sangat menonjol, dan bila kita tidak waspada, ancaman
terhadap fair play semakin besar. Dengan demikian olahraga mengalami bahaya
untuk kehilangan sifat-sifatnya yang murni. Yang semestinya olahraga berisi
pertandingan yang bersifat ksatria dan membentuk kepribadian, dapat berubah
menjadi perjuangan yang tidak kenal ampun, yang dikuasai oleh pikiran prestise,
popularitas dan uang.
Dengan
kata lain, sikap batin semacam itu, yang dapat kita sebutkan dalam istilah
itikad, berisi pertimbangan moral, yang kemudian secara otomatis terjabarkan
dalam perilaku. Dikaitkan dengan perkembangan akhir-akhir ini, semangat
olahragawan sejati semacam itu perlu dikembangkan serta disebarluaskan. Keadaan
demikian perlu disosialisasikan sejak dini, sejak seseorang mulai belajar
olahraga dengan maksud untuk melindungi olahraga dari bahaya-bahaya yang
mengancamnya.
Berkenaan
dengan hal ini kiranya perlu disebarluaskan di Indonesia, gagasan dan praktik
berolahraga yang dijiwai oleh semangat sportivitas. Untuk itu, alangkah baiknya
jika selalu dapat diterapkan praktik-praktik yang memperkokoh pengalaman
prilaku yang adil dan jujur. Sangat tepat bila dilembagakan pemberian
penghargaan kepada berbagai pihak yang menjadi pelaku olahraga yang menunjukkan
perilaku yang terpuji yang meliputi dalam konsep fair play ( satu-satunya hukum
moral olahraga ).
KESIMPULAN
1.
Olahraga dan etika fair play secara ontologi adalah olahraga
merupakan kegiatan otot yang energik dan dalam kegiatan itu atlet memperagakan
kemampuan gerakannya (Perporma) dan kemauannya semaksimal mungkin yang
dilakukan dengan sikap mental dan moral serta nilai fair play melandasi
pembentukan sikap dan selanjutnya sikap menjadi landasan perilaku.
2.
Olahraga dan etika fair play secara epistemologis adalah
bentuk kegiatan olahraga sesuai dengan motif dan tujuan utamanya yang dilandasi
tindakan moral adalah prilaku yang tampak yang dinyatakan dan sejalan dengan
sistem nilai yang dianut sebagai konsep moral, suatu cetusan jiwa, fair play
berisi penghargaan terhadap lawan serta harga diri.
3.
Olahraga dan etika fair play kajian nilai (aksilogi) yang
dipersoalkan adalah aspek penerapan sesuatu ke dalam praktik yang berkaitan
dengan masalah nilai. Nilai merupakan rujukan perilaku, sesuatu yang dianggap “
luhur” dan menjadi pedoman hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Olahraga itu sendiri pada hakikatnya bersifat netral, tetapi masyarakatlah yang
kemudian membentuk kegiatannya dan memberi arti bagi kegiatan itu dan
memanfaatkannya untuk tujuan tertentu. Penerapan etika fair play atau
sportivitas sebagai nilai inti dalam bidang olahraga.
DAFTAR PUSTAKA
Lutan,
Rusli. Olahraga dan Etika Fair Play, Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Olahraga, Direktorat Jendral Olahraga, Depertemen
Pendidikan Nasional, 2001.
Komisi
Disiplin Ilmu Keolahragaan, Ilmu Keolahragaan Dan Rencana
Pengembangannya,Jakarta : Depertemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, 2000
Suriasumantri,
Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2005.
Amansyah. (2010). Olahraga dan
Etika Fair Play. Diakses pada tanggal 26 Februari 2012. http://syahaman.blogspot.com/2010/06/olahraga-dan-etika-fair-play.html
Anung
Handoko. (2008). Sepak Bola Tanpa Batas. Yogyakarta : Kanisius.
Armando Pribadi. (Desember 2010). Fair
Play. Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Sport Enterpreuneur,
di FIK UNY.
Barnawi., M.Arifin. (2012). Strategi
dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Dimyati. (2010). Peran Guru
sebagai Model Dalam Pembelajaran Karakter dan Kebajikan Moral Melalui
Pendidikan Jasmani. Yogyakarta: Cakrawala Pendidikan, 85-98.
Munir, Abdullah. (2010). Pendidikan
Karakter: Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah. Yogyakarta: Pedagogia
Robert S.
Weinberg., Daniel Gould. (2007). Foundations of sport and exercise
psychology. Human Kinetics Publisher. Four Edition.
BalasHapusNikmati Bonus-Bonus Menarik Yang Bisa Anda Dapatkan Di Situs Kami LegendaPelangi.com
Situs Resmi, Aman Dan Terpercaya ^^
Kami Hadirkan 7 Permainan 100% FairPlay :
- Domino99
- BandarQ
- Poker
- AduQ
- Capsa Susun
- Bandar Poker
- Sakong Online
Fasilitas BANK yang di sediakan :
- BCA
- Mandiri
- BNI
- BRI
- Danamon
Ayo buktikan sendiri dan menangkan jutaan rupiah
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami
-BBM : 2AE190C9
-Loginsite : Legendapelangi.com